Floresa.co – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [LPSK] memutuskan untuk memberikan bantuan kepada korban kasus pemerkosaan yang terjadi tiga tahun lalu di Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Bentuk bantuan yang diberikan adalah rehabilitasi psikologis selama enam bulan.
Kasus yang dialami korban terjadi pada Juni 2020 ketika ia berkunjung ke Labuan Bajo. Proses hukum kasus ini kemudian dihentikan oleh polisi setelah menyimpulkan keterangan pelaku.
Siti ‘Ipung’ Sapurah, pengacara korban mengatakan LPSK telah mengirimkan surat resmi kepada korban, terkait pemberitahuan pendampingan tersebut.
Dalam surat yang juga dilihat Floresa itu, LPSK menyatakan memutuskan memberi pendampingan lewat sebuah keputusan sidang mahkamah pimpinan pada 25 September 2023.
Sebelumnya, kata Ipung yang juga aktivis perempuan dan anak berbasis di Bali, LPSK memfasilitasi korban untuk melakukan asesmen ke psikolog di kota tempat tinggalnya.
Hasilnya, kata dia, psikolog menyimpulkan bahwa korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder [PTSD] yakni “trauma berat” pasca peristiwa pemerkosaan itu.
“Karena dia masih mengalami trauma yang berat, LPSK dikirimi surat oleh psikolognya bahwa tidak cukup satu dua kali asesmen,” kata Siti kepada Floresa pada 11 Oktober.
Sesuai rekomendasi dari psikolog itu, kata dia, LPSK kemudian memutuskan memperpanjang bantuan psikologi kepada korban hingga enam bulan ke depan.
Kasus ini menjadi ramai dibicarakan setelah korban mengisahkan peristiwa yang dialaminya lewat X [Twitter] karena mengaku kecewa dengan penanganan polisi. Dia berharap mendapatkan keadilan dengan berbicara di media sosial.
Perempuan itu yang menggunakan akun @Whitecocon67 mengisahkan, ia diperkosa oleh setidaknya dua orang pria pada 12 Juni 2020 setelah ia sebelumnya diberikan minuman beralkohol jenis Soju yang diduga sudah dicampuri dengan obat tertentu.
Ia mengatakan baru tersadar menjadi korban pemerkosaan pada keesokan harinya. Karena terguncang oleh kejadian itu, ia lalu membatalkan tiketnya untuk kembali dari Labuan Bajo dan memutuskan melapor kasus ini ke polisi.
Ipda Karina Viktoria Anam, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Manggarai Barat mengatakan, saat ini “tidak ada alasan untuk menindaklanjuti kasus itu.”
“[Proses hukum] kasus ini sudah diberhentikan,” katanya kepada Floresa saat diwawancarai di kantornya pada 2 Oktober.
Ia menjelaskan, dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku, hubungan intim terjadi “atas kemauan korban yang memaksa pelaku.”
Kasus ini, kata dia, hanya bisa dibuka kembali jika korban atau pengacara korban punya bukti lain yang kuat.
Ipung mengatakan berterima kasih kepada LPSK yang mewakili negara telah memberi perhatian terhadap korban.
Perhatian demikian, kata dia, seharusnya juga dilakukan polisi, dengan menindaklanjuti proses hukum kasus ini.
Salah satu rujukannya, kata Ipung, adalah hasil asesmen LPSK itu.
“Kalau seperti ini hasil dari rekomendasi LPSK, harusnya pihak kepolisian tidak punya alasan lain untuk tidak membuka kembali kasus ini. Sudah jelas, psikolognya mengatakan apa,” katanya.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak atau perempuan, katanya, hanya dibutuhkan dua alat bukti yaitu keterangan saksi korban dan alat bukti lain, bisa visum et repertum atau visum et repertum psikiatrikum.
“Sekarang visum et repertum sudah jelas ada robekan sedalam dua sentimeter di vagina korban dan hasil visum et repertum psikiatrikum dari psikolog juga sudah menjelaskan bahwa korban mengalami PTSD,” katanya.
Sebelumnya, kasus ini juga mendapat perhatian Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
Lembaga itu telah dua kali mengirim surat ke Polres Manggarai Barat.
Dalam sebuah surat yang dikirim pada Oktober 2020, Komnas Perempuan mengatakan korban merupakan “korban pemerkosaan yang dilakukan secara terencana,” tidak seperti klaim pelaku bahwa hubungan seksual dengan korban atas dasar suka sama suka.
Pemerkosaan, kata Komnas Perempuan “memanfaatkan kondisi korban yang tidak sadarkan diri.”
“Tidak ada alasan yang meringankan ataupun alasan pemaaf bagi pelaku dalam kasus ini,” kata lembaga itu.
Komnas Perempuan juga menyatakan “penyidikan yang berlarut-larut dan berbelit-belit tanpa adanya kejelasan akan semakin menjauhkan perempuan korban dari akses terhadap keadilan dan menciptakan impunitas terhadap pelaku.”