Floresa.co – Sambil menenteng beras yang baru dibelinya di Pasar Wae Sambi, Labuan Bajo, Yultiana Sulati berkata: “Untuk bertahan hidup kami tetap beli. Mau bagaimana lagi?”
Ia membeli beras di pasar tradisional itu pada Senin, 6 November dengan harga Rp15.000 per kilogram, naik dari harga biasanya pada kisaran Rp12.000-Rp13.000.
Beras yang hari itu ia beli sembilan kilogram sudah menjadi pangan utama sumber karbohidrat dalam keluarganya.
“Tidak ada makanan alternatif yang bisa mengurangi ketergantungan terhadap beras di musim kemarau ini. Ubi dan pisang juga mahal, apalagi jagung,” ujar perempuan berusia 35 tahun ini.
Menurut Yultiana, saat harga beras mulai naik beberapa bulan lalu, Bulog, badan usaha milik negara yang bertugas menstabilkan harga beras sempat menginisiasi operasi pasar murah.
Harga beras dari Bulog ini, kata Yultiana, dijual Rp11.000 per kilogram.
Namun, soalnya beras Bulog tersebut tidak bisa dibeli dengan jumlah yang banyak. Setiap orang dibatasi hanya bisa membeli maksimal 10 kilogram.
Beras itu yang masih dikenal sebagai raskin, katanya, bau busuk, meski terpaksa tetap dikonsumsi.
Raskin adalah akronim dari beras miskin, program bantuan pangan dari pemerintah untuk keluarga prasejahtera. Istilah ini sebenarnya sudah diganti dengan istilah rastra alias beras sejahtera, tetapi istilah raskin tetap melekat di benak masyarakat.
Rovinus Nani, warga Maumere yang ditemui Floresa di Pasar Tingkat Maumere pada Jumat, 3 November mengatakan meski harganya tinggi mencapai Rp15.000, ia tetap mengkonsumsi beras.
“Kalau di pasar juga kios-kios harganya begitu, ya kita ikut saja,” katanya.
Menurutnya, memang ada beberapa pilihan jenis beras dengan harga yang bervariasi, termasuk Rp13.500 per kilogram.
Namun, kata dia, “saya tetap beli yang kualitasnya bagus.”
Berbeda halnya dengan Emilia Kontesa, 28 tahun, warga Maumere lainnya, yang memilih memberi beras dengan harga termurah.
“Hidup di kota dengan penghasilan rendah tidak mungkin selamanya kita beli beras yang satu kilo saja harganya mahal. Banyak kebutuhan yang harus kita penuhi, jadi hemat-hematlah,” katanya kepada Floresa.
Ia mengungkapkan selama ini suami dan anaknya tidak mempermasalahkan kualitas beras yang dibelinya.
“Kadang suami yang belanja. Dia sudah tahu beras mana yang kami konsumsi. Ya, sesuai isi dompet,” ujar Emilia Sembari tersenyum.
Masyarakat NTT memiliki ketergantungan tinggi terhadap beras, meski aneka pangan lokal juga tersedia. Tingginya ketergantungan ini terekam dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional [Susenas] oleh Badan Pusat Statistik [BPS].
Menurut Susenas 2022, tingkat konsumsi beras per kapita sebulan di NTT adalah sebesar 9,11 per bulan, tertinggi di Indonesia yang secara nasional rata-rata 6,81 kilogram per bulan. Artinya, dalam satu tahun, tiap penduduk NTT mengkonsumsi sekitar 81,7 kg beras.
Harga Beras Melonjak
Berdasarkan data panel harga Badan Pangan Nasional, rata-rata harga beras di NTT pada tahun 2023 melonjak.
Beras medium, misalnya, pada akhir Oktober 2023 dijual dengan harga Rp13.990 per kilogram, naik sekitar 31 persen dari Rp10.660 pada akhir Desember 2022.
Sementara itu, rata-rata harga beras premium naik sekitar 27 persen, dari Rp12.330 per kilogram pada akhir Desember 2022 menjadi Rp15.720 per kilogram pada akhir Oktober 2023.
Badan Pusat Statistik [BPS] melaporkan beras menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar pada Oktober 2023.
Kenaikan harga beras ini memang terjadi merata di seluruh Indonesia. Dari 90 kota yang disurvei BPS, inflasi beras terjadi di 87 kota.
BPS melaporkan tingkat inflasi nasional secara bulanan pada Oktober 2023 sebesar 0,17%.
Beras – sebagai peyumbang inflasi terbesar dengan andil 0,06%, mengalami inflasi sebesar 1,72%.
Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik dan Jasa BPS dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 1 November mengatakan, beras penyumbang andil inflasi terbesar selama tiga bulan berturut-turut sejak Agustus sampai dengan Oktober 2023.
“Secara akumulatif selama tahun 2023 beras juga menyumbang andil inflasi terbesar yaitu sebesar 0,49% secara year to date di Oktober 2023,” katanya.
Kondisi yang sama juga terjadi di NTT. Merujuk data BPS NTT, pada Oktober 2023, tingkat inflasi bulanan di NTT sebesar 0,42%, jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional.
Survei inflasi di NTT dilakukan BPS di tiga lokasi, yaitu Kota Kupang, Maumere dan Waingapu. Dirinci per kota, inflasi bulanan di Kupang pada Oktober 2023 sebesar 0,47%, Maumere sebesar 0,18% dan Waingapu sebesar 0,30%.
Demarce M. Sabuna, Statistisi Ahli Madya BPS NTT menyampaikan inflasi beras di NTT mencapai 4,82% pada Oktober 2023 atau terjadi kenaikan indeks harga beras dari 114,63 pada September 2023 menjadi 120,16.
Dengan tingkat inflasi beras sebesar 4,82%, komoditas pangan ini memberikan andil terhadap inflasi di NTT sebesar 0,26% dari inflasi bulanan sebesar 0,42%. Bila dirinci masing-masing kota, beras memberikan andil sebesar 0,28% terhadap inflasi di Kota Kupang, sebesar 0,15% di Maumere dan 0,24% di Waingapu.
Harga Beras di Pasar di Flores
Pantauan Floresa, harga beras di sejumlah pasar tradisional di Flores memang mengalami kenaikan selama beberapa bulan terakhir.
Tutiana, 37 tahun, seorang pedagang beras di Pasar Wae Kesambi, Labuan Bajo mengatakan harga beras selama empat bulan terakhir mengalami kenaikan.
Pada Agustus, harga beras di tingkat konsumen di Wae Kesambi dijual pada harga Rp15.000 per kilogram, sementara harga beli dari agen sebesar Rp14.000 per kilogram.
Pada Oktober 2023, Tutiana mengatakan, harga beras di tingkat konsumen naik menjadi Rp16.000 bahkan Rp17.000 per kilogram.
“Untuk proses beras sampai ada di tangan kami, itu diantar langsung oleh agen kami sampai di tempat. Beras yang ada ini didatangkan dari Makassar dan beras lokal,” katanya.
Tutiana mengaku sejak Agustus lalu, beras yang berasal dari Lembor – daerah yang dikenal lumbung beras di Manggarai Raya – jumlahnya makin berkurang.
“Saya dapat informasi bahwa di sana bahkan untuk makan saja mereka harus beli beras dari luar. Saya duga ini karena kemarau yang berkepanjangan. Tidak tahu bagaimana nasib kami ke depan,” ujar Tuti.
Kenaikan harga beras juga terpantau di Kabupaten Sikka, terutama sejak September 2023.
Di pasar tradisional Alok, Kelurahan Kota Uneng, misalnya, para pedagang rata-rata menjual beras dengan harga berkisar Rp13.500 hingga Rp15.000.
“Sebelum bulan September harga beras dijual mulai dari Rp12.000 per kilogram dengan kualitas medium. Kalau harga Rp14.000 itu kualitasnya bagus sudah. Tetapi sejak bulan September, harga beras mulai naik dan masih tetap sama sampai saat ini,” kata Rey Raga, 27 tahun, salah satu pedagang beras di pasar Alok.
Menurut Rey beras yang didatangkan dari Makassar, Sulawesi Selatan itu dijual dengan harga Rp700.000 per karung ukuran 50 kilogram sejak September, naik dari sebelumnya Rp500.000 per karung.
“Pas September minggu pertama dan kedua itu harganya sudah naik perlahan. Sampai sekarang mentok di Rp700.000 per karung. Jadi kita selalu sesuaikan harga beli dengan harga jual meski untungnya tidak banyak,” kata Ray.
Sementara untuk beras yang dikemas dalam karung dengan bobot 20 kilogram dijual dengan harga harga Rp320.000, naik sebelumnya dari Rp280.000 per karung.
Selain di Pasar Alok, harga beras di Pasar Tingkat Maumere pun sama, dijual mulai harga Rp13.500 hingga Rp15.000 per kilogram.
“Para pedagang di sini semua menjualnya sama, karena ya rata-rata ambilnya dari Makassar. Kalau di sana jualnya tinggi, kita di sini menyesuaikan saja,” ujar Muliadi, 46 tahun, salah satu pedagang di Pasar Tingkat.
Menurutnya naiknya harga beras dipengaruhi oleh dampak dari kemarau panjang.
“Dari September ke Oktober cukup stabil harganya, kita tidak tahu kedepannya,” kata Muliadi.
Makin jauh dari pusat kota, harga beras makin mahal.
Di Kios Laris, Desa Talibura, yang berjarak 40 kilometer dari kota Maumere, misalnya, beras dijual dengan kisaran harga Rp14.000-Rp16.000 per kilogram.
“Kami sesuaikan dengan jarak. Maumere ke Talibura kan lumayan jauh, belum lagi ongkos transportasinya. Jadi ya, kami menjualnya mentok di harga Rp16.000,” ujar Maria Verianti pemilik kios.
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Manggarai Timur.
Sipri Cangkung, seorang penjual beras di Kampung Pelus, Desa Golo Lobos, Kecamatan Lamba Leda Selatan yang ditemui Floresa mengatakan, ia membeli beras dari Lembor, Kabupaten Manggarai Barat dan Reo, Kabupaten Manggarai.
“Kalau dari Lembor, kami beli langsung di petani. Kalau dari Reo, kami beli dari pengepul yang mereka beli dari luar Manggarai. Mereka jual dengan harga Rp 690.000 per karung ukuran 50 kilogram. Kami biasanya beli sampai tiga ton,” jelas Sipri.
“Kami jual beras Rp 720.000 per karung. Kalau jual per kilogram, harganya Rp 15.000. Kami jual dengan harga begitu karena memperhitungkan biaya yang kami keluarkan terutama bensin dan solar kendaraan saat mengangkut beras dari kedua wilayah itu”, kata Sipri.
Sipri mengatakan bahwa kelangkaan dan kenaikan harga beras terjadi karena petani menahan gabah yang mereka miliki.
“Jika persediaan beras sudah menipis, mereka keluarkan padi yang mereka simpan untuk digiling. Jadi petani juga pandai membaca situasi”, kata Sipri.
Selain petani, kata Sipri, pengepul juga bertindak demikian. Mereka akan menyimpan beras selama berbulan-bulan sambil mengamati persediaan beras masyarakat.
Kalau masyarakat sudah mulai ramai berburu beras, katanya, saat itulah mereka mengeluarkan beras dari gudang untuk dijual kepada masyarakat.
“Kami hanya mengikuti harga dari pengepul. Kalau mereka naikkan harganya, otomatis kami juga ikut”, kata Sipri.
Konsumen lainnya, Teresia Nem mengatakan kenaikan harga beras memang memberi dampak yang signifikan baginya.
Meski demikian, ketergantungan pada beras membuatnya tidak punya pilihan lain.
“Kami biasa beli beras per karung. Saat harga naik pun, kami masih beli beras per karung. Kemarin kami beli yang harga Rp 700.000 per karung. Mau bagaimana lagi?” katanya.
“Kami tidak punya sawah sementara beras sudah menjadi kebutuhan dasar bagi kami,” tambah Theresia.
Anjany Podangsa, Maria Margaretha Holo dan Herry Kabut berkolaborasi mengerjakan laporan ini.