Dipanggil Inspektorat, Perangkat Desa yang Diberhentikan di Kuwus, Manggarai Barat Ungkap Sejumlah Dugaan Penyelewengan

Mereka juga mempersoalkan alasan pemberhentian dari staf desa

Floresa.co – Perangkat desa yang telah diberhentikan pada salah satu desa di Kabupaten Manggarai Barat mengakui sejumlah kejanggalan tata kelola  termasuk soal keuangan yang tidak transparan –  saat mereka diperiksa oleh Inspektorat yang sedang menangani kasus dugaan penyelewengan oleh kepala desa.

Mereka juga mengeluhkan soal pemberhentian mereka, yang diklaim “tanpa alasan yang jelas.”

Hal itu disampaikan oleh perangkat Desa Golo Riwu, Kecamatan Kuwus Barat saat memberi keterangan kepada Inspektorat Daerah Manggarai Barat pekan lalu terkait pengaduan warga terhadap Kepala Desa Ignasius Didimus Loyola Mense.

Kehadiran mereka menyusul undangan Ketua Tim Audit Inspektorat, Hendrikus F. Min dalam surat nomor 700.1.2/526/VIII/2024 tertanggal 1 Agustus.

Dalam surat itu, Hendrikus meminta 10 perangkat Desa Golo Riwu memberikan keterangan terkait “dugaan penggelapan/penyelewengan keuangan desa tahun anggaran 2023 dan semester satu tahun anggaran 2024.”

Mereka yang dipanggil di antaranya Antonius Konsa, Marselina A. Jenai, Maximilianus Gerhani, Robertus Jemaho, Veronika Ijam, Emilia Marina, Alfonsius Jelahu, Hermanus Jegaut, Kanisius Jadu, dan Marselinus Bin.

Hermanus Jegaut, mantan Bendahara Desa Golo Riwu, berkata, Hendrikus juga memanggil dua perangkat desa lainnya yakni Agustinus Loren dan Maria Noyati Mulia.

Keduanya dipanggil melalui WhatsApp karena “Inspektorat lupa memasukan nama mereka dalam surat undangan.”

Agustinus Loren, eks Kepala Seksi Pelayanan berkata, 10 dari 12 perangkat desa yang dimintai keterangan oleh Tim Audit pada 5 Agustus telah diberhentikan oleh Kepala Desa, Ignasius Didimus Loyola Mense pada 31 Mei.

Yang tersisa, kata dia, hanya Antonius Konsa yang menjabat Sekretaris dan Marselinus Bin, Kepala Dusun Wetik.

Soal Anggaran Hanya Kepala Desa yang Tahu

Agustinus berkata, “Tim Audit menanyakan kepada saya terkait penggunaan dana desa tahun anggaran 2023 dan semester satu tahun anggaran 2024.”

Kepada Tim Audit, ia mengaku “tidak tahu” tentang penggunaan dana desa karena “saya hanya bertugas mendata penduduk dan mengkoordinir kegiatan kebersihan lingkungan.”

“Terkait penggunaan dan penandatangan anggaran saya tidak tahu,” katanya kepada Floresa.

Ia juga menjelaskan, Anggaran Pendapatan Belanja Desa [APBDes] tahun 2024 belum ditetapkan karena Musyawarah Rencana Pembangunan Desa atau Musrenbangdes dibatalkan.

Saat Musrenbangdes, Ketua BPD tidak hadir karena “belum ada laporan realisasi penggunaan dana desa tahun 2023.” 

Ia pun mengaku mendukung upaya warga melaporkan dugaan penyalahgunaan dana desa karena “memang terbukti bahwa banyak program yang tidak terealisasi.”

Ia mengklaim, “yang tahu persis soal penggunaan dana desa adalah kepala desa sendiri.”

“Bendahara hanya memegang uang Bantuan Langsung Tunai dana desa dalam rangka penanganan Covid,” katanya. 

Maria Noyati Mulia, Kepala Dusun Masing yang juga dimintai keterangannya oleh Tim Audit berkata, selama dua tahun terakhir, program yang masuk ke wilayahnya “hanya ketahanan pangan, yakni budidaya ikan dan sayur-sayuran.” 

“Kepala desa hanya memberi terpal untuk pembuatan kolam, tetapi ikannya tidak ada. Dia juga hanya memberikan 10 plastik bibit sayur,” katanya.

Perangkat desa, kata dia, baru mengetahui anggaran program itu yang berkisar Rp182 juta setelah warga melaporkan dugaan penyalahgunaan dana desa ke Inspektorat. 

Sementara Emilia Mariana, Kepala Seksi Kesejahteraan berkata, “kepala desa tidak pernah memberitahu perangkat desa terkait anggaran dana desa dan penggunaannya.”

Perangkat desa juga tidak pernah menandatangani dokumen penetapan APBDes, katanya.

Dugaan Penggelapan Dana

Pada bulan lalu warga Desa Golo Riwu melaporkan Ignasius yang diduga menggelapkan anggaran sejumlah proyek fisik, dengan kisaran belasan hingga lebih dari seratus juta rupiah per proyek.

Inspektorat Manggarai Barat pun mulai melakukan penyelidikan sejak 16 Juli.

Nikolaus Alfredi, salah satu warga yang melapor kasus ini berkata, ada beberapa item kegiatan yang jumlah pagu anggarannya lebih besar dari realisasi yang diserap.

“Dasar temuan kami adalah APBDes, yang menurut kami adalah kitab sucinya kepala desa,” katanya kepada Floresa.

Ia membandingkan perbedaan jumlah pagu anggaran untuk beberapa item proyek yang tercantum dalam APBDes dengan nilai penyerapan atau realisasinya.

Nikolaus menyebut salah satu contohnya adalah program ketahanan pangan pada 2023 yang hanya menyerap Rp50.000.000 untuk pengadaan bibit sayur dari anggaran Rp182.198.000.

Sementara program ketahanan pangan tahun ini dengan alokasi anggaran Rp171.000.000, realisasinya hanya jagung 400 kilogram.

Dalam APBDes, anggaran proyek itu adalah untuk pengadaan jagung 1.130 kilogram, sehingga kurang 730 kilogram, katanya.

Dana yang digelapkan sekitar Rp107 juta, kata Nikolaus, dan bisa lebih besar jika merujuk pada jenis jagung yang dibeli.

Sesuai APBDes, kata dia, jagungnya adalah jenis hibrida dengan harga sekitar Rp146.000 per kilogram. Namun kepala desa memberi jagung jenis G20 yang harganya sekitar Rp48.500 per kilogram.

Selain program tersebut, proyek perbaikan air minum bersih yang anggarannya Rp128.000.000 “realisasinya hanya tumpukan pipa yang jumlahnya tujuh rol,” kata Nikolaus.

Dugaan penyelewengan lainnya adalah pembangunan tembok penahan tanah dan mortar di Dusun Wetik dengan anggaran Rp228 juta.

“Mortar ini sama tidak ada realisasi,” katanya.

Proyek infrastruktur bermasalah lainnya terjadi di Dusun Masing, yakni pembangunan tembok penahan tanah dan rabat beton dengan nilai anggaran Rp165.888.417.

“Yang tidak ada realisasinya adalah tembok penahan tanah,” katanya.

Ia menduga Ignasius mengambil foto pengerjaan proyek lain yang bersumber dari dana Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat untuk “bahan laporan ke kabupaten atau kecamatan.”

Nikolaus juga menyebut program makanan tambahan untuk ibu hamil dan stunting dengan anggaran Rp35 juta.

Menurut penjelasan bidan desa pelaksanaan kegiatan, kata dia, program itu dijalankan dua kali pada 2023 dengan makan telur dan ayam suwir.

“Menurut penjelasan mereka, jumlah ayamnya dua ekor. Ada pembelian susu satu dus. Ketika kami kalkulasikan, nominal uangnya tidak sampai Rp3 juta,” katanya.

Temuan lainnya adalah pembelanjaan barang dan jasa berupa laptop dan printer dengan anggaran Rp19.000.000 – untuk laptop Rp12.000.000 dan printer Rp7.000.000. 

Keduanya tidak dibelanjakan “dan ini sudah kami konfirmasi ke aparat desa dan sekretaris desa.”

“Ketika kami membutuhkan dokumen dari desa, kami mesti ketik dan print di luar. Mereka hanya tanda tangan,” kata Nikolaus.

Selain dugaan penyalahgunaan dana, kata dia, kepala desa juga melakukan berbagai pelanggaran lain, seperti merangkap sebagai Tim Pelaksana Kegiatan Desa dan ada honornya dalam setiap proyek. 

Yang membuat penasaran, katanya, “siapa Tim Pelaksana Kegiatan dari setiap pekerjaan proyek ini karena yang muat semen, pasir dan bahan lainnya kepala desa.”

“Yang bagi honor ke pekerja adalah kepala desa sendiri,” kata Nikolaus.

Alasan Pemberhentian yang ‘Tidak Jelas’

Dalam pemeriksaan pada 5 Agustus, perangkat desa juga mempersoalkan pemberhentian mereka setelah mendapat surat peringatan dari kepala desa pada 8 Mei.

Agustinus berkata, mereka mendapat surat peringatan pertama, kedua dan ketiga pada hari yang sama.

“Padahal, tanggal pembuatan surat itu berbeda-beda,” katanya sembari menunjukkan surat-surat itu kepada Floresa.

“Surat pertama dibuat pada 29 Januari. Surat kedua dibuat pada 1 Maret, dan surat ketiga dibuat pada 8 Mei,” tambahnya.

Agustinus berkata “kami diberhentikan dengan alasan terlambat masuk kantor dan tidak loyal terhadap perintah kepala desa.”

Marselina Afia Jenai, Kepala Urusan Tata Usaha menyebut alasan pemberhentian itu “tidak masuk akal” karena “kepala desa hampir tidak pernah masuk kantor.”

Setelah dihitung-hitung “kepala desa hanya lima kali masuk kantor.”

Ia mengaku kepala desa memang datang lebih awal ke kantor pada 8 Mei yaitu pukul 07.00 Wita, sementara “kami datang 30 menit setelahnya.”

“Menurut kami, itu bukan terlambat karena telah disepakati bahwa jam kantor dimulai pukul 08.00 Wita,” katanya.

Marselina mengatakan selama ini, kepala desa juga “tidak ada rapat bersama dengan perangkat desa.”

Floresa meminta tanggapan Kepala Desa, Ignasius Didimus Loyola Mense melalui WhatsApp pada 9 Agustus. 

Namun, ia tak merespons hingga berita ini dipublikasi, kendati pesan itu telah dibaca.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA