Peringati Hari Anti Tambang, Warga Desak Pemerintah Cabut Status Flores sebagai Pulau Geothermal

Ugal-ugalan, kata warga terkait penetapan Flores sebagai Pulau Geothermal karena tanpa konsultasi dengan mereka sebagai pemilik lahan.

Floresa.co – Senin pagi, 29 Mei 2023, sekitar 60 warga Poco Leok berkumpul di halaman Kampung Lungar, Desa Lungar, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.

Mereka membawa spanduk bertuliskan “Flores Bukan Pulau Geothermal! Warga Adat Poco Leok Tolak Proyek Geothermal!.” 

Mengenakan pakaian adat Manggarai, mereka mengitari Compang, altar adat di tengah kampung, membacakan pernyataan sikap dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang [Hatam] tahun 2023.

“Kami masyarakat adat Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai pemilik yang sah atas tanah dan ruang hidup Poco Leok menyatakan penolakan terhadap proyek geothermal atau tambang panas bumi di atas tanah kami,” demikian isi pernyataan mereka.

Pada bagian lain pernyataan itu, mereka mendesak pemerintah pusat, PT Perusahaan Listrik Negara, dan Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) untuk menghentikan seluruh proses sosialisasi, survei lokasi, penetapan lokasi, pengadaan lahan, dan proses-proses selanjutnya dari proyek perluasan PLTP Ulumbu di wilayah itu.

Warga menyoroti sikap pemerintah dan perusahaan yang menurut mereka telah melakukan “survei ugal-ugalan dalam lahan milik warga, sosialisasi yang tidak terbuka, pendekatan sembunyi-sembunyi terhadap masing-masing pemilik lahan, penyebaran informasi yang tidak transparan dan tidak valid kepada publik, penetapan lokasi tanpa konsultasi publik, hingga pengerahan aparat keamanan yang menciptakan ketakutan.”

Warga juga memanfaatkan momen itu untuk menyerukan kepada pemerintah pusat untuk mencabut keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

Mereka menyebut,  keputusan yang ditandatangani tanggal 19 Juni 2017 oleh Menteri Ignasius Jonan kala itu adalah cacat.

“Keputusan tersebut dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa konsultasi dengan warga sebagai pemilik tanah, dan berpotensi merusak ekosistem manusia dan lingkungan di pulau kecil Flores ini,” kata mereka.

Desakan  juga ditujukan kepada pemerintah Kabupaten Manggarai, untuk mencabut SK Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok, yang diterbitkan pada 1 Desember 2022.

Ratusan kilometer ke arah barat dari Poco Leok, warga Desa Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat berkumpul di rumah adat Kampung Nunang sejak pukul 11.00 Wita. Selain dari Nunang, warga juga berasal dari Dasak dan Lempe.

Seperti halnya di Poco Leok, mereka juga menolak proyek geothermal dan keputusan pemerintah menetapkan Flores sebagai Pulau Geothermal. 

“Keputusan tersebut tidak hanya diambil secara sepihak oleh pemerintah tetapi juga mengancam keselamatan kami dan keutuhan ruang hidup” kata mereka.

Warga Wae Sano ketika membacakan surat pernyataan sikap pada peringatan Hari Anti Tambang, 29 Mei 2023. (Dokumentasi Floresa)

Warga juga mendesak pemerintah, PT Geo Dipa Energy, dan Bank Dunia sebagai pemberi dana untuk menghentikan proyek itu.

Mereka menyebut proyek itu “mengabaikan prinsip hak asasi manusia, gagal menghormati hutan, danau, air, hewan, gagal menghormati kehidupan bersama, serta melanggar prinsip keterbukaan atau transparansi informasi.”

Proyek Geothermal Poco Leok adalah perluasan PLTP Ulumbu, yang sejak beroperasi sejak tahun 2012 menghasilkan 10 MW listrik, direncanakan naik menjadi 2×20 MW melalui proyek perluasan tersebut.

Sementara itu, geothermal Wae Sano, yang diklaim memiliki cadangan listrik sebesar 30 MW ditargetkan menyuplai 10-35 MW listrik untuk kebutuhan di Pulau Flores.

Maria Yosefina Haul, perempuan asal Kampung Dasak, Desa Wae Sano mengatakan ia menentang proyek itu karena cemas setelah menyaksikan proyek geothermal yang gagal di Mataloko, Kabupaten Ngada.

“Saya melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana geothermal yang gagal di Mataloko menghancurkan lahan pertanian, dan merusak mata pencaharian, terutama sawah,” kata Maria yang berkunjung ke Mataloko bulan April lalu.

“Lumpur panas di sana meluap sampai 500 meter  hingga 1 km dari titik bor, dekat dengan kampung dan merusak sawah, jagung, ubi jalar dan hasil pangan lain milik warga,” tambahnya.

Regina Tin, perempuan Wae Sano lainnya yang juga ikut berkunjung ke Mataloko mengatakan menolak keras geothermal karena membahayakan kehidupan warga.

“Kami sebagai perempuan akan sangat merasakan dampak buruknya sebab proyek itu menghilangkan mata air dan sumber pangan untuk keluarga kami,” ungkapnya.

Tadeus Sukardin, koordinator lapangan aksi di Poco Leok berharap pemerintah mendengarkan suara warga yang tampak dalam pernyataan sikap mereka.

“Situasi di Poco Leok sangat menyedihkan dan menyakitkan, karena perjuangan masyarakat adat sudah cukup lama, tetapi pihak pemerintah dan perusahaan terus berupaya untuk menggolkan proyek ini,” ungkapnya.

Ia berharap, suara penolakan mereka segera didengarkan dan “pemerintah bisa membuka mata dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat adat Poco Leok.”

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, lembaga yang ikut mendukung perjuangan warga Poco Leok dan Wae Sano mengatakan, Hatam 2023 menjadi momentum bagi warga, termasuk di Pulau Flores untuk menjalin solidaritas sebagai penduduk yang terdampak pembangunan ekstraktif, yang alih-alih menyejahterahkan justru memicu daya rusak meluas dan tak terpulihkan, hingga merugikan keuangan negara.

“Dalam konteks Kepulauan Flores, Hatam 2023 menjadi sangat relevan, mengingat nyaris tak ada ruang aman bagi masa depan warga,” katanya.

Penetapan Flores sebagai Pulau Geothermal hingga model pengembangan pariwisata super premium yang massal, kata dia, menuntut warga kehilangan ruang hidup, tanah dan air, hingga wilayah laut.

Melky mengatakan, Hatam tahun ini mengambil tema “Kolonialisme Industri Ekstraktif”, untuk mengingatkan pemerintah tentang model pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekstraktivisme dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, bukan kesejahteraan warga dan keutuhan ruang hidupnya.

Penetapan Flores sebagai Pulau Geothermal oleh Kementerian ESDM menjadi dasar dari kebijakan pemerintah untuk menyusun road map geothermal di beberapa titik di pulau tersebut, yang diklaim memiliki potensi panas bumi sebesar total 902 MW atau 65% dari potensi panas bumi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Menurut data Kementerian ESDM tahun 2017, potensi tersebut tersebar di 16 titik sepanjang Pulau Flores, yaitu di Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA