Floresa.co – Teknologi merupakan medium pertumbuhan alternatif terbaik bagi media lokal. Pada saat yang sama, serangan dan kekerasan berbasis teknologi juga terus meningkat dengan efek yang kian berlapis bagi media dan jurnalis kritis.
Dalam lima tahun terakhir, “kekerasan berbasis fisik terhadap jurnalis kritis bermetamorfosis menjadi kekerasan digital dengan instrumen non-negara tetapi [praktiknya] dikendalikan aparat,” kata Masduki, akademisi sekaligus peneliti Pemantau Regulasi dan Regulator Media.
Hingga lima tahun lalu kekerasan terhadap jurnalis dikaitkan dengan operasi fisik intelijen. Mereka mendatangi, menyerang, merebut dan menghancurkan alat peliputan jurnalis.
Seiring perkembangan teknologi, “kini [kerja-kerja fisik] intelijen bertransformasi menjadi strategi ‘tentara digital’ atau cyber troops,” kata Masduki dalam gelar wicara virtual Berjuang di Tengah Gemerlap Labuan Bajo.
Dipandu Lukas Ispandriarno, gelar wicara pada 17 Agustus itu diselenggarakan oleh Katolikana, sebuah media Katolik dengan ragam platform, termasuk radio dan portal berita.
Selain Masduki, dua perwakilan redaksi Floresa turut menjadi pembicara; Rosis Adir, pemimpin redaksi dan Anastasia Ika, salah satu editor.
Masduki merupakan satu dari tiga juri Udin Award 2023, penghargaan tahunan yang diberikan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Indonesia kepada Floresa pada 7 Agustus.
Masduki menyatakan “juri Udin Award terdiri atas perwakilan tiga pilar masyarakat, yakni perkumpulan jurnalis, organisasi advokasi dan akademisi.”
Mewakili akademisi, Masduki menjadi juri bersama dengan Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia – perwakilan organisasi advokasi – dan Musdalifah Fachri, pengurus bagian advokasi AJI Indonesia – perwakilan perkumpulan jurnalis.
Selain migrasi kekerasan fisik ke digital, Masduki mencatat dua hal lain yang menjadi indikator penilaian Udin Award 2023. Masing-masing adalah perubahan tipologi kekerasan dan kekerasan yang melibatkan proyek nasional.
Sesuai pernyataan resmi AJI, Floresa dipilih karena mendapat intimidasi dari aparat keamanan dan serangan digital pada Maret usai memberitakan proyek jalan di Labuan Bajo yang diresmikan Presiden Joko Widodo tanpa memberi ganti rugi kepada warga.
Selain itu adalah serangan lain pada Mei, di mana empat orang narasumber Floresa dalam laporan kasus ganti rugi lahan warga tersebut mendapat surat panggilan polisi dengan tudingan tindak pidana penghasutan.
Kuatnya dampak pemberitaan, kata AJI, membuat tim juri menetapkan Floresa layak mendapatkan penghargaan ini.
Masduki memberi catatan bahwa tipologi rentetan kekerasan yang dihadapi Floresa “tak bersifat kultural.” Kekerasan terhadap jurnalis disebut bersifat kultural jika terjadi secara horizontal. Misalnya ketika jurnalis harus berhadapan dengan sesama masyarakat sipil, pengusaha maupun jurnalis lainnya.
Sebaliknya, kekerasan yang dihadapi Floresa “menyangkut prioritas ekonomi dan politik negara, yang menyeret serta lembaga pemerintahan dan militer.”
Masduki menyebut prioritas itu “selaras fokus pembangunan Presiden Joko Widodo yang mengedepankan infrastruktur.”
Dengan “percepatan yang begitu rupa, proyek-proyek infrastruktur itu berisiko menimbulkan bentrokan dengan kepentingan warga negara pada tingkat lokal.”
Tekanan semakin masif lantaran “berita-berita yang ditulis Floresa terkait paham-paham pembangunan dan percepatan Labuan Bajo sebagai salah satu kawasan proyek strategis nasional.”
Dalam percepatan itu, “tentu saja ada pengusaha yang terafiliasi dengan otoritas dan aktor-aktor besar negara ini.”
Sementara, demi mewujudkan kelancaran proyek nasional, “semua diharapkan [berada di bawah] satu komando dan satu suara.” Itulah mengapa “yang [bersuara] kritis harus menghadapi kekuatan besar.”
Kekerasan berbasis digital terhadap jurnalis tak hanya menimpa media-media lokal. Masduki mencatat sejumlah media alternatif berbasis Jakarta pun tak luput dari ancaman kekerasan. Misalnya yang pernah menimpa Project Multatuli dan Konde.
Padahal, “ekosistem aktivisme di Jakarta itu sebetulnya sudah kuat.”
Ekosistem aktivisme yang kuat memungkinkan jurnalis yang mengalami kekerasan dapat segera melapor ke Lembaga Bantuan Hukum Pers dan organisasi advokasi lainnya sehingga segera mendapat advokasi dan perlindungan yang dibutuhkan.
“Saya tak bisa membayangkan ketika kekerasan yang sama dialami media lokal seperti Floresa,” kata Masduki.
Ekosistem aktivisme di daerah-daerah, paparnya, tak sekuat Jakarta.
Ia mengisahkan “banyak sekali [media] yang diusulkan kepada juri Udin Award 2023.”
Ketiga juri bersepakat Floresa sebagai penerima Udin Award 2023 “berdasarkan ketiga indikator pertimbangan” yang sebelumnya telah ia rinci.
Udin Award 2023, kata Masduki, “merepresentasikan pesan kolektif dari tiga pilar masyarakat supaya otoritas tak lagi mengulangi tindakan buruk terhadap jurnalis.”
Penghargaan itu yang diberikan kepada media lokal berbasis di Labuan Bajo sekaligus menunjukkan “kepedulian Jakarta akan jurnalis di daerah yang peduli pada isu pembangunan setempat.”
Rosis Adir menyatakan Udin Award 2023 “mengingatkan kami supaya lebih kuat menghadapi tantangan berikutnya dan menjaga keberlanjutan, dengan tetap konsisten sebagai media yang kritis, independen dan berpihak pada kepentingan warga.”
Senada dengan Rosis, Masduki berharap “Floresa dapat menjaga keberlanjutan jurnalisme yang berkualitas di tengah-tengah maraknya hoaks.”
Bagi Masduki, “yang dikerjakan Floresa adalah public goods yang dibutuhkan masyarakat.”
“Kami meyakini Floresa nantinya memberikan legacy yang akan memperkuat advokasi bagi hak-hak asasi manusia,” katanya.