Floresa.co – Dari pinggiran jalan raya yang menghubungkan Labuan Bajo dengan wilayah selatan kota pariwisata itu, Pantai Pede hampir tidak kelihatan.
Semak yang tinggi, ditambah dengan sebuah bangunan hotel yang tidak lagi terurus menutupi pandangan ke arah pantai itu.
Floresa yang meninjau lokasinya baru-baru ini langsung disambut rumput liar yang tinggi di pintu gerbangnya.
Di pinggir jalan bebatuan dari pintu masuk itu, potongan kayu berukuran besar membaur dengan tumpukan tanah dan sampah yang berserakan.
Sementara di ujung jalan itu, yang dekat dengan bibir pantai, terdapat tumpukan sampah dalam plastik besar berwarna hitam yang digantung di pangkal sebuah pohon.
Hotel Pelago, yang dibangun PT Sarana Investama Manggabar [PT SIM], masih berdiri di dekat pantai itu.
Namun, bangunannya tidak lagi terawat. Rabat beton yang menjadi akses masuk ke hotel sudah rusak.
Di bagian kanan di pintu masuk tampak beberapa pohon kelapa dengan tinggi sekitar dua meter. Sementara di bagian kiri pintu masuk terdapat tembok dengan tinggi sekitar 30 cm dan panjang 4 meter.
Di sebelah tembok itu, terdapat dua bangunan mangkrak yang tiang-tiangnya dari besi baja.
Berdiri di antara kayu-kayu dan semak-semak membuat bangunan itu tidak terlihat jelas dari jalan raya.
Bangunan itu hanya memiliki atap, tanpa dinding. Beberapa bagian besinya mulai terlepas.
Pantai yang Dulu Diambil dari Publik
Hingga pada tahun 2014, pantai itu adalah adalah satu-satunya pantai publik yang masih tersisa dan bisa diakses bebas masyarakat di pesisir Labuan Bajo setelah wilayah-wilayah lainnya dikuasai oleh hotel-hotel yang berdiri berdekatan dengan bibir pantai.
Namun, pemerintah provinsi di bawah kepemimpinan Gubernur Frans Lebu Raya yang mengklaim sebagai pemiliknya menyerahkanya ke PT SIM untuk pembangunan hotel, sesuai perjanjian kerja sama yang diteken pada 2012.
PT SIM berhubungan dengan Setyo Novanto, terpidana korupsi, yang kala itu masih sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan NTT.
Langkah provinsi disambut protes keras dari banyak pihak.
Kampanye “Save Pede” atau selamatkan Pede agar tetap jadi pantai publik digaungkan, dengan beragam bentuk aksi protes dari kelompok pemuda, aktivis lingkungan, juga kelompok agama seperti Gereja Katolik.
Tidak hanya itu, kelompok sipil juga menyusun konsep pemanfaatkan pantai itu sebagai natas labar [tempat bermain], di mana di dalamnya terdapat ruang ekspresi seni, galeri, dan lain-lain, beserta dengan kalkulasi pemasukan yang bisa didapat untuk kas daerah. Konsep itu untuk menandingi kontribusi yang diberikan PT SIM, 250 juta rupiah per tahun ke provinsi.
Setelah kawasan itu tetap diambil alih, sayangnya tidak ada tanda-tanda bahwa pantai itu dimanfaatkan maksimal sebagaimana yang digembar-gemborkan.
Yang terjadi kemudian rentetan soal.
Kerja sama PT SIM dengan Pemprov NTT menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] karena kontribusi perusahaan itu Rp 250 juta ke Pemprov NTT dinilai terlalu rendah.
Pada 18 April 2020, pengelolaan wilayah seluas 3,1 hektar itu, termasuk Hotel Pelago, kemudian diambil alih oleh pemerintah provinsi NTT. Langkah itu diambil dua pekan setelah provinsi melakukan pemutusan hubungan kerja sama dengan PT SIM.
Pengambilalihan aset ini dipimpin Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing.
Ia beralasan, PT SIM telah melakukan wanprestasi yakni tidak membayar kontribusi per tahun, terhitung sejak 2015. Ia juga menyoroti ketidakhadiran PT SIM untuk membahas kenaikan kontribusi menjadi Rp 750 juta, merespon temuan BPK.
Zeth juga menyebutkan langkah PT SIM yang tidak menyediakan 10% ruang publik untuk akses menuju Pantai Pede.
PT SIM tidak menerima langkah itu, dan sempat melaporkan pemerintah provinsi ke Ombudsman.
Bersamaan dengan pengambil alihan aset itu, Pemerintah Provinsi NTT menunjuk PT Flobamor, badan usaha milik provinsi untuk menanganani aset itu.
Floresa memang menemukan beberapa orang tinggal sementara di bangunan Hotel Pelago dan mereka mengaku sebagai karyawan PT Flobamor. Salah seorang di antaranya menyebutkan ada empat karyawan PT Flobamor yang tinggal di sana.
Floresa sudah mengubungi Zeth Sonny Libing yang kini menjadi Kepala Dinas Pariwisata NTT untuk meminta informasi tindak lanjut pengelolaan wilayah pantai itu, termasuk terkait pemanfaatan Hotel Pelago.
