Doa

Baca Juga

Oleh: Iwan Jemadi, pecinta sastra, editor di salah satu perusahan penerbitan buku.

“Dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu.” Chairil Anwar, 1943.

Ada banyak teori dan nasihat perihal bagaimana seorang beriman seharusnya berdoa. Tentu saja lebih banyak lagi cara berdoa dari orang beriman yang tak pernah dirumuskan. Lalu, bagaimana seharusnya kita berdoa?

Doa, mungkin tak harus bertele-tele. Sebab, Tuhan tak punya bahasa, selain kasih. Mungkin itu sebab, orang-orang hebat yang kita kenal dalam sejarah, punya doa-doa masyur yang ringkas, tapi menjelaskan segalanya.

Saya teringat sebuah doa dari Santo Fransiskus Assisi. “Deus Meus et Omnia,” katanya, yang berarti, Tuhanku Segalaku. Ucapan doa itu berhenti di sana. Tanpa kelanjutan. Tanpa sebuah ikhtiar macam-macam seperti yang gampang kita temukan dalam rumusan doa-doa kita. Seakan tak ada kecemasan akan tubuh yang didera penyakit, sehingga tak perlu meminta, Tuhan berikanlah kami kesehatan yang cukup! Ia pun tak gelisah akan harta yang perlu dimiliki sehingga tak meminta; Tuhan berikanlah aku rezeki yang memadai. Tak ada permintaan akan usia yang jenjang atau jodoh yang seiman. Doa yang singkat itu sepertinya punya arti tunggal, sebuah kepasrahan penuh dari rasa cinta yang utuh. Doa itu tak lahir dari kecemasan karena cinta diri yang berlebihan.

Orang-orang yang mencintai pasti tak banyak ngoceh, seperti tulisan ini! Kata-kata menjadi sangat miskin di hadapan mereka yang mengasihii dengan sungguh. Santo Fransiskus pasti sangat mencintai Tuhannya. Semakin banyak kata yang diucap, semakin besar ruang bagi munculnya bualan atau (bahkan) gombal murahan. Seperti seorang pecinta yang menghemat kata dan memperdalam tingkah untuk mengungkapkan betapa ia sungguh mengasihi kekasihnya dengan sungguh-sungguh. Rayuan kerap diperlukan untuk mereka yang memiliki ikhtiar memenangkan banyak hati, untuk memiliki banyak kekasih. Lalu, mungkinkah kita masih mengenal cinta, jika hati telah bercabang?

Maka, doa para pecinta kerap panjang tanpa banyak kata. Ia tenggelam dan kata-kata tak lagi diperlukan, selain mungkin sunyi.

Dari atas salib, Sang Mesias berseru dengan pertanyaan ringkas, Tuhan, mengapa Kautinggalkan Aku? Itu saja. Sebuah protes? Mungkin. Sebuah doa yang berarti percakapan? Pasti. Setelah doa itu terucap, tak ada tangan yang terulur dari langit untuk melepaskan-Nya dari salib. Tak terjadi apa-apa, selain kematian yang menjelang. Seruan dari atas salib tak mengubah apa-apa, tak melepaskannya dari penderitaan dan kematian. Tetapi, seruan itu, saya kira, sebuah harapan dan pencarian pribadi dari seorang pecinta sejati kepada yang dicintai.

Bagaimana seharusya kita berdoa?

Chairil Anwar menuliskan Doa sebagai sebuah sajak enam baris. “Tuhanku dalam termangu aku menyebut nama-Mu,” tulisnya begitu. Saya membayangkan Chairil sedang berada pada batas kerinduan akan yang tak berbatas, setelah sebuah pencarian yang tak berujung temu di dunia yang fana ini. Rindu itu tak tertampungkan kata, maka ketika dibahasakan tak mungkin bertele-tele. Kata-kata hanya perlu secukupnya, sisanya totalitas dalam penyerahan.

“Tuhanku di pintu-Mu aku mengetuk,aku tidak bisa berpaling,” tulis Chairil mengakhiri syairnya.

Lalu, bagaimana seharusnya kita berdoa?

Entahlah.

Yang saya ingat kemudian, sebuah nasihat dalam catatan Matius 5, perihal cara berdoa.

“Jika kalian berdoa,” tulisnya, “masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.”

Doa jadi sebuah rahasia yang dibincangkan di tempat sunyi, suaranya tak dikenal gendang telinga, luput dibaca mata manusia. Itu sebuah cinta dan harapan yang mengarah ke telinga Tuhan. Atau mungkin Matius akan menuliskan nasihat berbeda jika ia hidup di zaman ini.  “Jika kalian berdoa, tulislah secukupnya di dinding rumah mayamu, dengan karakter yang memadai. Tuhan pasti membacanya!

Tapi, mungkin, saya curiga suatu ketika Tuhan memutuskan menutup semua pintu rumah ibadah, dan membuka akun facebook. Ia perlu mendirikan kemah di sana, untuk mendengarkan banyak keluh yang sesukanya diumbar.

Di sana, doa punya arti tunggal; ungkapan cinta yang berlebihan pada diri sendiri; memamerkan sesuatu yang murahan dengan mengatasnamakan Tuhan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini