Floresa.co – “Kopi Nana?” tanya Rosalia Sueng saat kami tiba di kawasan Waterfront Marina Labuan Bajo pada 27 Mei malam. Nana adalah sapaan dalam Bahasa Manggarai kepada laki-laki.
Sembari menenteng termos dan keranjang berisi kopi kemasan siap seduh dan beberapa jenis makanan ringan, ia berusaha menyapa setiap pengunjung di kawasan pesisir kota pariwisata super-premium itu.
Rosalia segera berhenti saat kami mengiyakan tawarannya.
Sembari membuat kopi, perempuan berusia 51 tahun itu mengaku berada di tempat itu sejak pukul 18.00 Wita.
Ia bergegas dari rumahnya di Padang SMIP, Desa Batu Cermin karena sore itu KM Leuser, kapal penumpang yang datang dari Makassar bersandar di Pelabuhan Marina, bagian dari kawasan Waterfront.
Setiap kali ada kapal yang bersandar, kata Rosalia, biasanya kawasan itu ramai. Saat itu pula ia menaruh harapan bisa mendapat rezeki lebih.
“Setiap malam saya ada di sini, kecuali kalau ada urusan atau acara keluarga. Saya biasanya jualan sampai jam 12 malam,” katanya.
Florentina Nilta melakukan hal serupa dengan Rosalia.
Perempuan berusia 34 tahun itu menghampiri setiap pengunjung, menawarkan kopi dan makanan ringan.
Sebagian memesan, sementara yang lain menolak.
Ia tak menyerah ketika mendapat penolakan, berusaha mendekati pengunjung lain, berharap ada yang berminat.

Perempuan lainnya, Maria Ona Sawu, 32 tahun, juga antusias menawarkan dagangannya.
Ia berusaha menjajakan kopi kepada pengunjung, termasuk kepada beberapa orang yang malam itu turun dari KM Leuser.
Ketiganya adalah beberapa dari belasan perempuan yang saban malam mencari rezeki di Waterfront.
Berada di bibir pantai, kawasan eks kampung nelayan hasil reklamasi dalam proyek infrastruktur era Presiden Joko Widodo itu biasa menjadi tempat nongkrong warga Labuan Bajo.
Tempat itu merupakan salah satu ikon buatan pariwisata kota itu, yang sekaligus jadi tempat penyelenggaraan berbagai aktivitas publik, seperti festival dan konser.
Selain penjual keliling, ada juga yang memilih menggelar tikar plastik dan karpet, tempat para pengunjung bisa duduk sambil nongkrong.
Wati adalah salah satunya. Selain kopi dan makanan ringan, di tempat jualannya ia juga menjajakan beberapa merek rokok dan minuman kemasan botol.
Beragam Cerita Latar Belakang
Mereka punya alasan berbeda-beda menekuni pekerjaan tersebut.
Rosalia yang berasal dari Kampung Lait, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, semula bekerja sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar di Kecamatan Boleng.
Namun, perempuan yang menamatkan kuliah di Makassar itu memutuskan berhenti mengajar pada 2015.
Gaji sebagai guru honorer yang bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah Daerah, katanya, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Apalagi, gaji tersebut-yang enggan ia sebut jumlahnya-diterima tiap enam bulan, “sementara kebutuhan sehari-hari menumpuk.”
Bantuan Operasional Sekolah Daerah diberikan oleh pemerintah daerah guna mendukung operasional sekolah, termasuk membayar gaji guru honorer.
Selepas berhenti mengajar, ia memutuskan menjadi penjual pakaian, termasuk untuk pengadaan seragam di beberapa sekolah di Manggarai Barat.
Pekerjaan itu terus ia lakoni saat ia pindah ke Labuan Bajo pada 2017.
Namun, semuanya berubah kala suaminya meninggal pada 2021.
Sebagai orang tua tunggal, ia harus memikirkan cara mencari nafkah untuk anak-anaknya.
Dalam keadaan demikian, keluarga yang menjenguknya memberi saran agar sesekali keluar rumah mencari tempat melepas penat.
“Mereka sarankan untuk ke Waterfront, biar sekadar duduk-duduk saja,” katanya.
Ia pun mendatangi tempat itu. Melihat pengunjung yang ramai dan beberapa penjual kopi, muncul niat untuk ikut berjualan.
Tekadnya makin mantap ketika pada Agustus 2022 ia ke sana menyaksikan penyelenggaraan Festival Golo Koe oleh Keuskupan Ruteng.
Waterfront menjadi ramai saat festival religi itu, hingga ia membulatkan tekad mulai berjualan.
Maria Ona Sawu punya cerita lain. Perempuan asal Lolang, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai itu sengaja ke Labuan Bajo pada 2021 untuk mencari pekerjaan.
“Di kampung tidak ada pekerjaan,” katanya.
Kini ia bekerja sebagai baby sitter atau pengasuh anak salah satu keluarga di Labuan Bajo.
Penghasilan dari pekerjaan itu yang tidak cukup untuk kebutuhannya membuatnya berusaha mencari uang tambahan dengan menjual kopi.Gajinya sebagai pengasuh anak Rp1.000.000, kurang dari separuh Upah Minimum Regional Kabupaten Manggarai Barat saat ini, Rp2.328.969.

Sementara Florentina Nilta yang berasal dari kampung Ndoso, Kecamatan Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat memilih menjual kopi sebagai pekerjaan tetap, setelah sebelumnya bekerja di salah satu depot penyedia air minum isi ulang di Labuan Bajo.
Ia meninggalkan pekerjaan itu karena gaji yang kecil.
“Gaji hanya sejuta, sementara pengeluaran tinggi,” jelasnya.
“Bahkan, saya sering lembur sampai jam 12 malam, tidak ada waktu untuk istirahat, termasuk pada Hari Minggu, sementara tidak ada tambahan gaji kalau lembur. Makanya, saya tidak kerja di depot itu lagi,” katanya.
Ia mulai menjual kopi sejak 2021 dan mengaku menikmatinya karena siang harinya bisa memanfaatkan waktu mengurus anak.
“Modal dikasih sama saudara, Rp200 ribu, untuk beli kopi. Termos dikasih sama kakak,” katanya.
Ia berkata, “jika dibandingkan kerja lain, tidak ada waktu untuk anak.”
“Jual kopi hanya malam saja. Siangnya, masih bisa untuk mengurus mereka.”
Sementara Wati, ibu dua anak, berasal dari Dampek, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur.
Ia merupakan lulusan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Ruteng – kini Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng.
Ia sempat mengajar di salah satu Sekolah Dasar Katolik di Kecamatan Lamba Leda Utara. Namun, ia hanya bertahan selama lima tahun di sekolah itu.
“Gaji terlalu kecil,” katanya, kendati menolak menyebut jumlahnya.
Ia pindah ke Labuan Bajo empat tahun lalu untuk mencari pekerjaan lain, sebelum kemudian memutuskan berjualan di Waterfront.
“Biar hasil dari jualan kopi sedikit, yang penting setiap malam ada pendapatan,” katanya.
Wati berkata, “banyak orang yang kaget saya tinggalkan pekerjaan sebagai guru hanya untuk menjual kopi.”
Namun, “bagaimana lagi? Gaji guru waktu itu kecil sekali.”

Tulang Punggung Keluarga
Memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah alasan utama mereka, selain membiayai sekolah anak.
Rosalia memiliki tiga anak. Si sulung bekerja sebagai staf keuangan di satu kampus di Labuan Bajo, anak tengahnya masih kuliah di Yogyakarta dan yang bungsu kelas XI SMK.
Ia tinggal bersama dua anaknya dan dua keponakan. Tumpuan biaya hidup pada pundaknya, selain dibantu anaknya yang sudah bekerja.
Tak jauh berbeda dengan Rosalia, Wati menanggung biaya sekolah kedua anaknya yang masing-masing baru tamat SMA dan SMP.
“Mereka mau lanjut sekolah,” katanya.
Memikirkan nasib mereka membuat Wati mesti menjual kopi dari pukul 17.00 Wita hingga pukul 00.00 Wita.
“Bahkan sampai pukul 02.00 jika ada kapal yang sedang sandar,” katanya.
Ia hanya berharap “anak-anak nanti masa depannya lebih baik dari saya.”
Sementara Nilta mengaku pendapatan per hari selama menjual kopi bisa mencapai Rp 100.000.
“Hanya saja tidak tetap, kadang sepi juga. Malam ini saja baru tiga gelas yang pesan,” katanya.
Ia baru bisa mendapat penghasilan hingga Rp500 ribu saat ada acara besar di Waterfront seperti festival atau konser.
Penghasilan itu untuk membiayai dua anaknya yang masih kelas II dan IV SD.
Ia juga membantu membiayai sewa kos salah satu adiknya yang sedang kuliah.
Nilta kini tinggal di rumah sendiri di Los Baba, Desa Batu Cermin. Rumah itu dibangun pada Juni 2024 di atas tanah milik kakaknya.
Kondisi itu membuatnya sedikit terbantu, setelah sebelumnya keluarganya tinggal di kos dengan biaya Rp600.000 per bulan, di luar biaya listrik dan air.
Sementara Ona Sanu, selain untuk biaya hidupnya, juga harus membantu suami dan kedua orang tuanya yang kini berusia lanjut.
“Biasanya saya kirim Rp500.000, kalau mereka butuh uang,” katanya.
Ona menikah dengan seorang duda dan ikut menanggung biaya hidup dua anak sambung yang masih kecil.

Berbagi Rezeki
Rosalia Sueng berkata, menjalani pekerjaan itu ada plus minusnya.
“Yang baiknya, kita jualan sambil refreshing.”
Namun, “ada juga buruknya saat harus menghadapi komentar bernada ejekan dari pengunjung tertentu.”
“Mereka bilang, kalian tidak ada kerjaan lain kah?”
Ia memilih mengabaikan komentar demikian, karena memikirkan kehidupan keluarganya.
Ia memegang prinsip untuk “jangan gengsi.”
Florentina Nilta juga menceritakan hal serupa: “Kadang ada orang tanya, apakah tidak ada kerja lain?”
Sering mendengar komentar demikian, mereka berusaha saling menguatkan.
Pengamatan Floresa malam itu, mereka tampak akrab sambil sesekali saling bercanda.
Selagi tidak ada pengunjung yang lewat, mereka berkumpul, mengisi waktu dengan berbagi cerita.
Nilta berkata, mereka juga bergabung dalam satu Grup WhatsApp, ruang untuk saling menyapa setiap hari.
Demi membina relasi dan menghindari persaingan, katanya, mereka terbiasa saling berbagi.
“Kalau banyak yang pesan, kami biasa arahkan ke yang lain, biar sama-sama mendapat rezeki.”
Laporan ini ditulis oleh Doroteus Hartono, berkolaborasi dengan Ven Darung, jurnalis di Labuan Bajo
Editor: Ryan Dagur