Pameran dan Pentas Seni Mengenang Suster Virgula, SSpS di Labuan Bajo; Mengabadikan Cinta Rasul Kaum Marjinal

Digelar pada 23-27 Juni, pameran menampilkan sejumlah produk karya penghuni panti rehabilitasi dan pentas seni dari berbagai elemen

Floresa.co – Sebuah buku yang terbit delapan tahun silam menggambarkan betapa getirnya kondisi hidup kaum marjinal, khususnya penderita kusta, difabel dan terlantar di Kabupaten Manggarai.

Buku “Ziarah Pembebasan: Mengenang 50 Tahun Pusat Rehabilitasi Kusta – Cacat St. Damian Cancar, Manggarai, Flores, NTT” itu yang ditulis oleh Yosep Min Palem, Giorgio Babo Moggi, dkk, terbit pada November 2016.

Salah satu kisah di dalamnya perihal seorang pemuda yang merana sendirian di hutan selama kurang lebih 15 tahun.

Pemuda yang namanya dirahasiakan itu dibuang oleh keluarganya karena menderita kusta. Pemicunya, banyak orang yang menganggap penyakit tersebut sebagai bagian dari kutukan dan membawa aib yang sangat memalukan.

Sekujur tubuh pemuda itu penuh luka bernanah dan beraroma bau busuk. Karena dikhawatirkan penyakitnya menular, ia diputuskan diasingkan ke hutan, bekas kebun.

Kisah lain yang juga dicatat dalam buku tersebut adalah sosok Bapak Niko Kahu, 87 tahun, yang dibawa ke Balai Pengobatan St. Rafael Cancar pada 12 Juli 1968.

Ia menderita penyakit kusta selama 20 tahun di Kampung Lewat, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat. Ia juga diasingkan dalam sebuah pondok sederhana dalam kawasan kebun selama bertahun-tahun.

Awalnya, tangan dan sekujur tubuhnya penuh bercak putih seperti panu. Kulitnya gatal dan berwarna kemerah-merahan karena sering digaruk. Kulit pada tangan dan kakinya pun mati rasa, termasuk ketika menginjak duri atau bara api.

Perlahan, kedua tangannya terasa keram hingga jari-jarinya kaku serta bengkok. Pun pada kaki, muncul luka bernanah, membuat jari kakinya terputus.

Cerita lain yang mengerikan tentang seorang pasien kusta yang mau diterjunkan ke sungai oleh warga kampungnya. Ia kemudian ditolong oleh keluarga dekat. Supaya tidak dilihat orang, pasien itu diisi dalam karung dan kemudian dibawa ke Cancar.

Masa-masa sulit ketika itu tentu tak bisa terbendung. Tak ada harapan untuk merasa hidup. Penderita kusta semakin terpuruk akibat stigma negatif masyarakat. Secara psikis, penderita kusta, juga difabel merasa tersingkir dan teralienasi dari lingkungan sosial yang normal.

Karya Kemanusiaan Suster Virgula

Di tengah ketidakberdayaan itu, ketika jeritan anak manusia kehilangan harapan untuk melanjutkan perjuangan hidup akibat stigma, pada periode tahun 1965, salah satu sosok biarawati hadir dengan begitu heroik untuk kembali mengangkat harkat dan martabat mereka di mata masyarakat.

Ia adalah Suster Virgula Schmitt, yang dengan tulus menaruh cinta dan kasih melalui misi kemanusiaannya. Biarawati kelahiran Jerman ini adalah misionaris Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus atau dalam kata bahasa Latin, Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti (SSpS)

Putri tunggal dari pasangan Bapak Yosef Smichtt dan Mama Ana itu dengan sungguh melayani, merawat mereka di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan saat itu.

Tekad serta niatnya untuk membantu banyak orang tercurahkan dalam wujud tindakan.

