Janji Swasembada Pangan dan Energi Lewat Pembongkaran 20 Juta Hektare Hutan Dinilai Picu Bencana Besar Sosial-Ekologi

Selama pangan dan energi terus diperlakukan sebagai bisnis, kata elemen masyarakat sipil, keadilan bagi rakyat dan lingkungan hanyalah mimpi

Floresa.co – Rencana pemerintah untuk membuka 20 juta hektare [ha] hutan demi memuluskan proyek pangan dan energi terus menuai gelombang kritik dari berbagai elemen masyarakat. 

Rencana tersebut disampaikan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni saat memberikan pengarahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional [Musrenbangnas] di Jakarta pada 30 Desember.

Prabowo mengklaim “kelapa sawit jadi bahan strategis” dan “banyak negara takut tidak dapat kelapa sawit” dari Indonesia.

Menurutnya, kelapa sawit berperan strategis sebagai penopang perekonomian nasional sekaligus aset negara yang harus dijaga. 

Dalih itu sekaligus membantah tuduhan bahwa perluasan lahan sawit menjadi penyebab utama deforestasi.

Di lahan seluas itu, kata Raja Juli, pemerintah ingin menanam, antara lain padi gogo sebagai basis lumbung pangan dan pohon aren sebagai sumber energi bioetanol, solusi yang digadang-gadang sebagai energi masa depan  

Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil berpandangan sebaliknya.

Krisis Ekologis Mengintai

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] mengingatkan dampak pembukaan hutan dalam skala besar tak sebatas pada lonjakan emisi gas rumah kaca, hal yang acapkali diklaim telah pemerintah tangani.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi menyebut dampaknya termasuk kekeringan, gagal panen dan peningkatan risiko zoonosis–penyakit yang berpindah dari hewan ke manusia. 

Dalam skenario terburuk, kata dia, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan pesisir “terancam menjadi pengungsi.”

Uli mempertanyakan tugas Kementerian Kehutanan yang seharusnya menjadi benteng perlindungan hutan “malah berbalik arah” dengan merancang proyek yang berpotensi menghancurkan ekosistem secara besar-besaran. 

Ia menyebut tindakan tersebut sebagai “bentuk pengkhianatan terhadap tugas utama kementerian sebagai penjaga kelestarian hutan.”

Kebijakan itu, lanjutnya, “mencerminkan kegagalan presiden dan menteri kehutanan memahami mandat mereka untuk melestarikan sumber daya alam bagi keberlangsungan hidup masyarakat.” 

Sementara itu, peneliti dari The Indonesian Institute [TII], Christina Clarissa Intania, menyatakan bahwa rencana tersebut berisiko menggusur masyarakat adat dari tanah leluhur mereka yang hingga kini belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.

“Banyak wilayah adat yang belum mendapat pengakuan formal, sehingga hak-hak mereka, baik sebagai pemilik tanah maupun atas kelangsungan hidup mereka terancam,” ujar Christina dalam keterangan tertulis yang diterima Floresa pada 3 Januari.

Ia juga menyoroti potensi peningkatan konflik agraria akibat kebijakan tersebut. 

Dengan rencana alih fungsi hutan dalam skala besar, kata dia, polemik terkait pengakuan wilayah adat dikhawatirkan semakin memperbesar risiko pergeseran masyarakat adat secara paksa. 

“Wacana deforestasi ini bisa memperburuk keadaan,” katanya.

Christina mengingatkan pemerintah perlu mempertimbangkan dampak luas dari kebijakan ini, tidak hanya terhadap ekosistem, tetapi juga masyarakat adat yang selama ini bergantung pada keberlanjutan hutan untuk hidup mereka.

‘Narasi Swasembada Pangan dan Energi Hanya Kedok’

Uli mengungkapkan saat ini sekitar 33 juta ha hutan sudah dibebani berbagai izin sektor kehutanan. 

