Pelepasliaran Komodo Hasil Penangkaran di Cagar Alam Wae Wuul: Warga Was-was, BBKSDA NTT Beri Jaminan

Peneliti memberi catatan pada program penangkaran yang tidak menjawab soal utama yang mengancam kepunahan Komodo.

Baca Juga

Floresa.co – Pelepasliaran enam ekor Komodo di Cagar Alam Wae Wuul, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Sabtu akhir pekan lalu diklaim pemerintah sebagai sebuah prestasi.

Keenam ekor Komodo tersebut  merupakan hasil pengembangbiakan di luar habitat Komodo atau captive breeding-ex-situ di Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor.

Enam ekor Komodo ini dibawa pulang ke Wae Wuul pada 16 Agustus dalam rangkaian acara yang disebut‘Ora Pulang Kampung’ atau ‘Komodo Pulang Kampung.’

Setelah sebulan lebih masih dikandangkan di Cagar Alam Wae Wuul, Sabtu 23 September, enam ekor Komodo ini resmi dilepaskan ke alam liar.

Mereka diberi nama seperti nama manusia. Dua diantaranya mengambil nama politikus Partai Nasdem, yaitu Viktor yang mengacu ke mantan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Endi yang mengacu ke Edistasius Endi, Bupati Manggarai Barat.

Keduanya diklaim berjasa dalam melakukan konservasi Komodo.

Momok Bagi Warga Sekitar Wae Wuul

Berbeda dengan klaim pemerintah, pelepasliaran enam ekor Komodo ini, menurut Ahmad Suryadi, Sekretaris Desa Macang Tanggar, merupakan “momok baru bagi kami.”

Berbicara dengan Floresa pada Senin 25 September, ia mengatakan warganya “merasa terganggu dengan kehadiran enam ekor Komodo ini yang pada suatu saat berpotensi terus berkembang biak.”

“Ada dampak untuk warga, setidaknya untuk ternak warga, [karena] itu kan binatang buas, pemangsa. Ternak warga bisa menjadi bahan makanannya. [Itu] yang menjadi kecemasan warga saat ini,” katanya.

“[Korban bisa] termasuk juga warga sendiri yang pergi ke hutan, pergi berkebun, kemudian pergi gembala ternak. Itu kan ketakutan-ketakutan masyarakat,” ujarnya.

Suryadi mengakui secara pribadi, ia sendiri juga menolak pelepasliaran enam ekor Komodo itu.

Penolakan itu ia telah sampaikan saat acara sosialisasi di Hotel Hotel Purisari di Gorontalo, Labuan Bajo sebelum pemerintah membawa pulang enam ekor Komodo tersebut.

“Di sana [saat sosialisasi di Hotel Purisari], saya keberatan, termasuk kami semua yang hadir dari desa pada saat itu,” ujarnya.

Pemerintah desa yang hadir saat acara sosialisasi itu, tambahnya, selain dari Macang Tanggar juga dari Desa Warloka.

Menurut Suryadi, ada tiga kampung di desanya yang paling dekat dengan Cagar Alam Wae Wuul yaitu kampung Menjaga, Merata dan Nanga Nae.

“Tiga kampung itulah yang dekat betul,” katanya.

Apalagi, tambah dia, tidak ada pembatas berupa pagar antara wilayah Cagar Alam Wae Wuul dengan wilayah yang bukan cagar alam yang menjadi tempat warga menggembalakan ternak, berkebun dan mencari kayu api.

“Permintaan kami [waktu sosialisasi] kan seperti itu [ada pagar]. Tidak larang [pelepasliaran Komodo], tetapi mesti dibuatkan pagar keliling sehingga mereka tidak ke mana-mana. Mungkin untuk sekarang belum, tetapi 5 tahun, 10 tahun kemudian, bisa saja ada konflik dengan warga. Itu yang kita takutkan kalau sudah berkembang biak,” ujarnya.

Suryadi mengakui Komodo memang sudah  berada di wilayah Wae Wuul –mencakup Desa Macang Tanggar dan Desa Warloka – yang masyarakat setempat sebut ‘ora’.

Tetapi, yang menjadi kekhawatiran warga adalah enam ekor Komodo yang baru ini bukan merupakan Komodo asli dari Wae Wuul, klaimnya.

Menurut dia, saat sosialisasi di Hotel Purisari dijelaskan bahwa enam ekor Komodo ini hasil pengembangbiakan dari induk Komodo di Pulau Rinca.

Karena itu, Suryadi mengatakan saat sosialisasi itu, warga meminta kalau memang induknya dari Rinca, mestinya keenam ekor Komodo itu juga dilepasliarkan ke Pulau Rinca.

“Jangan dibawa ke sini, karena di sini bukan habitatnya. Meski di sini ada ora, tetapi belum tentu ora yang persis sama dengan yang di sana [Rinca],” ujarnya.

Komodo yang berada di Taman Nasional Komodo [TNK] yang mencakup Pulau Rinca dan Pulau Komodo, sepemahaman Suryadi memiliki karakteristik yang lebih agresif.

“Kalau yang kita dengar di TNK, Komodo itu makanannya kerbau liar, rusa, babi, termasuk ada beberapa warga yang sempat jadi korban,”ujarnya.

Komodo yang berada di Wae Wuul, menurut dia, memiliki postur tubuh yang tidak sebesar Komodo di Pulau Rinca dan Komodo.

Keresahan yang sama juga disampaikan oleh Syahrudin.

Warga Kampung Nanga Nae, Desa Macang Tanggar ini berharap program Ora Kole Beo’  ini tidak berdampak bagi keselamatan nyawa masyarakat “yang setiap hari beraktivitas yang berbatasan langsung dengan wilayah Cagar Alam Wae Wuul.”

Selain itu, Syahrudin juga berharap pelepasliaran enam ekor Komodo tersebut tidak berdampak bagi hewan peliharaan warga.

“Kalau memang mereka tetap ngotot untuk jalankan program [pelepasliaran Komodo] diharapkan untuk membuat pagar tembok di sekeliling” cagar alam,agar tidak mengganggu kehidupan warga sekitarnya.

Sama dengan keterangan Sekretaris Desa Macang Tanggar, menurut Syahrudin dalam sosialisasi di Hotel Purisari pada Maret, hadir tokoh masyarakat perwakilan dari lima tetua ada (Tua Golo), beberapa warga sekitar dan pemerintah desa.

Dalam sosialisasi itu, menurut dia, tidak ada pembahasan mengenai dampak negatif kehadiran enam Komodo ini bagi keselamatan warga sekitar.

Hal yang dibicarakan oleh, katanya, “hanya soal keuntungan dari program itu.”

“Di sesi tanya jawab kami semua menolak, baik Tua Golo maupun perwakilan dari warga masyarakat. Kami kaget, dengan acara pelepasliaran kemarin. Kenapa program itu tetap dilakukan.”

Tanggapan BBKSDA NTT

Merespons keresahan warga, Arief Mahmud, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur [BBKSDA NTT] mengatakan dari segi genetis, enam ekor Komodo – semuanya jantan – yang dilepasliarkan pada 23 September itu berasal dari“indukan yang asli dari daerah Wae Wuul.”

Arief mengakui nama induk enam ekor Komodo itu memang Rangga [induk jantan] dan Rinca [betina].

“Namanya bukan berarti berasal dari lokasi Pulau Rinca,”ujarnya kepada Floresa, Senin 25 September.

Kepastian Rangga dan Rinca dari Wae Wuul, jelasnya, berdasarkan hasil kajian pemetaan genetik (haplotype).

Ia mengatakan semua Komodo yang ada di TNK, Cagar Alam Wae Wuul, termasuk juga di daratan Flores lainnya sudah memiliki peta DNA.

Selain berdasarkan hasil kajian pemetaan genetik, kesimpulan induk enam ekor Komodo itu berasal dari Wae Wuul juga berasal dari buku silsilah Komodo yang ada di Taman Safari Bogor, dimana Rangga dan Rinca memang diambil dari Wae Wuul.

“Jadi, tidak asal melepasliarkan saja,” ujar Arief.

Terkait kekhawatiran memangsa ternak warga, Arief mengatakan “Wae Wuul ini bukan tempat penggembalaan”ternak.

“Cagar alam itu merupakan tempat kehidupan satwa liar. Seharusnya secara regulasi tidak boleh ada penggembalaan di wilayah ini dan kami sudah berkomunikasi dengan masyarakat melalui kepala desa, melalui kepala dusun dan mereka sudah memahami situasi tersebut,” katanya.

“Selama ini daya dukung kawasan cagar alam Wae Wuul ini juga sudah kita perhitungkan sebelum pelepasliaran,” tambah Arief.

Sebelum melakukan pelepasliaran, ia mengatakan, ada dua hal yang diperhatikan., termasuk kesiapan habitat atau daya dukung kawasan dalam hal ini Cagar Alam Wae Wuul.

“Kami menghitung jumlah komodo yang ada di sana, jumlah mangsa yang ada di lokasi tersebut. Sampai saat ini rusa yang di Wae Wuul ini masih bisa kita lihat,”ujarnya.

Arief mengatakan saat ini jumlah populasi Komodo di Wae Wuul yang memiliki luas 1.400 hektar – meliputi Desa Macang Tanggar dan Desa Warloka – sebanyak 21-53 ekor.

Dengan daya dukung tersebut, menurutnya, kekhawatiran Komodo akan memangsa ternak warga itu hal yang seharusnya tidak perlu.

Apalagi, tambah dia, Komodo di Pulau Longos bahkan juga Pulau Rinca dan Pulau Komodo bisa hidup berdampingan dengan warga.

“Memang seharusnya Cagar Alam Wae Wuul bukan tepat menggembalakan ternak. Cagar Alam Wae Wuul adalah kawasan konservasi. Kadang masyarakat perlu juga memahami situasi tersebut,” ujarnya.

Tempat penggembalaan ternak, tambah Arief, seharusnya di luar kawasan cagar alam.

Soal permintaan warga agar ada pagar pembatas antara kawasan cagar alam dengan yang bukan cagar alam, ia mengatakan “tidak perlu.”

“Karena tidak memungkinkan bagi kita untuk memagari kawasan konservasi. Seluruh dunia tidak ada kawasan konservasi yang dipagari. Yang dipagari itu kalau kebun binatang,”ujarnya.

Untuk mitigasi konflik antara warga dengan Komodo, ia mengatakan sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, apalagi memang “ada anak sekolah di sekitar kawasan konservasi.”

Pihaknya juga telah membentuk Wildlife Rescue Office (WRO).

“Kalau ada masyarakat yang melihat Komodo masuk ke kampung, itu bisa menghubungi Balai Besar KSDA NTT. Ada di call center Balai Besar KSDA NTT, di website, Instagramnya, juga kontak ke nomor 081138104999,” ujarnya.

Enam ekor Komodo yang dilepas liar itu, jelas dia,  juga sudah dipasang GPS di bagian ekornya.

Dengan GPS ini, “pihak Cagar Alam Wae Wuul terus memantau pergerakan enam ekor Komodo tersebut,” kata Arief.

“Itu adalah mitigasi terhadap Komodo yang dikhawatirkan akan masuk ke kampung,” ujarnya.

Catatan untuk Program Penangkaran

Sementara itu, Cypri Jehan Paju Dale, antropolog yang mencermati persoalan konservasi dan industri ekowisata di Flores menyoroti perihal kajian terkait daya dukung “kebijakan pelepasliaran” ini dengan kondisi Cagar Alam Wae Wuul.

“Apakah ini sudah didasarkan pada kajian tentang daya dukung riil Wae Wuul saat ini; kalau ada, kajiannya seperti apa?  Karena sudah dilepas, perlu jelas langkah-langkah penunjang,” katanya.

Yang paling sederhana, kata dia, adalah kejelasan soal ketersediaan satwa yang menjadi makanan Komodo.

“Jika tidak, Komodo ini akan bergerak ke arah pemukiman dan kebun warga untuk mencari makanan. Ini akan berakibat pada konflik warga dengan satwa,” katanya.

Cypri juga memberi catatan pada program penangkaran Komodo ini karena “yang menjadi persoalan utama yang meningkatkan ancaman bagi kepunahan Komodo bukan ketidakmampuanya untuk berkembangbiak sendiri, tetapi karena ruang hidup alaminya terus tergerus oleh berbagai sebab.”

“Di pesisir barat Flores sendiri, Komodo semakin menghilang karena habitatnya rusak,” katanya.

Ia menjelaskan, bentang alam Wae Wuul hingga Golo Mori juga semakin tidak kondusif untuk Komodo dan satwa pendukungnya karena aktivitas warga dan ekspansi industri pariwisata.

“Sementara di TNK, ada konsesi bisnis,” katanya.

Yang seharusnya dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menurut dia “adalah pemulihan habitat secara komprehensif.”

“Jadi, bukan penangkaran untuk dilepaskan ke habitat yang makin sempit dan rusak,” kata Cypri.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini