Floresa.co- Anak muda Kabupaten Lembata mengikuti pelatihan budi daya sorgum, bagian dari upaya merespons perubahan iklim sekaligus menyambut permulaan musim tanam di pulau kecil sebelah timur Flores itu.
Kegiatan yang diinisiasi komunitas Gerep Blamu Tapobali Wolowutun [GEBETAN] itu digelar di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni pada 7 Desember.
Tapobali berjarak sekitar tiga kilometer dari pesisir selatan Pulau Lembata yang berhadapan dengan Laut Sawu.
Dalam bahasa Lamaholot yang sebagian penuturnya tinggal di bagian timur Flores, Solor, Adonara dan Lembata, “gerep blamu Tapobali wolowutun” berarti “muda-mudi Tapobali ujung kampung.”
Pelatihan mempertemukan perwakilan pemangku kebijakan Desa Tapobali di Kecamatan Wulandoni, peladang dari desa setempat serta para pelajar SMPN 04 Wulandoni.
Hendrikus Bua Kilok, koordinator lapangan komunitas GEBETAN mengatakan pelatihan itu bertujuan “menyadarkan dan mengubah perilaku warga agar mulai mendukung sorgum sebagai salah satu pangan lokal yang berkelanjutan.”
Dukungan terhadap budi daya tanaman pangan lokal, kata Andika, sapaannya, turut menunjukkan “dorongan akan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim.”
Ia mengatakan sorgum “paling ideal mulai ditanam pada awal musim penghujan” sehingga masa panennya tak sampai memasuki kemarau, yang belakangan ini kian tak tentu periodenya.
Mengacu pada topografi Tapobali yang berdekatan dengan pesisir, sorgum dapat dipanen dua kali dalam setahun, pada Mei dan Agustus.
Panenan kedua, kata Andika, “untuk dijadikan benih.”
Berkolaborasi dengan peladang setempat, GEBETAN membudidayakan sorgum di beberapa wilayah Lembata sejak 2018.
Andika berkata, komunitas petani dampingan GEBETAN “bisa memanen sorgum rata-rata 500-750 kilogram per tahun.”
Apa Respons Peserta Pelatihan?
Pelatihan budi daya sorgum diawali pengenalan tentang metode perendaman benih.
Perendaman bertujuan memastikan benih-benih berkualitas baik, yang lalu dipindah ke lahan tanam.
Luas lahan yang dipakai dalam pelatihan itu berukuran 66×58 meter. Dengan jarak tanam antarbaris sepanjang 70 cm dan jarak antarlubang 30 cm, lahan itu bisa ditanami 2-4 benih per lubang.
Martina Nugi, salah satu peladang peserta pelatihan merasa terkesan dengan pelatihan itu.
Ia mengaku “mendapat wawasan baru soal budi daya sorgum, terlebih soal hasil panen yang stabil.”
Kestabilan hasil panen menjadi penting bagi peladang setempat, mengingat mereka baru mengenal sorgum.
Kendati begitu, peladang berusia 56 tahun itu menilai “proses pascapanen cenderung rumit” lantaran setiap tahapannya mesti dilakukan secara manual.
Selepas pelatihan, ia mengaku akan menanam sorgum dan melihat hasilnya, sesudah “dua tahun terakhir gagal panen padi dan jagung.”
Sementara itu Lambertus Yosep Atung, seorang guru SMPN 04 Wulandoni berharap komunitas seperti GEBETAN “terus memberikan edukasi dan pemahaman perubahan iklim dan pangan lokal bagi pelajar.”
Lambert berkata, pelatihan tersebut “membantu kami mewujudkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila [P5] tentang kearifan lokal.”
Lusia Fransiska Sura Ledun, siswi kelas 8 SMPN 04 Wulandoni, mengungkapkan antusiasmenya usai mengikuti pelatihan tersebut.
“Kami tak hanya duduk dan belajar di dalam kelas, melainkan juga praktik langsung menanam sorgum,” katanya, pengalaman yang membuatnya “termotivasi untuk kelak membudidayakan sorgum.”
Memulihkan Sorgum, Merawat Tradisi
Meski para peladang setempat baru mengenal sorgum, tetapi “sebetulnya tanaman pangan itu telah lama berperan dalam ritual di Desa Tapobali,” kata Andika.
Setidaknya dua ritual, masing-masing blela dan ferulolo, menggunakan benih dan anakan sorgum, yang dalam upacara adat Tapobali disebut klarfolot.
“Blela” mengisyaratkan larangan untuk tidak mengambil jenis siput tertentu di laut. Blela merupakan bagian dari “muro,” suatu tradisi menjaga laut di Lembata. Sedangkan ferulolo menandai syukuran panen.
Andika sempat mewawancarai sejumlah tetua setempat soal “nyaris hilangnya pengetahuan tentang sorgum.”
Ia menemukan “sorgum mulai hilang sejak program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian melalui swasembada pangan pada sekitar 1970-an.”
Program pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto itu merujuk pada upaya peningkatan hasil pertanian dengan mengolah lahan yang tersedia dan perluasan lahan.
Menghilangnya sorgum diikuti dengan lenyapnya tradisi blela.
Melalui pelatihan budi daya sorgum, Andika berharap “pemerintah setempat kembali menggalakkan blela lantaran salah satu bahan dasar ritualnya akan kembali tersedia.”
Selain bermanfaat dalam kebutuhan ritual adat, tanaman pangan itu juga dapat diolah menjadi produk siap saji seperti menjadi kopi sorgum, beras sorgum dan sereal sorgum.
Dalam pelatihan budi daya sorgum di Tapobali, GEBETAN berkolaborasi dengan koalisi pangan BEragam, Adaptif, Inklusi dan Kokreasi [BAIK].
Koalisi Pangan BAIK berfokus pada upaya penyebarluasan dampak perubahan iklim serta solusi lokal, terutama terkait sistem pangan dan pertanian ekologis.
Editor: Anastasia Ika