Dari jumlah tersebut, 4,5 juta ha digunakan untuk konsesi tambang, sementara 7,3 juta ha hutan telah dilepaskan untuk berbagai kepentingan, dengan mayoritasnya–sekitar 70 persen–beralih menjadi perkebunan sawit. 

Dominasi korporasi dalam sektor kehutanan, katanya, tidak hanya menghancurkan biodiversitas tetapi juga memicu konflik agraria yang melibatkan masyarakat lokal. 

“Narasi pemerintah soal swasembada pangan dan energi hanya kedok untuk melegitimasi pemberian lahan besar-besaran kepada korporasi,” katanya. 

Uli juga mengatakan “selama pangan dan energi terus diperlakukan sebagai bisnis, keadilan bagi rakyat dan lingkungan hanyalah mimpi.”

Sementara itu, Deputi Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga mengatakan kebijakan pemerintah melalui “skema monokultur” atau perkebunan tanaman tunggal “sudah pasti akan menggusur beberapa hutan endemis.” 

Hal itu, kata dia, karena pembangunan sektor energi di NTT “sudah dikebut di beberapa titik.” 

“Contohnya, pemerintah Kabupaten Ngada terpilih mulai siapkan lahan untuk hutan energi dengan target seluas 4.000 ha”, katanya saat dihubungi Floresa pada 7 Januari.

Yuven menyebut konsekuensi dari kebijakan itu “akan mengubah struktur dan habitat alam” dan “keberadaan flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan akan terancam.”

“Janji ekonomi yang muncul di balik hutan energi bertolak belakang dengan aktivitas sebagian masyarakat NTT yang sangat bergantung pada kawasan hutan,” katanya. 

Selain itu, lanjutnya, dampak buruk kebijakan tersebut turut dirasakan kelompok-kelompok rentan, perempuan, termasuk penenun yang “membutuhkan bahan alam sebagai pewarna.”

Mengambil contoh Hutan Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Yuven juga berkata dampak alih fungsi hutan yang tidak sejalan dengan aktivitas masyarakat adalah “musim panen yang tidak menentu.”

Ia mengatakan masyarakat adat Besipae yang dominan menggantungkan hidupnya pada asam dan madu kini terancam akibat pola musim panen yang terganggu perubahan struktur alam.

Pendekatan Berbasis Rakyat

Yuven menjelaskan, beragam persoalan tersebut dipicu “model kebijakan yang sifatnya top down,” atau pendekatan dari atas ke bawah.

“Kebijakan yang sifatnya tidak pernah menempatkan masyarakat sebagai modalitas dasar,” menurutnya, mesti diganti dengan “kebijakan yang responsif.”

Konsep kebijakan ini, kata dia, bermuara pada pelibatan seluruh lapisan masyarakat, hal yang penting dalam mendorong pembangunan yang partisipatif.

Selain itu, dari sisi lingkungan hidup, Yuven mengingatkan pemerintah daerah agar memiliki “basis kajian daya tampung dan daya dukung lingkungan” dalam pengambilan kebijakan di NTT.

Pemerintah, menurutnya tidak pernah belajar dari pengalaman “kerusakan lingkungan dan konflik agraria” yang seharusnya menjadi pertimbangan mendasar dalam penetapan setiap kebijakan.

Ia mendesak pemerintah segera mengupayakan pemulihan lingkungan hidup. 

“Peningkatan kapasitas lingkungan hidup lewat kebijakan konservasi dan kapasitas masyarakat rentan menjadi penting untuk diperhatikan,” katanya.

Ia juga berkata rakyat harus menjadi aktor utama dalam produksi dan konsumsi pangan serta energi. Pada saat yang sama, pemerintah wajib menjamin hak-hak rakyat atas wilayah mereka. 

“Pengelolaan sumber daya pangan dan energi juga harus disesuaikan dengan karakteristik lokal setiap wilayah,” kata Yuven. 

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA