Ruteng, Floresa.co – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) berencana mencabut Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan bupati (Perbup) tentang Sumbangan pihak ketiga (SP3) dalam Proyek Legislatif Daerah (Prolegda) tahun 2016 mendatang.
Sebelumnya SP3 sudah dituang dalam Perda Nomor 17 Tahun 2000 dan Perbup Nomor 9 Tahun 2011 tentang penetapan besaran sumbangan pihak ketiga atas pengumpulan dan/atau pengeluaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hasil laut, dan hasil perindustrian.
BACA Juga: Sejak 2011, Pemda Manggarai Pungut Sumbangan ke Pedagang Komoditi
Maxi Bour, Kepala Bagian Hukum Setda Manggarai mengatakan, pihaknya berencana akan mencabut kembali Perda dan Perbup tersebut dalam Prolegda tahun 2016 jika ada telaahan dari bagian ekonomi.
“Yang pasti bahwa kami masih mencoba evaluasi terkait pungutan di daerah termasuk SP3,” ujar Maxi kepada Floresa.co di ruang kerjanya, Rabu (7/10/2015).
Saat ditanya soal pungutan SP3 yang dilakukan Pemkab Manggarai selama ini telah melangkahi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan tidak mematuhi Surat Edaran Kementrian dalam Negeri Nomor 188 Tahun 2010 berkaitan dengan Penataan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Maxi membantah keras.
Ia menjelaskan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 memang tidak mengatur tentang pungutan SP3. “Apakah kalau tidak ada di UU Retribusi dan Pajak Daerah lalu kita dengan mudah mengambil kesimpulan untuk tidak ada SP3 di daerah?,” ujar Maxi.
Kata dia, SP3 itu diberlakukan sesuai dengan kesepakatan dengan para pengusaha dagang. Pemerintah daerah juga memiliki kewenangan untuk memungut sumbangan demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
Namun ia mengaku, berdasarkan Surat Edaran Kementrian dalam Negeri Nomor 188 Tahun 2010, khususnya poin ketiga yang menyebutkan bahwa Perda tentang SP3 supaya dicabut agar tidak membuat ekonomi biaya tinggi dan menghambat peningkatan iklim investasi di daerah, Pemkab mengaku sudah berkomunikasi dengan pihak Pemerintah provinsi (Pemprov) NTT untuk dibahas dalam Prolegda tahun 2016.
Pihak Pemprov NTT sendiri, menurut Maxi, hingga kini belum mencabut Perda tentang pungutan SP3. Menurut Pemprov, SP3 selama ini tidak menetapkan tarif sepihak tanpa ada kesepakatan bersama dengan para pengusaha dagang.
BACA Juga: Terkait Pungutan SP3, Pengusaha Nilai Pemkab Manggarai Tidak Taat Aturan
Sebelumnya,Meldyanti Hagur, seorang penguasha perdagangan antar pulau di Manggarai, mengatakan Pemkab tidak saja melanggar surat edaran Kementrian dalam negeri tersebut, tetapi juga sudah melangkahi Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
“Karena itulah keluar surat edaran Mendagri tentang penataan Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Di situ tidak diberikan ruang adanya SP3, yang bukan merupakan pajak maupun retribusi daerah,” katanya.
Ia mengaku, pada tahun 2011 lalu, pihaknya bersama sejumlah pengusaha dagang antar pulau pernah mengadakan rapat di kantor bupati Manggarai.
Rapat tersebut dipimpin oleh Frans Nandu, Asisten sekretaris daerah dan Ansel Asfal, Kepala bagian hukum Setda yang menjabat saat itu.
“Setelah kami tunjukkan soal Surat Edaran Mendagri tersebut disepakti bahwa SP3 tetap diberlakukan sampai tahun 2012, dan dihentikan mulai 2013. Tapi nyatanya masih tetap diberlakukan sampai skrg,” aku Meldyanti.
Senada dengan Meldyanti, Florianus Kampul, anggota komisi B DPRD Manggarai – salah satunya membidangi ekonomi – mendesak pemerintah daerah segera mencabut kembali Peraturan daerah (Perda) dan Peraturan bupati (Perbup) tentang SP3.
Menurut Kampul penerapan Perda dan Perbup SP3 telah menyalahi Undang-undang tentang Pajak dan Retribusi.
“SP3 itu sebenarnya tidak wajib. Namun terlihat dalam peraturan bupati dan perdanya tercantum sebaran bayaran yang harus diberikan oleh pihak ketiga. Sumbangan itu tidak bersifat wajib,” ujarnya saat ditemui di kantor DPRD Kabupaten Manggarai.
Bahkan ia mengaku heran, sebab beberapa kali sidang di DPRD sudah memberitahukan kepada pemerintah daerah untuk segera mencabut kembali perda dan perbup tentang SP3, namun hingga kini tampak masih diberlakukan.
Anggota DPRD Manggarai partai PKB itu menilai pemberlakuan aturan SP3 sudah berdampak pada menurunnya harga komoditas warga.
“Perdagangan komoditas tidak boleh mengenakan SP3. Kalau ada pengusaha yang tidak membayar SP3 itu benar, karena pada prinsipnya tidak memaksa. Kalau dipaksa itu pungutan liar namanya,” ujarnya.
Kampul menegaskan, berbeda halnya dengan peternak yang dipungut retribusi. Sebab, ia mengakui, ditempat penampungan terakhir hewan-hewan yang diekspor ke luar daerah itu terdapat fasilitas Negara yang digunakan para pengusaha dagang.
“Itu baru cocok ada tarifnya. Karena pedagang menggunakan fasilitas Negara dan pemeriksaan kesehatan hewan itu dilakukan oleh petugas,” katanya. (Ardy Abba/PTD/Floresa)