Ikhtiar Warga Mano, Manggarai Timur Menjaga ‘Pong Dode,’ Hutan Keramat dan Habitat Monyet

Bagi orang Mano, Pong Dode ibarat paru-paru yang mendenyutkan kehidupan. Mereka menjaga kelestariannya turun-temurun. Merusaknya sama saja 'memanggil kutukan.'

Baca Juga

Floresa.co – Nikolaus Sleman, warga di Kampung Mano pernah tiba-tiba sakit tak lama sesudah menebang pohon di Pong Dode, sebuah hutan lindung seluas hampir empat hektar yang berada di tengah kampung dan ladang warga.

Ia sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama saat itu ketika nekat menebang lima pohon, kendati sempat dilarang warga sekitar. Gurunya memang meminta membawa batang kayu untuk membuat pagar pekarangan sekolah.

Malamnya, usai menebang pohon-pohon itu pada akhir pekan, kata Nikolaus yang kini berusia 51 tahun, ia “memimpikan roh nenek moyang datang menegur.”

Roh itu memberitahunya segera meminta maaf dan “memperingatkan konsekuensi atas tindakan saya.”

Betul saja, Senin berikutnya ia demam tinggi. Seluruh tubuhnya susah bergerak. 

“Saya tidak bisa beranjak dari tempat tidur,” tutur Nikolaus kepada Floresa di rumahnya, Rabu, 4 Oktober.

Diantar sang ayah, ia lalu berobat ke seorang dukun yang menganjurkannya mengakui kekeliruan, sekaligus meminta maaf kepada arwah nenek moyang. 

Sang ayah lalu membawa telur ayam kampung ke Pong Dode, membuat sebuah ritual, tanda permohonan maaf kepada roh leluhur.

Tak lama kemudian, ia sembuh.

Cerita tentang Pong Dode yang keramat seperti dituturkan Nikolaus menjadi keyakinan turun temurun warga Mano, wilayah di Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Terjaganya hutan itu karena ada kepercayaan bahwa semua leluhur orang Mano ada di sana, kata Wilhelmus Sin Jungke, 60 tahun, seorang warga.

“Pong Dode merupakan paru-paru kehidupan orang Mano,” katanya. 

Karena ada Pong Dode, kata dia, situasi di Mano relatif aman.

”Mungkin bagi generasi muda, itu hanya mitos. Tetapi, orang Mano punya keyakinan besar seperti itu,” katanya.

Penjaga dan penghuni Pong Dode, katanya, roh dan nenek moyang orang Mano. 

“Bahkan di tiap pohon ada penjaga dan penghuninya,” kata Wilhelmus.

“Memang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Kalau lewat mimpi, itu pasti ada.”

Jadi Habitat Monyet

Hutan sekitar 3,8 hektar itu berada di antara pemukiman dan ladang warga, yang tak jauh dari kaki Gunung Mandosawu.

Pong Dode berjarak kurang lebih 43 kilometer ke arah barat dari Borong, ibukota Kabupaten Manggarai Timur dan 15 kilometer ke arah timur dari Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

Lokasi Pong Dode yang berada di tengah-tengah pemukiman dan ladang warga di Mano. (Foto layar Peta Google)

Selain dengan pohon-pohonnya yang besar, di hutan ini masih terawat sebuah mata air yang dimanfaatkan warga sekitar untuk berbagai keperluan sehari-hari, termasuk mengairi lahan pertanian. 

Membentang pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, wilayah di sekitar Pong Dode sekaligus tempat tumbuh terbaik bagi cengkeh, komoditi unggulan di wilayah Mano dan sekitarnya.

Dengan pohon-pohonnya yang masih terjaga, Pong Dode juga merupakan habitat alami bagi monyet. 

Tak ada data pasti soal jumlah monyet di sana. Namun, jika bertanya kepada warga sekitar, mereka akan bilang “ratusan monyet.”

Keberadaan monyet-monyet ini juga bertalian dengan nama Pong Dode, yang berarti Hutan Monyet. Arti itu diambil dari kata Pong, istilah Bahasa Manggarai untuk hutan keramat dan Dode, eufemisme atau penghalusan makna kata yang dianggap tabu oleh masyarakat untuk kata Kode, yang berarti monyet.

Seekor monyet sedang bermain-main di pagar kawat yang mengelilingi Pong Dode, pada Rabu, 4 Oktober 2023. (Foto: Herry Kabut/Floresa.co).

Letak Pong Dode yang menjembatani permukiman dan ladang memungkinkan monyet bertandang ke kebun-kebun warga. 

“Tetapi mereka [monyet] hanya ambil makan [dari kebun warga] sesuai kebutuhan. Itupun ketika mereka lapar sekali,” kata Wilhelmus ketika ditemui Floresa pada 4 Oktober.

Kawanan monyet “tak pernah sembarangan ambil makanan warga. Kalau mereka lapar sekali, baru mereka ambil tanaman masyarakat,” katanya.

Keyakinan itu juga yang melandasi tali peranti bahwa “monyet tak boleh ditembak dan pohon tak boleh ditebang,” katanya.

Sekali dilanggar, “kita akan mendapat sakit,” katanya – seperti halnya yang dialami Nikolaus.

Ada juga keyakinan warga setempat bahwa ketika monyet di Pong Dode mengeluarkan suara yang aneh, seperti jeritan, itu berarti isyarat akan ada peristiwa penting.

“Ketika terdengar jeritan atau teriakan monyet menjelang matahari terbit, biasanya tersiar kabar kedukaan pada beberapa hari kemudian,” kata Sablon Pakar, Tua Teno (tokoh adat untuk urusan ulayat) Gendang Mano.

Pria 63 tahun ini juga meyakini di Pong Dode terdapat monyet putih misterius. Siapapun yang bertemu atau melihat si monyet putih, hidupnya akan dipenuhi dengan rezeki.

Rezeki itu, katanya, beragam bentuknya, termasuk memperoleh ilmu hitam atau mbeko dalam bahasa warga setempat.

“Tidak setiap orang dapat melihat kemunculan monyet putih, hanya orang-orang tertentu,” kata Sablon. 

Ia mengatakan, kisah tentang monyet putih misterius itu ia dapat dari penuturan orang-orang tua di Mano.

Selama hidupnya monyet itu tidak pernah muncul lagi, hanya orang-orang zaman dulu “yang pernah melihat monyet putih itu.”

Menjaganya dengan Aturan Adat

Upaya menjaga Pong Dode, kata Sablon, diwariskan turun temurun hingga kini, terutama oleh warga di Dusun Mano, Nancang, Wejang Raci, dan Benteng Dima. 

Mereka memberlakukan denda adat bagi yang melanggar, seperti menebang pohon atau membunuh monyet.

Denda itu bervariasi, mulai dari ayam kampung – selain yang berbulu hitam – hingga seekor babi berukuran besar, yang disebut ela wase lima.

Pembayaran denda itu, yang disertai ritual, kata dia, adalah bentuk perdamaian dengan roh atau arwah nenek moyang. 

Saat pembayaran denda, orang yang melakukan kesalahan mengucapkan kata-kata permohonan maaf kepada roh atau arwah nenek moyang.

Denda tersebut, kata Sablon, bukan hanya lahir dari keputusan sepihak tetua adat, tetapi warga kampung (pa’ng olo ngaung musi) agar “roh nenek moyang yang mendiami Pong Dode tidak murka.”

Pembayaran denda itu menjadi keharusan bagi warga karena meyakini akan ada konsekuensi bagi mereka yang mengabaikannya.

Misalnya pria penembak monyet yang istrinya sedang hamil, anaknya akan lahir dengan cacat tertentu, kata Wihelmus.

Ia mengatakan, denda adat itu juga menjadi cara untuk melestarikan Pong Donde, juga monyet di dalamnya.

Kalau pohon ditebang, lantas tidak ada lagi tempat tinggal untuk monyet,” katanya.

Itu yang kami jaga selama ini.”

Sablon Pakar, Tua Teno Gendang Mano dan Wihelmus Sin Jungke, masyarakat Gendang Mano. (Foto: Herry Kabut/Floresa.co)

Berharap Dipromosikan Sebagai Aset Pariwisata

Kini, upaya pelestarian Pong Dode masih terus dilanjutkan oleh generasi muda di Mano.

Kendati begitu, pelestarian turun-temurun itu juga tak bisa sekenanya. Misalnya soal reboisasi dan revitalisasi hutan.

Tak semua tanaman cocok tumbuh di Pong Dode. 

Bibit pohon yang ditanam untuk revitalisasi hutan itu, “bukan dibawa dari luar, tetapi diambil dari kawasan Pong Dode itu sendiri,” kata Kanisius Bombor, 35 tahun, seorang pemuda Mano.

“Kami tinggal memindahkan bibit pohon tersebut ke area hutan yang masih kosong,” katanya.

Kebanyakan bibit dari luar Pong Dode, katanya, “susah hidup di sini.” Contohnya adalah bibit mahoni yang pernah ditanam warga beberapa tahun lalu, kata dia, tidak mampu bertumbuh. 

Penanamannya, menurut Kanisius, selalu dilakukan setelah terlebih dahulu “meminta izin roh nenek moyang.”

Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur telah menetapkan Pong Dode sebagai ‘Cagar Budaya.”

Namun, catatan Kanisius, “sayangnya pemerintah hanya berhenti pada pemasangan papan Cagar Budaya dan pembuatan pagar keliling.” 

Setelahnya, kata dia, “mereka lepas begitu saja.”

Ia berharap, pemerintah memberi perhatian lebih, misalnya gencar mempromosikannya sebagai aset pariwisata sehingga bisa berdampak secara ekonomi bagi warga sekitar yang terus menjaganya.

“Ketika pemerintah sudah memasang papan Cagar Budaya, kami mau supaya ada tindak lanjut menata Pong Dode sebaik mungkin,” kata Kanisius.

Penataan itu, jelasnya, tentu akan berkontribusi juga bagi upaya pelestarian terus-menerus Pong Dode.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini