Floresa.co – Aktivis di NTT memberi catatan terkait klaim ‘membaik’ menurut penilaian pemerintah AS terhadap komitmen Indonesia mengatasi masalah perdagangan orang.
“Perbaikan yang orang-orang bayangkan pada skala nasional itu, belum terjadi di NTT,” kata Suster Laurentina Suharsih yang berbasis di Kupang.
Biarawati Katolik dari Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi itu merespons laporan terbaru Departemen Luar Negeri AS yang menempatkan Indonesia pada posisi membaik dalam penanganan praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO].
Indonesia, menurut laporan Trafficking in Persons yang dirilis awal bulan ini, naik dari Tier 2 Watchlist ke Tier 2.
Negara-negara yang tercakup dalam Tier 2 Watchlist mencatat jumlah korban perdagangan manusia yang parah, gagal membuktikan peningkatan upaya memerangi perdagangan manusia dan belum sanggup memenuhi standar minimum Victims of Trafficking and Violence Protection Act [TVPA] atau peraturan terkait perlindungan korban perdagangan manusia dan kekerasan.
Sementara sematan Tier 2 pada suatu negara menunjukkan pemerintah belum sanggup memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam TVPA, namun mulai menerapkan langkah-langkah signifikan guna memenuhi standar itu.
Meski predikat Indonesia ada perubahan, bagi Suster Laurentina, yang ia hadapi di NTT tidaklah demikian.
“Sosialisasi antiperdagangan manusia belum maksimal,” katanya kepada Floresa, menyinggung salah satu indikator yang ia nilai.
“Pelaku dari kepolisian tak juga ditindak dan banyak korban pulang dalam kondisi depresi,” tambahnya.
Empat Pilihan Penerimaan
Suster Laurentina mengatakan, Bandara Internasional El Tari di Kupang merupakan pintu gerbang terbesar perdagangan manusia di NTT, yang sayangnya tampak seperti tidak ada kontrol ketat dari otoritas.
“Terkadang korban terbang sendiri atau bersama dengan pelaku,” katanya.
Ia mengatakan, mereka biasanya terlebih dulu transit di Medan atau Palembang, sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan, seperti Malaysia dan Hong Kong.
Menurut Suster Laurentina, korban umumnya terbuai iming-iming calo yang datang ke desa-desa di NTT.
Para korban kemudian menandatangani surat kontrak yang tak absah, tanpa bekal keterampilan relevan dan pengetahuan yang cukup atas pemenuhan hak sesuai peraturan pemerintah.
Kebanyakan buruh migran non-prosedural NTT bekerja pada sektor perkebunan kelapa sawit, perikanan dan sebagai asisten rumah tangga.
Buruh perkebunan kelapa sawit, jelasnya, biasanya tinggal di barak-barak tersembunyi, bekerja tak kenal waktu dan kekurangan gizi.
Sementara di dalam rumah-rumah majikan, buruh migran yang bekerja sebagai asisten rumah tangga kerap mendapat kekerasan fisik, termasuk kekerasan seksual.
Bermacam-macam alasan yang memicu kekerasan fisik, kata Suster Laurentina, mulai dari dianggap kurang rapi, malas hingga menolak ketika dipaksa mengakui hal-hal yang sebetulnya tak mereka lakukan.
Ketika sakit, mereka hanya bisa menyembuhkan diri dengan obat-obatan yang mudah ditemukan di warung terdekat, yang kadang membuat kondisi malah makin parah.
“Ironis, tetapi saya harus mengatakan ini,” katanya, “ketika korban berhasil pulang [ke NTT], kami harus menerima mereka dengan empat pilihan kondisi: meninggal, hidup dengan badan yang sakit, hidup dengan jiwa yang butuh disembuhkan, hidup dengan badan dan jiwa yang sama-sama butuh disembuhkan.”
Saking seringnya mengurus jenazah buruh migran NTT sejak 2016, suster ini dikenal sebagai “Suster Kargo.”
Korban yang meninggal kemudian diantar ke keluarga mereka untuk dimakamkan. Yang pulang dalam kondisi sakit lebih dulu didampingi – sebelum dikembalikan ke keluarga mereka ketika sudah membaik.
Sementara korban butuh waktu lama untuk sembuh, kata dia, sayangnya pelaku umumnya tidak segera ditangkap dan sebagiannya adalah justru aparat.
“Kami menemukan beberapa terduga pelaku TPPO di NTT merupakan anggota kepolisian [setempat],” kata Suster Laurentina.
Ia beberapa kali mendampingi korban melapor ke kepolisian terkait dugaan andil anggota mereka dalam TPPO.
Pengakuan Suster Laurentina soal dugaan keterlibatan aparat memang bukan cerita baru.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI], Benny Rhamdani baru-baru ini menyebut dengan terang bahwa ada sindikat perdagangan orang yang tidak tersentuh selama bertahun-tahun karena dibekingi oknum aparat mulai dari TNI/Polri hingga kementerian dan lembaga, termasuk oknum BP2MI sendiri.
“Saya katakan ada oknum TNI terlibat, oknum Polri terlibat, oknum kementerian/lembaga terlibat, Pemda terlibat, dan oknum di BP2MI. Saya ingin fair sampaikan ini,” katanya pada 4 Juli.
Sebuah laporan investigasi Floresa pada tahun lalu juga mengungkap bagaimana di sebuah pelabuhan di Larantuka, Flores Timur, tenaga kerja non-prosedural berangkat ke Kalimantan, untuk seterusnya ke Malaysia, tanpa ada kontrol dari otoritas setempat.
Kolaborasi di Semua Tahap Migrasi
Aktor intelektual, makelar dan “beking-bekingnya dalam kasus TPPO di NTT belum tersentuh hukum,” kata Gabriel Goa Sola, anggota tim lobi dan advokasi Zero Human Trafficking Network, organisasi yang mengadvokasi kasus-kasus perdagangan manusia di NTT.
“Kaum kuat kuasa dan kuat modal menikmati ringgit dan dolar, sementara rakyat kecil NTT yang menanggung beban,” katanya pada 5 Juli.
Ia mengatakan, seharusnya upaya kontrol terhadap masalah ini bisa sampai ke kampung-kampung, mengingat para calo juga beroperasi hingga ke daerah pelosok.
“Jangan pula katakan sulit sosialisasi anti-TPPO ke desa-desa NTT. Kondisi geografis NTT yang berupa kepulauan tak boleh jadi pembenaran akan ‘sulitnya sosialisasi.’”
Menurutnya, kemampuan dan pelbagai medium dalam era digital seharusnya dapat dimanfaatkan lebih efektif untuk mencegah perdagangan manusia hingga tempat-tempat terpencil sekalipun.
Pemerintah dapat menggalakkan sosialisasi lewat media sosial, radio dan televisi.
“Pemerintah juga harus punya kemauan untuk berkolaborasi agar tak lagi marak TPPO,” kata Gabi.
Suster Laurentina mengatakan, selain menangani korban yang kembali ke NTT, mereka saat ini berupaya melakukan kolaborasi lintas negara untuk memastikan ada pelayanan bagi yang masih bekerja di luar negeri.
Kongregasinya, kata dia, secara intens berkoordinasi dengan sejumlah keuskupan di Malaysia. Mereka juga memiliki rekanan di kota/kabupaten transit calon pekerja migran.
“Kami lakukan itu semua karena upaya pemerintah tak pernah maksimal dalam penanganan TPPO di NTT,” kata Suster Laurentina.
Ia lalu mengutip pemberitaan media massa yang menyebutkan dua jenazah pekerja migran tiba di Indonesia setiap harinya.
“Di NTT, kami pernah beberapa kali terima hingga empat jenazah dalam sehari,” katanya.
Menurut data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia [BP3MI] NTT, total 68 jenazah buruh migran NTT yang dikirim lewat Bandara El Tari selama Januari-Juni 2023.
Terakhir adalah jenazah Eduardus Pita [35] asal Kabupaten Nagekeo yang tiba pada 29 Juni. Beberapa hari sebelumnya pada 24 Juni, tiba empat jenazah lainnya yang dikirim dari negara bagian Selangor, Perak dan Sabah di Malaysia.