Floresa.co – Banyak media massa seringkali mengklaim mengambil sikap netral dan enggan untuk mengakui memiliki keberpihakan tertentu.
Klaim demikian, menurut Wisnu Prasetya, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, misalnya menjadi alasan untuk menyatakan bahwa setiap berita harus merefleksikan pendapat semua pihak.
Padahal, katanya, klaim netralitas dalam jurnalisme – yang mengandaikan media atau jurnalis mengambil jarak terhadap persoalan yang ditulis – sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sebuah ilusi.
Berbicara dalam sebuah diskusi daring yang digelar Yayasan Kurawal pada 2 November, ia berkata, ada dua pemicu netralitas itu sulit diwujudkan, yakni masalah struktural dan kultural.
Masalah struktural muncul karena media sering berafiliasi dengan kelompok politik tertentu, kendati hal itu tidak selalu terlihat jelas, sehingga media tidak mungkin sepenuhnya netral.
“Media pasti punya keberpihakan,” katanya, “media tidak bisa lepas dari pengaruh pemiliknya, yang mungkin memiliki afiliasi politik tertentu.”
Ia mencontohkan bagaimana media-media di Indonesia pada momen pemilihan umum seringkali membela kepentingan politik pemiliknya.
Kendati keberpihakan itu tidak diakui oleh media-media tersebut, namun publik bisa dengan mudah membacanya, kata Wisnu.
Dengan demikian, secara struktural, kata dia, klaim netralitas mengabaikan kondisi ekonomi politik yang membentuk lanskap media.
Kalaupun ada pemilik media yang menggembar-gemborkan tentang netralitas, maka mesti dibaca secara terbalik, yaitu seolah-olah terlihat netral tapi sebenarnya adalah berpihak kepada pemilik modal.
Masalah kultural, di sisi lain, muncul dari latar belakang dan bias pribadi para jurnalis dan media, termasuk latar belakang yang membentuk kehidupannya.
Disadari atau tidak, katanya, latar belakang, entah kelas sosial, etnis, suku, agama dan seterusnya membentuk kesadaran dan sikap mental, yang berpengaruh terhadap bagaimana seorang jurnalis memahami dan menulis berita.
Pilihan jurnalis dan media untuk melaporkan satu peristiwa dan tidak melaporkan peristiwa yang lainnya, kata dia, sudah menunjukkan ketidaknetralan.
Demikian juga halnya dalam perumusan angle atau sudut pandang terhadap sebuah peristiwa.
Wisnu memberi catatan bahwa di Indonesia netralitas menjadi isu yang kontroversial, terutama selama Orde Baru, di mana ada kontrol ketat pada media.
Konsep netralitas itu dimanfaatkan sebagai alat untuk mengontrol berita yang tidak sesuai kehendak penguasa. Hal itu membuat media yang berusaha menyuarakan pandangan kritis terhadap pemerintah mendapat tekanan.
Dampaknya adalah informasi yang kritis terhadap pemerintah seringkali dibungkam. Kuatnya kontrol penguasa memunculkan ketidakberagaman informasi yang tersedia bagi masyarakat.
Inaya Rakhmani, Direktur Asia Research Center di Universitas Indonesia, pembicara lain dalam diskusi tersebut juga menekankan bahwa konsep netralitas sulit dicapai di tengah kondisi banyak perusahaan media dimiliki oleh konglomerat besar dengan afiliasi bisnis atau politik tertentu.
Hal ini membuat jurnalis sering berada di bawah tekanan untuk menyajikan berita yang sesuai dengan kepentingan pemilik media.
Situasi demikian, kata dia, membuat suara-suara kelompok yang terpinggirkan tidak mendapat ruang dalam pemberitaan media.
Narasi-narasi yang dominan mengabaikan kenyataan pahit yang dihadapi oleh kelompok terpinggirkan, “yang pada akhirnya berkontribusi pada penguatan oligarki yang ada.”
Ia menjelaskan, perkembangan teknologi digital, termasuk dengan munculnya media sosial memang kemudian membantu “memberikan kesempatan bagi suara-suara alternatif untuk muncul.”
Namun, katanya, “platform ini juga dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah dan memperdalam perpecahan dalam masyarakat.”
Pengalaman Floresa
Diskusi itu bertajuk “Berpihak Pada Keadilan: Peran Media Dalam Ekosistem Gerakan Sosial.” Dipandu Indriyani, Program Officer dari Yayasan Kurawal, peserta terdiri dari 60-an orang, mayoritas jurnalis.
Ryan Dagur dari Floresa membagikan pengalaman tentang bagaimana media alternatif independen itu secara terbuka memilih untuk tidak bersikap netral, melainkan berpihak terhadap kepentingan publik.
Ia menjelaskan, pilihan sikap itu berangkat dari kesadaran tentang adanya relasi kuasa yang timpang dan konteks di Flores yang menjadi basisnya.
Ia menggambarkan Flores, daerah Indonesia timur yang menjadi sasaran berbagai proyek pembangunan dalam bidang pariwisata dan energi dengan kondisi media yang umumnya kurang memberi perhatian pada kepentingan publik, sementara elemen sipil lainnya juga tidak memberi perhatian serius pada masalah sosial.
Dalam konteks demikian, kata dia, Floresa memilih untuk berpihak pada upaya menyuarakan aspirasi warga, yang seringkali menjadi korban, namun tidak mendapat ruang dalam pemberitaan media.
Ryan mencontohkan soal bagaimana sikap Floresa dalam menulis laporan terkait proyek geotermal, yang dinarasikan akan membawa kemajuan, namun dampak-dampak negatifnya serta siapa sebenarnya yang mendapat untung, seolah disembunyikan.
Floresa, katanya, memberi mereka ruang yang luas dalam pemberitaan dan membuka informasi-informasi penting ke publik tentang proyek-proyek ini.
“Kami berusaha untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak terdengar dan mendokumentasikan kisah-kisah yang seringkali terabaikan oleh media arus utama,” ungkapnya.
Dalam pandangan Ryan, penting bagi media untuk menyoroti hal tersebut dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Ia juga membagikan pengalaman Floresa berjejaring dengan berbagai elemen sipil, kelompok warga dan jurnalis lain di Flores, bagian dari upaya mendorong praktik jurnalisme yang berpihak pada kepentingan publik.
“Sebagai bagian dari gerakan, Floresa memilih tidak membangun batas/jarak dengan berbagai elemen sipil. Kekuatannya justru pada networking, secara luwes berjejaring dengan berbagai aktor,” katanya.
“Hal ini sekaligus melawan cara pandang yang menginginkan fragmentasi antara pers dengan warga, lembaga sipil, gerakan-gerakan kolektif, yang sebetulnya juga menjadi bagian dari cara penaklukan oleh penguasa,” katanya.
Ia menyatakan, dampak dari pilihan sikap seperti ini, selain membuat publik percaya pada media, juga membuat Floresa memperoleh dukungan dan pengakuan dari berbagai pihak, lewat sejumlah penghargaan.
Berpihak Tidak Berarti Melanggar Kode Etik Jurnalistik
Para pembicara dalam diskusi itu sepakat tentang pentingnya keberpihakan media dalam konteks upaya memperjuangkan keadilan.
Wisnu Prasetya, yang kini sedang studi doktoral di Inggris menekankan pentingnya peran jurnalis dalam advokasi perubahan sosial yang “tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi.”
Jurnalis, “harus berperan dalam mempromosikan toleransi dan keberagaman serta mengawasi kekuasaan” dan berpihak pada kepentingan publik, katanya.
Ia memberi catatan bahwa berpihak “tidak berarti melanggar etika jurnalistik,” asal jurnalis betul-betul setia pada tugas melaporkan fakta, tidak mencampuradukkannya dengan opini.
Keberpihakan dalam jurnalisme, katanya, berada dalam ranah independensi, sebuah kondisi ketika media dan juga jurnalis punya kebebasan untuk menulis berita tanpa rasa takut.
Hanya dalam kondisi ketika ruang redaksi imun dari intervensi pemilik dan negara, kebenaran jurnalistik bisa didapatkan.
Sementara menurut Inaya Rahkmani, “sebagai jurnalis yang berkomitmen pada keadilan sosial, kita harus berani mengkonstruksi narasi yang mencerminkan pengalaman orang-orang yang terpinggirkan.”
“Ini bukan hanya tentang melaporkan berita, tetapi juga tentang memberdayakan mereka untuk menyuarakan pengalaman dan harapan mereka,” katanya.
Inaya menekankan bahwa jurnalisme yang bertanggung jawab dapat menjadi alat untuk mendorong perubahan sosial.
Ia pun menyerukan perlunya kolaborasi yang lebih erat antara jurnalis, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan ruang yang lebih adil bagi semua pihak.
“Dengan memanfaatkan teknologi dan platform digital, kita memiliki peluang untuk membangun narasi yang lebih kuat dan menghubungkan masyarakat dengan isu-isu yang mereka hadapi setiap hari,” tegasnya.
Ia percaya bahwa dengan pendekatan ini jurnalis tidak hanya akan berfungsi sebagai pengamat, tetapi juga sebagai agen perubahan yang aktif dalam membentuk masa depan yang lebih adil bagi semua.
Ryan Dagur sepakat bahwa berpihak tidak berarti melanggar kode etik jurnalistik, menekankan bahwa Floresa senantiasa berupaya pada prinsip-prinsip penting dalam kode etik.
“Hal yang membedakan cara kami menulis berita dengan media lain adalah pada soal perumusan angle berita, pemilihan narasumber yang selalu melibatkan warga, mengangkat topik tertentu yang dianggap penting untuk direspons oleh warga, selalu menempatkan konteks tentang proyek – bahwa ada perlawanan warga, berikut dengan alasan-alasan mereka,” katanya.
Ia menyatakan, Floresa “akan terus berjuang untuk menyuarakan kebenaran, meskipun harus menghadapi berbagai tantangan,” seperti kekerasan yang dialami Pemimpin Redaksi, Herry Kabut saat meliput aksi warga Poco Leok menentang proyek geotermal pada 2 Oktober.
Ia menekankan bahwa keberpihakan kepada kepentingan publik dan mengawasi kekuasaan adalah tugas penting yang mesti diemban media dan jurnalis.
“Peran media dan jurnalis berada di titik ujian paling penting; mau ada di mana? Menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas atau mau berpihak, berada bersama masyarakat yang rentan dalam perjuangan menyuarakan hak mereka,” katanya.
Editor: Anno Susabun