Labuan Bajo, Floresa.co – Polemik tentang lahan di Kerangan/ Toroh Lemma Batu Kallo, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) masih terus bergulir.
Selain saling klaim dari sejumlah pihak, salah satu hal yang disoroti adalah perubahan sikap Bupati Mabar, Agustinus Ch Dula.
Dalam sejumlah surat dan pernyataan, bupati dua periode itu memastikan bahwa lahan 30 ha tersebut adalah milik Pemkab Mabar. Namun, pada kesempatan lain, sikapnya berubah, terkesan pasrah setelah muncul klaim pihak lain.
Sikap tegas Dula atas masalah lahan ini, salah satunya, terekam dalam dokumen surat yang diperoleh Floresa.co, bernomor Pem.130/340/X/2014.
Dalam surat yang terbit pada tanggal 22 Oktober 2014 itu, Dula menegaskan status kepemilikan lahan itu oleh Pemkab.
Ia juga menjelaskan batas-batasnya, antara lain, di sisi utara dengan lahan milik Niko Naput dan tanah Yayasan, bagian selatan dan barat pantai Laut Flores serta Jalan Wae Cecu Batu Gosok di sisi kiri.
“Asal perolehan/penyerahan pada tahun 1997 secara adat dari Bapak Dalu Ishaka almarhum selaku fungsionaris adat atas tanah Kedaluan Nggorang, Labuan Bajo,” demikian pernyataannya dalam surat tersebut.
Surat itu muncul menyusul adanya upaya sejumlah pihak untuk menguasainya.
Ia pun meminta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Mabar, Camat Komodo, para Pejabat Pembuat Akta atau Notaris se-Kabupaten Mabar, serta para Kades dan Lurah se-Kecamatan Komodo untuk tidak melayani warga yang melakukan transaksi dalam bentuk jual beli atau apapun jenis dan sifatnya yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah tersebut, kecuali untuk dan kepada Pemkab Mabar.
Dijelaskannya pula bahwa BPN telah melakukan pengukuran Tanah tersebut pada tahun 1997.
Atas dasar penegasan itu, pada tanggal 17 Maret 2015, Dula mengajukan permohonan pensertifikatan tanah itu kepada BPN melalui surat bernomor Pem.130/84/III/2015.
Dalam surat itu, ia menyatakan, Pemda telah mendapat kepastian pengakuan hak milik tersebut setelah digelar pertemuan dengan “unsur Muspida, dengan ahli waris Fungsionaris Adat Nggorang serta dengan para mantan pejabat Kabupaten Manggarai.”
Dula pun melampirkan surat penyerahan dari fungsionaris itu serta berita acara rapat Muspida.
Beberapa bulan kemudian, sikap tegas Dula juga pernah disampaikan dalam wawancara dengan Floresa.co.
Selain mengatakan bahwa status lahan itu adalah milik Pemda, ia juga mengkritik Haji Muhammad Adam Djudje, yang tiba-tiba mengklaimnya.
“Bagaimana orang yang mengklaim sekarang ini yang bernama Haji Djudje, dia mengatakan (lahan) itu dia punya. Padahal, waktu pergi ukur itu tanah, dia yang ukur, sebagai kurirnya dalu,” kata Dula kepada Floresa.co, 7 Juli 2015.
Dula menjelaskan, saat pengukuran itu, yang hadir dari pihak pemerintah adalah Asisten I Bupati Manggarai, Frans Leok, Kepala Agraria dan Camat Komodo.
“Tanah itu diberi tahun 1997. Haji Djudje yang tadi pergi ukur tanah ini, klaim sekarang milik dia sejak tahun 1992,” ujarnya.
Menegaskan posisinya, Dula mengatakan, kalau benar sejak tahun 1992 Djudje memiliki tanah itu, mengapa saat pengukuran tahun 1997 itu ia tidak protes.
“Mengapa Haji Djudje tidak katakan, ‘Dalu, itu saya punya, ini suratnya.’ Mengapa sekarang baru omong,” tegas Dula.
Berubah di Periode Kedua
Jejak sikap Dula terhadap polemik ini, ditemukan lagi dalam salah satu surat yang ia keluarkan pada tahun lalu.
Menarik dicermati, dalam surat tersebut, Dula mengaku mendapat informasi baru pada periode keduanya memimpin Mabar. Surat tersebut diterbitkan pada 8 Januari 2017 atau satu tahun usai dirinya bersama Maria Geong dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Mabar.
Jika dalam surat-surat dan pernyataannya sebelumnya, ia tegas mengakui bahwa tanah itu adalah milik Mabar, tahun 2017 menjadi titik balik, di mana ia mulai memilih mengambil jalan lain.
Dalam surat itu yang salinannya ada pada Floresa.co, kopnya adalah surat keterangan. Surat ini memang terasa janggal karena tanpa nomor surat, sebagaimana surat-surat dinas lainnya. Floresa.co belum berhasil mengonfirmasi validitasnya kepada pihak Pemda Mabar.
Dalam surat itu, Dula menjelaskan bahwa pada periode keduanya memimpin Mabar, ia mendapat informasi saat mencari kebenaran terkait tanah tersebut dengan melakukan pengecekan di lapangan.
Ia menjelaskan, pemerintah menemukan adanya bagian-bagian di dalam lokasi tersebut yang sudah dimiliki oleh orang lain termasuk diklaim oleh Haji Djudje.
Ia menyebutkan bahwa Djudje memiliki bukti-bukti yang asli berupa Surat Bukti Penyerahan Hak Tanah Adat, sebuah pernyataan yang tentu berbanding terbalik dengan sika Dula pada tahun 2015.
“Pemkab Manggarai Barat telah berjuang untuk memiliki lahan atau tanah tersebut, tetapi niat ini tidak dilanjutkan karena semakin banyak pihak yang mengklaim dan ada juga bagian-bagiannya yang telah dijual, bahkan Pemkab telah pula disomasi oleh berbagai pihak,” tulis Dula.
Pemkab, jelas Dula, merasa tidak bisa memaksa diri atau berniat memiliki tanah atau lahan tersebut karena tidak memiliki dokumen atau bukti penyerahan yang asli dan tidak terdaftar dalam dokumen penyerahan tanah adat dari fungsionaris adat/tua adat Nggorang kepada Pemda Manggarai.
Alasan lainnya, kata dia, lahan tersebut tidak terdaftar dalam daftar lampiran berita acara penyerahan aset daerah dari Pemkab Manggarai kepada Pemkab Mabar saat pemekaran dan tidak terdaftar pula dalam daftar inventaris aset milik Pemkab Mabar.
Para bupati terdahulu pun, jelas dia, tidak mengetahui dan tidak pernah menerima dan menandatangani surat penyerahan tanah adat tersebut.
Berubah Lagi
Sembilan bulan kemudian pasca munculnya surat keterangan, hasil penelusuran Floresa.co menemukan menemukan adanya dokumen lain yang diterbitkan Dula terkait tanah itu.
Uniknya, meski dalam surat keterangan pada Januari ia memilih angkat tangan, dalam suratnya tertanggal 11 Oktober 2017, sikapnya berubah lagi.
Surat itu ditujukan kepada kuasa hukum Haji Djudje, menanggapi surat mereka sebelumya pada 8 September 2017.
Dalam surat bernomor Pem.131/224/x/2017 itu, Dula menyampaikan sejumlah hal, termasuk menegaskan bahwa lahan di Kerangan itu adalah milik Pemkab, yang didasarkan pada proses adat dengan pihak Kedaluan Nggorang yaitu Dalu Ishaka, yang diikuti dengan surat penyerahan.
Lagi-lagi, Dula menyatakan, Djudje turut serta menandatangani surat penyerahan dengan status sebagai saksi serta terlibat dalam proses pengukuran.
Ia juga menyampaikan bahwa Bupati Manggarai saat itu yang menerima lahan ini, Gaspar Ehok tidak pernah menandatangani dokumen serah terima. Namun, kata Dula, itu bukan berarti menyangsikan penyerahan tanah itu. Hal ini terjadi, kata dia, karena transisi kepemimpinan sehingga Gaspar Ehok belum menandatangani surat penyerahan tersebut.
“Keterangan ini juga telah disampaikan sendiri oleh beliau secara tertulis kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat,” jelas Dula, yang tampaknya merujuk surat pernyataan yang pernah ditandatangani Ehok pada 2014.
Dula menyatakan, lahan itu memang banyak diklaim oleh beberapa pihak dengan argumentasi pembenaran dan bukti masing-masing.
Pemerintah daerah, jelasnya, telah berusaha memfasilitasi penanganan masalah ini, namun belum menemukan kesepakatan.
Terhadap klaim kepemilikan tanah tersebut oleh Djudje, dalam surat tersebut, Dula memintanya untuk menempuh jalur hukum.
Ia juga menjelaskan, terkait surat dari Pemkab Mabar kepada BPN agar tidak melakukan proses pensertifikatan tanah di wilayah tersebut bermaksud agar menghindari konflik antara pihak-pihak yang mengklaim tanah tersebut, kecuali jika telah mempunyai kekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan.
Floresa.co telah berusaha mengonfirmasi Bupati Dula di kantornya pada Rabu, 7 Februari 2018 siang terkait sikapnya yang plin-plan.
Namun melalui ajudannya, ia menolak diwawancarai, dengan alasan masih sibuk.
“Bapa tua bilang, besok pagi saja karena beliau masih sibuk,” ujar ajudannya.
EYS/FND/ARL/Floresa