Namun, ia hanya membaca pesan yang dikirimkan lewat aplikasi Whatsapp-nya dan tidak merespon.
Mulai Dimanfaatkan Kembali oleh Warga
Sementara pemerintah menelantarkan pantai itu, akhir-akhir ini warga setempat mulai kembali datang ke pantai itu untuk berekreasi.
Hal ini juga dimanfaatkan oleh pedagang kecil untuk mencari rezeki.
Floresa menemukan setidaknya 19 stan yang menjual makanan dan minuman yang berjejer di sepanjang pantai. Beberapa lainnya sedang dibangun.
Stan-stan itu dilengkapi dengan kursi dan meja untuk para pengunjung.
Fatima Hakin [40] salah satu pedagang mengatakan, ia mulai aktif berjualan sejak dua tahun lalu.
“Kami bangun sendiri stan ini,” ungkapnya sambil menunjuk stan yang ditutupi sebuah terpal biru.
Hal yang sama diakui Riswan [35] yang sudah berdagang di lokasi itu sejak satu setengah tahun lalu.
“Saya sendiri bangun tempat ini. Awal-awal saya ambil kayu yang dibawa arus di pinggir pantai untuk dijadikan tenda,” ungkap pria yang sehari-hari juga bekerja sebagai nakhoda sebuah kapal di Labuan Bajo.
Ia baru-baru ini merombak stannya dengan material yang lebih bagus.
Baik Fatima maupun Riswan tahu bahwa pantai itu adalah aset pemerintah provinsi.
Namun, bagi mereka, daripada ditelantarkan, lebih baik dimanfaatkan untuk bisa menghidupi keluarga mereka.
“Hasil dari menjual di sini hanya untuk kebutuhan keluarga, apalagi harga barang di Labuan Bajo ini mahal. Beli beras dan ikan atau sayur sudah cukup untuk kami,” jelas Fatima, ibu dari lima anak.
Fatima yang menjual makanan dan minuman ringan, rokok, kopi dan air mineral juga mengaku mau membiayai pendidikan anak-anaknya.
Riswan juga menjual barang yang hampir sama, keculai es kelapa yang didatangkan dari Terang, Kecamatan Boleng.
“Selama satu tahun lebih jualan di sini, sangat membantu kebutuhan keluarga sehari-hari, juga kebutuhan pendidikan anak,” jelas bapak dari dua orang anak ini.
Riswan dam isterinya harus tidur di stan untuk menjaga barang-barang mereka yang sebelumnya beberapa kali dicuri oleh maling.
Tata Kelola yang Buruk
Ignasius Juru, peneliti pada PolGov Research Centre, Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol Universitas Gajah Madah Yogyakarta yang sempat ikut dalam gerakan publik Save Pede mengatakan, terlantarnya Pantai Pede saat ini merupakan akibat dari dua hal.
Pertama, kata dia, belum ada kesepakatan politik antara pemerintah daerah kabupaten dan provinsi soal rumusan kebijakan yang tepat terkait Pantai Pede.
Kedua, terbatasnya ruang partisipasi warga lokal dalam menentukan pemanfaatan Pantai Pede.
“Gerakan Save Pede sudah pernah menawarkan narasi Pede sebagai natas labar, tetapi artikulasi ini tidak pernah menjadi rumusan kebijakan untuk menata dan mengelolah Pantai Pede,” katanya.
Ia mengatakan, kalau ada urgensi untuk mengembalikan Pantai Pede sebagai ruang publik maka pintu masuknya adalah rekonsolidasi lagi gerakan Save Pede dan mendorong untuk membesar isu itu “sehingga bisa jadi kebijakan di level provinsi.”
Sementara itu Marselinus Jeramun, Wakil Ketua DPRD Manggarai Barat mengatakan, telantarnya Pantai Pede menjadi salah satu barometer penilaian masyarakat untuk mengukur kinerja pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten.
“Pesan yang kita ambil adalah cerita dan kisah tentang kegagalan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam mengelola ruang publik dengan baik, khususnya Pantai Pede,” katanya kepada Floresa.
“Sangat lucu memang, ketika di awal menggebu-gebu untuk memperjelas status Pantai Peda. Bahkan pemerintah provinsi di bawah rezim gubernur sekarang berambisi untuk mengelola Pantai Pede, namun hingga hari ini belum ada tanda-tanda,” tambah Marselinus.
Ketika Floresa bertanya kepada para pedagang di pantai itu perihal sikap mereka jika pemerintah akan memprivatisasi lagi pantai itu dan membatasi lagi akses bagi publik, termasuk untuk mereka, seorang ibu menjawab dengan tegas.
“Kalau ada yang model begitu lagi, kita akan tolak,” katanya, sambil meminta namanya tidak ditulis.
Ia mengaku ikut dalam berbagai aksi protes ketika pantai itu diprivatisasi oleh pemerintah provinsi.
Riswan juga menyatakan sikap serupa.
“Ini kan tempat untuk umum. Kalau tempat ini dikapling orang luar, kami jualan di mana? Keluarga kami hidup dari mana lagi?” katanya.