Suster Virgula Schmitt, SSpS bersama seorang pasien. (Dokumentasi Suster Virgula Schmitt, SSpS)

Virgula bekerja bersama sejumlah orang yang setia mengikutinya. Sebagaimana tercatat dalam buku itu, mereka adalah Bapak Stanis Kowot, Anselmus Hurint dan Bapak Martinus Ahad yang selalu hadir mengurus kuda sebagai sarana transportasi menuju kampung-kampung di Manggarai. Selain itu adalah Ibu Yosefina Moe atau akrab disapa Mama Moe yang selalu membantu Virgula merawat pasien.

Mereka adalah tim terdepan untuk mengunjungi keluarga demi memberikan penyuluhan tentang pentingnya hidup sehat.

Virgula juga mengurus 38 bayi yang ditinggalkan orang tua, lalu merawat mereka hingga dewasa. Bayi-bayi itu dibaringkan dalam sebuah dos yang diberi alas jerami.

Maria Magdalena Angke Wangge, sering disapa Tanta Angke, ditugaskan untuk mengkoordinasi unit ini. Bersama Suster Virgula, ia mesti lebih bekerja keras untuk bisa menghidupi segala kebutuhan serta kesehatan bayi, meski dengan kondisi yang terbatas.  

Kisah keselamatan tentang seorang bayi yang lahir prematur dan bertahan hidup berkat infus “air hujan,” menjadi kesaksian penting dari keajaiban doa serta keyakinannya.

Dengan dengan segala bentuk cara, Sr. Virgula pun berani untuk mengambil langkah besar demi menata masa depan orang-orang yang membutuhkan keselamatan.

Biarawati kelahiran Grunebach, Jerman, 3 September 1929 ini telah menghembuskan nafas terakhirnya pada 27 Juni 2022 di pusat Kongregasi SSpS, Steyl – Belanda.

Kendati telah tiada, ia telah mewariskan sejumlah jejak karya penting di Manggarai. Ia menjadi perintis Rumah Sakit St. Rafael Cancar dan Pusat Rehabilitasi Kusta dan Difabel St. Damian Cancar yang berdiri sejak 1 September 1965. Pusat rehabilitasi serupa juga kemudian dibangun di Binongko, Labuan Bajo – Manggarai Barat pada 2006.

Wujud Kemandirian

Untuk mengenang segala jerih payah dan semangat serta cinta Suster Virgula, rekannya sesama biarawati SSpS yang kini meneruskan karyanya menggelar acara tahunan.

Tahun ini, mereka menggelar acara tersebut dengan berpusat di St. Damian Unit Binongko, Labuan Bajo pada 23-27 Juni.

Ketua Yayasan Sosial St Damian Cancar, Suster Franselin Sabu berkata “masyarakat Manggarai telah mengenal beliau sebagai rasul kaum marginal.”

“Sejak Suster Virgula menghembuskan nafas terakhir, kami menetapkan tanggal kematiannya, yaitu tanggal 27 Juni, sebagai hari perayaan untuk mengenang kembali jejak cinta serta perjuangannya,” katanya.

Ia berkata, hal itu terangkum dalam agenda pameran dan pentas seni spesial dari karya anak-anak St.Damian.

“Tahun lalu acaranya di St. Damian Cancar dengan konsep kegiatan seminar, sekaligus melaksanakan kenduri untuk Almarhumah Suster Virgula. Tahun ini kami memilih di Unit Binongko, Labuan Bajo dengan kemasan acara yang berbeda,” katanya.

Pengunjung yang datang menyambangi sejumlah lapak dalam acara pameran. (Gheril Ngalong)

Ia merinci unsur pembeda dalam acara tahun ini merujuk pada salah satu nilai penting yang sudah diajarkan oleh Suster Virgula, yaitu kemandirian.

Pameran dan pentas seni, katanya, menjadi etalase karya serta wujud upaya yang telah diajarkan oleh biarawati asal Jerman tersebut.

“Beliau selalu menekankan serta mendorong warga Damian untuk menggunakan seluruh potensi yang dimiliki dalam diri masing-masing agar bisa mandiri,” katanya.

“Siapa pun dan apa pun bentuknya, baik yang difabel atau yang berkebutuhan khusus, harus bisa mandiri untuk tetap hidup di tengah masyarakat. Inilah tekad besar yang ingin kami tunjukan,” tambah biarawati asal Adonara, Flores Timur ini.

Dengan begitu, katanya, melalui wadah ini warga St. Damian ingin menunjukan bahwa mereka masih bekerja.

“Kami tidak boleh menjadi pengemis. Kalau hidup dari banyak penderma, maka paling tidak dengan apa yang sudah Suster Virgula ajarkan kepada kami, kami bisa menjadi penderma bagi orang lain,” katanya.

Dalam agenda pameran dan pentas seni ini, kata dia, warga St. Damian akan menjajakan ragam hasil karya menarik, seperti produk mebel bambu dan rotan, bingkai, rosario, lampu hias, serta kerajinan lainnya.

Anak-anak SDK St. Yosefa Labuan Bajo, turut terlibat memeriakan acara malam pembukaan pameran. (Gheril Ngalong)

Selain itu, katanya, adalah sajian produk sabun organik dan minyak herbal khusus untuk obat luka yang semuanya berbahan dasar dari tanaman confrey.

Yosep Min Palem, koordinator acara ini berkata, beragam produk ini merupakan upaya mengejawantahkan komitmen Virgula yang ingin agar “pasien kusta dan difabel harus dilatih keterampilan tertentu sesuai minat serta kemampuan mereka.”

“Dengan bekerja dan menghasilkan sesuatu, mereka merasa dirinya berguna,” katanya.

Ia berkata, dulu hasil karya mereka digantung di dinding, yang membuat mereka bangga bisa menghasilkan sesuatu.

Mereka, katanya, lebih bangga lagi dan memiliki kepercayaan diri yang besar ketika hasil karya itu dibeli oleh pengunjung panti.

“Mereka bangga dengan diri mereka, sehingga harga diri terangkat dan martabat sebagai manusia mereka rasakan. Ini, bagi Suster Virgula menjadi semacam terapi, menyembuhkan luka batin mereka, karena kusta dan difabel dahulu dianggap aib, kena kutukan nenek moyang atau jurak dalam bahasa Manggarai,” katanya.

Selain pameran hasil karya, katanya, selama beberapa hari acara akan ada atraksi serta pertunjukan spesial dari anak-anak difabel dari Sekolah Luar Biasa Negeri St. Damian Cancar dan Sekolah Luar Biasa Negeri Komodo.

“Ini juga spirit yang sama dari Sr. Virgula SSpS dulu, supaya anak-anak difabel berani tampil membawa acara tertentu sesuai bakat dan kemampuannya,” kata Yoseph.

“Dengan tampil di depan orang lain, membawa acara, mereka merasa diri mereka berarti, bisa membahagiakan sesama,” tambah warga St. Damian ini yang sudah bergabung sejak tahun 1987.

Tidak hanya itu, SDK Sta. Yosefa, Sanggar Ta Te Kind Art, Wela Rana, Le Gory serta partisipan lainnya akan memeriahkan acara, katanya.

“Bagi Suster Virgula, setiap orang – bagaimana pun keadaannya, pasti dikarunia kemampuan tertentu oleh Tuhan. Lewat senyuman yang manis mereka bisa membahagiakan sesama, bahkan membuat orang yang putus asa bersemangat kembali,” kata Yosep.

Lapak komunitas Rumah Baca Aksara yang menjual buku-buku dan kaos. (Gheril Ngalong)

Sr. Franselin menambahkan, kisah tentang karya Suster Virgula SSpS juga akan ditayangkan selama acara ini, yang sudah terdokumentasikan dalam film dokumenter karya Rumah Baca Aksara, sebuah komunitas kreatif kaum muda berbasis di Ruteng.

“Sejak awal pembukaan pameran, kelompok Rumah Baca Aksara juga turut hadir ikut melapak, menjajakan karya-karyanya,” katanya.

Penayangan film dokumenter bertajuk “AB(UP)Normal: Memoar Pengabdian Rasul Kaum Marjinal” itu katanya, digelar pada 26 Juni.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA