Untuk Mendulang Suara atau Pendidikan Politik? Akademisi dan Praktisi di NTT Respons MK yang Izinkan Kampanye di Lembaga Pendidikan 

Butuh pengaturan yang tegas soal pelaksanaan kampanye di lembaga pendidikan

Floresa.co – Dalam putusan terbaru terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum [UU Pemilu], Mahkamah Konstitusi membolehkan lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah sebagai tempat kampanye.

Meski dengan syarat tertentu, mengingat sekolah menengah dan perguruan tinggi adalah lumbung suara pemilih muda, pengamat politik dan pemerhati pendidikan di Nusa Tenggara Timur [NTT] menilai keputusan itu bisa berdampak buruk jika tidak ada mekanisme pengaturan yang jelas.

Praktisi pendidikan juga menyebut, istilah kampanye di lembaga pendidikan kurang tepat dan sebaiknya menggunakan  istilah lain seperti “dialog.”

Di sisi lain, pengamat lainnya menilai putusan ini penting untuk pendidikan politik dan mendiseminasi gagasan kandidat dalam Pemilu.

Seperti Apa Isi Putusan MK?

Dalam putusannya yang diumumkan pada 15 Agustus, MK mengabulkan sebagian dari uji perkara UU Pemilu yang diajukan oleh Handrey Mantiri, seorang karyawan swasta dan Ong Yenny seorang anggota DPRD DKI Jakarta terhadap pasal 280 ayat (1) huruf h dan penjelasannya.

Pasal itu berbunyi: Pelaksanaan, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, bagian penjelasan huruf h, ada pelonggaran pembatasan dengan memberikan pengecualian, yaitu jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.”

Keduanya mempersoalkannya karena menilai ada inkonsistensi yang merugikan hak konstitusional mereka sebagai pemilih dan/atau sebagai calon anggota DPRD DKI Jakarta.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.

Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa “tempat ibadah.”

Lantas, pasal itu kini berbunyi: ‘[peserta pemilu dilarang] menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu.”

Dengan perubahan itu berarti hanya kampanye di tempat ibadah saja yang dilarang sepenuhnya, tanpa pengecualian.

Sementara kampanye di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan diizinkan, sejauh sudah mendapat izin dari penanggung jawab dan tanpa atribut kampanye.

Kekhawatiran 

Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia yang berada di rentang usia 15-24 tahun mencapai 44,6 juta atau sekitar 16,16% dari total populasi.

Jumlah tersebut potensial secara elektoral. Mereka adalah pemilih pemula yang akan menjadi target banyak calon anggota legislatif, calon bupati dan wali kota, calon gubernur dan calon presiden.

Yohanes Jimmy Nami, dosen ilmu politik di Universitas Nusa Cendana Kupang menyebut putusan MK itu mengesampingkan variabel peran politisi dan individu politik, yang sebetulnya merupakan etalase politik dalam kampanye, sementara “atribut hanya ornamen atau pemanis.”

“Menurut saya ini sekedar pengalihan. Logika yang dibangun kemudian hanya fokus pada ornamen politik sedangkan tokoh politik sebagai pemeran utama boleh melakukan kampanye dengan fasilitas publik,” katanya kepada Floresa pada 21 Agustus.

Ia juga memberi catatan bahwa akan ada kesempatan yang tidak sama di antara para politisi dalam memanfaatkan fasilitas publik seperti tempat pendidikan, terutama sekolah atau kampus negeri dan fasilitas pemerintah untuk kampanye.

“Tidak ada jaminan akses akan terdistribusi merata, karena momentum politik adalah kontestasi. Yang punya akses tentu akan dominan,” katanya.

Ada sebagian politisi, kata dia, yang memiliki privilese untuk bisa berkampanye di fasilitas-fasilitas tersebut, sementara yang lainnya tidak.

Terkait pengecualian adanya izin dari penanggung jawab fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan, menurut Jimmy, hal yang sulit diukur adalah integritas penyelenggara fasilitas publik.

“Bukankah setiap orang merupakan makhluk politik yang tentu tidak bebas nilai, punya preferensi politik sendiri yang bisa saja karena kewenangan yang dimiliki diarahkan sesuai kepentingan politik internal maupun eksternal?” katanya.

Kekhawatiran senada disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia [FSGI].

Organisasi guru itu itu menyatakan sekolah dan kampus semestinya tetap menjadi tempat yang netral untuk kepentingan publik.

“Secara teknis juga akan sulit bagi sekolah saat lembaganya digunakan untuk tempat kampanye di saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini berpotensi membahayakan keselamatan peserta didik”, kata Heru Purnomo, Sekretaris Jenderal FSGI dalam sebuah pernyataan tertulis.

Mengenai persyaratan “tanpa atribut” dalam berkampanye di fasilitas pendidikan, menurut FSGI, tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang.

“Dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam tempat pendidikan.”

Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI menambahkan, hal ini jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan.  

“Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat, relasi kuasa ada dan bahkan bisa menggunakan fasilitas sekolah tanpa mengeluarkan biaya. Jika menggunakan aula yang berpendingin udara misalnya, maka beban listrik menjadi beban sekolah”, tegasnya.

‘Bagus untuk Pertarungan Ide dan Gagasan’

Pendapat berbeda disampaikan oleh Umbu Pariangu, pengajar lain di Universitas Nusa Cendana Kupang.

Menurutnya, kampanye di institusi pendidikan terutama kampus, “penting sekali karena politik adalah jalan untuk memfasilitasi perubahan lewat ide atau gagasan.”

“Selama ini orang menganggap bahwa kampus itu lembaga yang steril dari berbagai kepentingan politik. Orang lupa bahwa di dalam politik itu sebenarnya kita dirangsang untuk merumuskan sesuatu berdasarkan ide, berdasarkan pikiran,” katanya. 

“Kalau ruang-ruang diseminasi pikiran, gagasan itu tidak dibuka dengan leluasa di institusi pendidikan, maka hasilnya seperti yang kita lihat. Potret politik kita yang sebenarnya lebih pada hal-hal yang sensasional, ketimbang hal yang subtantif,” ujar Umbu kepada Floresa pada 21 Agustus.

Menurutnya, selama ini banyak juga akademisi kampus yang terlibat dalam politik praktis, misalnya memenangkan calon tertentu dalam kontestasi politik.

Daripada malu-malu atau sembunyi-sembunyi, kata Umbu “sekalian saja dibuka forumnya” supaya “kita sama-sama menguji dan mengeksaminasi pikiran-pikiran dari para politisi.”

Format sosialisasi politik, menurutnya, memang harus dirancang dalam bentuk dialog interaktif, bukan “kampanye.”

Kampanye menurutnya cenderung dimaknai bersifat monolog, tak ada diskusi dan perdebatan di dalamnya sehingga tidak ada ruang untuk menguji gagasan atau pikiran politisi.

Selain interaktif, ruang kampus ini juga harus dibuka secara proposional untuk semua kontestan.

“Karena gagasan-gagasan mereka di dalam sosialisasi termasuk kampanye itu perlu dilegitimasi dengan evaluasi kritis. Evaluasi kritis itu hanya terjadi kalau dia diberi sentuhan metodologis. Kemampuan metodologis ini hanya ada di kampus, di institusi pendidikan, di luar itu tidak ada,” ujarnya.

Apa kata Praktisi Pendidikan?

Romo Valerianus Paulinus Jempau, Kepala SMA St Klaus Kuwu, sekolah yang berada di bawah naungan yayasan milik Keuskupan Ruteng di Kabupaten Manggarai, Flores barat mengatakan, sebagai praktisi pendidikan ia memahami bahwa kampanye politik merupakan aspek penting dalam memberikan pendidikan politik bagi warga sekolah, terutama peserta didik yang sedang mengenyam pendidikan formal.

“Kampanye di sekolah juga membantu warga sekolah untuk mengenal calon pemimpin politik agar tidak memilih kucing dalam karung,” katanya.

Namun, kata dia, jika kesempatan itu dimanfaatkan oleh para calon pemimpin politik untuk mengarahkan bahkan dengan berbagai cara memaksa para warga sekolah untuk memilih pemimpin tertentu dengan berbagai iming-iming politik uang dan fasilitas lain, “maka sebaiknya kampanye tidak perlu dilakukan di sekolah.”

Ia juga mengusulkan agar sebaiknya tema dan isi kegiatan di sekolah adalah dialog, bukan kampanye.

“Kampanye begitu mudah dianggap sebagai usaha menyeret warga sekolah ke politik praktis yang membuat perpecahan,” katanya.

Seorang kepala sekolah sebuah SMA Negeri di Kabupaten Manggarai Timur yang meminta Floresa tidak menulis namanya karena khawatir konflik dengan pimpinannya mengatakan, sekolah seharusnya berada pada posisi netral. 

“Jadi untuk apa kampanye di sekolah? Janganlah sekolah diracuni dengan bahasa provokasi untuk memilih si A,B,C dan D,” katanya.

Ia mengatakan, kampanye di sekolah akan mengganggu kegiatan belajar mangajar dan berpeluang menciptakan praktik politik yang tidak sehat.

“Semua guru dan pegawai kemungkinan besar punya keluarga yang mencalonkan diri, entah sebagai DPR atau bupati,” katanya.

“Akhirnya, kami berperan sebagai tim sukses di sekolah. Konflik internal sekolah pun akan muncul. Ini ketakutan saja, tapi peluang itu terjadi ada,” katanya.

Ia mengatakan, “beban kerja kami di sekolah sangat tinggi, tanggung jawab kami berat jangan ditambah lagi dengan beban politik seperti ini.”

“Biarkan hari-hari kami berdiskusi tentang kualitas layanan pendidikan saja. Jangan ditambah lagi dengan memikirkan materi kampanye yang akan disampaikan oleh para calon,” katanya.

Ia mengatakan, kalau kampanye sekolah sehat, sekolah ramah anak, sekolah rindang, sekolah anti-perundungan, “silahkan karena itu yang kami butuhkan.”

Perlu Kontrol Pengawas dan Penyelenggara

Karena Keputusan MK bersifat final dan mengikat, Komisi Pemilihan Umum akan segera merevisi peraturan terkait tempat kampanye.

FSGI pun menyampaikan beberapa rekomendasi. 

Salah satunya adalah mendorong peran Badan Pengawas Pemilu di tingkat pusat dan daerah  untuk mengawasi pelaksanaan kampanye di lembaga-lembaga pendidikan.

Terutama, kata FSGI, adalah di sekolah negeri yang karena relasi kuasa tidak mungkin menolak perintah kepala daerah inkumben melalui Kepala Dinas Pendidikan setempat untuk menggunakan lembaga pendidikan sebagai lokasi kampanye.

 FSGI juga mendorong Komisi Pemilihan Umum agara saat merevisi peraturan kampanye membuat ketentuan yang rinci, misalnya jenjang-jenjang pendidikan yang diperbolehkan.

“Apakah hanya boleh di jenjang SMA/SMK yang peserta didiknya ada yang sudah memiliki hak pilih, waktu penggunaan misalnya di hari Sabtu/Minggu di saat aktivitas pembelajaran sedang tidak ada sehingga tidak mengganggu, dan lain-lain,” katanya.

FSGI juga mendorong pemerintah menjamin keamanan warga sekolah oleh penegak hukum saat kampanye berlangsung.

Jimmy dari Universitas Nusa Cendana juga mendorong agar “rambu-rambu teknis yang ada pada penyelenggara pemilu baik  maupun Bawaslu harus dibuat lebih rinci untuk memastikan kontestasi politik baik oleh politisi maupun institusi parpol menjadi lebih beradab.”

Bagi Romo Valerianus dari SMA St. Klaus, solusinya adalah para calon pemimpin dan pimpinan lembaga harus membuat komitmen bersama secara tertulis.

Isinya, kata dia, adalah “agar kampanye itu  tidak menimbulkan perpecahan di kalangan warga sekolah, atau warga sekolah dengan masyarakat dan calon pemimpin lain.”

Poin lainnya adalah “tidak adanya unsur pemaksaan terhadap warga sekolah untuk memilih calon pemimpin tertentu.”

“Komitmen itu dilengkapi dengan unsur konsekuensi hukum sesuai undang-undang Pemilu jika terjadi hal-hal yang mencederai nilai politik,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA