Floresa.co – Pada 2-3 November, kurang dari sepekan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Suster Eusthocia Monika Nata, SSpS masih ikut dalam sebuah aksi unjuk rasa di Maumere, Kabupaten Sikka.
Aksi itu, yang diikuti oleh para suster lain, mahasiswa dan aktivis kemanusiaan mendesak polisi untuk segera bergerak cepat memproses kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang dengan korban 17 gadis di bawah umur yang diperkerjakan di empat tempat hiburan malam di Maumere, kasus yang terungkap sejak Juni lalu.
Dalam sejumlah foto dokumentasi aksi itu, suster itu tampak berorasi, bahkan berdebat dengan polisi. Foto lain juga memperlihatkan ia duduk di depan peserta aksi, dengan wajah yang kelelahan.
Beberapa hari setelah aksi itu, pada 8 November, kabar duka meninggalnya muncul, yang serentak memicu lahirnya ungkapan dukacita, termasuk di media sosial, sinyal bahwa ia telah mewariskan banyak hal baik bagi sekian banyak orang. Penyakit di jantung – yang kabarnya sudah lama ia derita – membuatnya dilaporkan menghembuskan nafas terakhir pada pukul 02.00 Wita.
Provinsial SSpS wilayah Flores Barat, Suster Maria Yohana SSpS mengatakan, mereka merasa kehilangan sebagai sesama rekan sekonggregasi maupun sebagai seorang tokoh dan aktivis yang berjuang untuk kemanusiaan. Ia juga mengatakan, mereka tentu akan meneruskan apa yang telah dilakukan suster yang telah dimakamkan pada 10 November itu.
Kesetiaan Suster Eusthocia berdiri bersama para perempuan korban kekerasan hingga di hari-hari terakhir hidupnya memahkotai konsistensi dan komitmen yang telah ia bangun selama beberapa dekade mengabdi bagi kemanusiaan.
Suster itu tercatat merupakan salah satu perintis Tim Relawan Kemanusiaan – Flores (TRUK-F), lembaga yang berdiri pada 1997, di mana ia memimpin divisi perempuannya hingga akhir hayatnya.
Dengan lembaga itu, ia berani dan gigi membela hak-hak perempuan korban, umumnya terkait kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan perdagangan manusia.
Perjuangannya selain kemudian mampu menyelamatkan para korban, juga beberapa pelaku bisa diseret ke jeruji besi. Bersama para suster lain, ia juga mengelola sebuah rumah singgah, tempat para korban memulihkan diri, hingga kemudian mereka siap untuk mandiri.
Kesetiaan untuk berdiri bersama korban membuat Suster Eusthocia tidak takut terhadap siapapun pelaku, apapun posisi mereka. Salah satu perjuangannya yang cukup lama adalah ketika hampir satu dekade lalu ia membela hak seorang pekerja rumah tangga yang dikabarkan dihamili oleh Marianus Sae, Bupati Ngada kala itu, politisi yang kemudian masuk penjara karena kasus korupsi.
Ia juga tanpa gentar memperjuangkan hak-hak para pekerja anak dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi di sebuah toko roti milik pengusaha di Maumere.
Hingga 2019, tercatat suster itu telah membantu dan memperjuangkan 2.410 perempuan korban kekerasan, 615 di antaranya merupakan korban kekerasan seksual.
Pastor Ottor Gusti Madung SVD, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero yang selalu bersama Suster Eusthocia bergerak memperjuangkan hak para korban mengatakan, selain konsisten, Suster Eustochia adalah sosok yang sabar dalam perjuangannya.
“Ia sabar karena perjuangan menegakkan hak korban sering berbenturan dengan lembaga hukum yang sering berpihak pada pelaku dan melupakan korban,” katanya.
Ia mengatakan, suster itu selalu meyakini bahwa “pada saatnya kebenaran pasti terkuak dan keadilan bagi korban pasti dapat terwujud.”
“Jika bukan di dunia ini, maka dalam dunai eskatologis. Keyakinan spiritual ini mungkin yang mendorong Suster Eusthocia untuk terus berjuang, bahkan ketika usianya sudah uzur dan tenaganya tidak kuat lagi,” katanya.
Sementara itu, Angelo Wake Kako, anggota Dewan Perwakilan Daerah yang berasal dari Maumere mengatakan, suster itu adalah “guru bagi para aktivis kemanusiaan.”
“Banyak pelajaran darinya tentang arti sebuah kegigihan dalam perjuangan, dengan segala risikonya,” katanya.
Angelo mengaku banyak belajar saat ia sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Maumere pada 2012-2013 dan terlibat bersama suster itu berjuang bagi para perempuan korban.
Kasmiati Zivanna, seorang perempuan Muslim, yang pernah dibantu oleh Suster Eusthocia mengatakan suster itu “tidak pernah membeda-bedakan” dan kabar kematiannya membuatnya begitu kaget.
“Engkau merangkul kami dalam pelukanmu pada saat kami telah jatuh dan rapuh. Engkau memberikan kami semangat baru untuk bangkit. Selamat jalan orang baik,” katanya dalam unggahannya di Facebook.
Ia menambahkan, tiga pekan lalu ia masih melakukan panggilan video dengan suster itu, di mana dia diberi pesan untuk menjaga diri baik-baik.
Sementara itu, Dominggus Elcid Li, seorang peneliti dan aktivis sosial mengatakan, lewat karya-karya kemanusiaannya, Suster Eusthocia telah menjadikan tembok biara sebagai tempat perlindungan terbaik bagi para perempuan yang teraniaya.
“Menyebut namanya, seolah sudah menjadi garansi integritas bahwa korban akan dilindungi dan hak mereka akan dipenuhi,” katanya.
Ia menambahkan, dalam tubuhnya yang menua, Suster Eusthocia tidak pernah merasa tua untuk bersuara.
“Turun ke jalan sekali pun tetap ia lakukan untuk mengingatkan mereka yang lupa pada kenyataan.”
FLORESA