Floresa.co – Puluhan massa dari Aliansi Gerakan Timor Raya [AGTOR] mendatangi Kantor DPRD Provinsi NTT pada 10 Maret, menuntut penyelesaian yang adil dalam konflik lahan di Pubabu-Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Massa yang terdiri dari lima elemen organisasi pergerakan dan masyarakat adat Pubabu-Besipae serta warga Desa Linamnutu itu juga menyuarakan keresahan mereka terkait proyek pengembangan lahan instalasi ternak Besipae oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT.
Dalam aksi itu, mereka mendesak DPRD agar meminta Pemerintah Provinsi NTT di bawah kepemimpinan Gubernur Melkiades Lakalena menghentikan seluruh aktivitas, menilai proyek itu mengabaikan hak masyarakat adat yang selama ini hidup dan bergantung pada tanah leluhur mereka.
Di depan kantor DPRD, mereka membentangkan berbagai spanduk bertuliskan “Hentikan Segala Bentuk Aktivitas dalam Hutan Adat Pubabu,” “Kembalikan Hutan Adat Pubabu Tanpa Syarat Apapun” dan “Pemprov NTT Harus Bertanggung Jawab Atas Penggusuran Sepihak Terhadap Masyarakat Adat Pubabu.”
Konflik Bertahun-tahun
Konflik ini bermula pada 1982 ketika proyek percontohan peternakan sapi modern dilaksanakan melalui kesepakatan antara Pemerintah Provinsi NTT, masyarakat adat setempat, dan Pemerintah Australia. Proyek itu dikerjakan di atas lahan seluas 6.000 hektare.
Namun, kerja sama itu hanya berlangsung lima tahun. Setelahnya Dinas Kehutanan mengganti proyek tersebut dengan program penanaman komoditas kayu menggunakan skema hak guna usaha hingga 2008, tanpa persetujuan masyarakat.
Warga kemudian terus berusaha mengklaim kembali tanah itu, namun ditentang oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Alih-alih menanggapi gelombang desakan warga mengembalikan tanah itu kepada mereka, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektare.
Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam beberapa tahun terakhir Pemprov NTT berulang kali melakukan penggusuran terhadap lahan dan pemukiman warga. Penggusuran terakhir pada 20 Oktober 2022, tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.
Perdebatan dalam Audiensi
Dalam audiensi dengan DPRD NTT pada 10 Maret siang setelah bernegosiasi dengan Luki Aliando, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat, massa diterima oleh pimpinan Komisi II yang membidangi urusan perekonomian.
Ketua Komisi II, Leo Lelo, bertindak sebagai moderator pertemuan, didampingi oleh Wakil Ketua Komisi II, Yunus Takandewa, dan Sekretaris Komisi II, Junaidin Mahasans serta anggota Komisi II lainnya. Audiensi itu turut dihadiri perwakilan Dinas Peternakan serta Badan Pendapatan dan Aset Daerah.

Fadli Anetong, Koordinator AGRA NTT berkata, mereka datang “untuk mempertanyakan kelanjutan kasus Pubabu” dan “memastikan sejauh mana tindak lanjut yang telah dilakukan oleh DPRD.”
“Kalau memang sudah ada penyelesaian, sudah sejauh mana?.”
Fadli berkata, selama era kepemimpinan Viktor Laiskodat, masyarakat merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Hal ini terjadi karena berlarut-larutnya masalah ini, tanpa adanya kejelasan dalam proses penyelesaiannya.
Sementara saat melaporkan kasus penggusuran lahan dan rumah ke Polda NTT, “proses hukum mandek.”
Imanuel Tampani, salah satu warga berkata, ia kecewa dengan “ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan ini.”
Menurut Imanuel, sertifikat hak pakai yang terbit pada 2013 tumpang tindih karena digunakan oleh Dinas Peternakan NTT sebagai dasar” untuk mengklaim kepemilikan hak atas hutan adat Pubabu.”
Ia juga mempertanyakan kinerja tim penyelesaian sengketa tanah yang dibentuk pemerintah, karena hingga kini tim tersebut belum turun ke lokasi untuk melakukan survei dan memetakan area yang termasuk dalam lahan seluas 3.780 hektare tersebut.
Karena pemetaan tersebut belum dilakukan, katanya, warga adat Pubabu-Besipae hingga kini belum mengetahui secara jelas batas-batas kepemilikan lahan yang diklaim oleh pemerintah.
“Jangan sampai luasan lahan 3.708 hektare itu sekadar formalitas di atas kertas, tetapi tidak ada kepastian batasan itu sampai dimana,” katanya.
Daud Selan, warga adat lainnya, juga membenarkan pernyataan Imanuel.
Daud mengatakan, tumpang tindih klaim sertifikat menimbulkan ketidakpastian pemerintah dalam mengklaim kepemilikan hak yang justru dapat memicu konflik yang bisa saja terulang kembali seperti sebelum-sebelumnya.
“Penggusuran yang terjadi beberapa tahun silam adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan negara terhadap warga negara,” katanya.
“Bahkan, warga di sana yang hendak mendirikan rumah, selalu khawatir jika sewaktu-waktu kembali terjadi penggusuran,” tambahnya.
Menanggapi pernyataan warga, Ketua Komisi II DPRD NTT, Leo Lelo, menyatakan bahwa dirinya telah beberapa kali menerima audiensi dari warga adat Pubabu-Besipae sejak masih menjabat di Komisi III pada periode sebelumnya.
Namun, ia mengaku heran karena sepanjang audiensi yang telah berlangsung, pihaknya belum menerima dokumen pendukung yang dapat menguatkan pengaduan warga.
“Saya minta dokumennya, bawa dokumen itu supaya kita selesaikan,” ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya dokumen tersebut, warga akan memperoleh keuntungan dari sisi hukum, sehingga kebenaran dapat berpihak kepada masyarakat Pubabu-Besipae.
“Kalau memang itu hak rakyat, kita kembalikan ke rakyat,” tegasnya.
Menanggapi pernyataan Lelo, Fadli mengklarifikasi bahwa dokumen yang diminta oleh DPRD tahun 2022 pernah diupayakan oleh aliansi tahun 2023 hingga 2024, namun sejak saat itu aliansi sudah tidak pernah bertemu dengan Lelo.
Sementara Daud Selan berpendapat bahwa justru “tumpang tindih dasar hukum yang digunakan pemerintah telah menyebabkan sertifikat milik warga tidak lagi diakui keabsahannya.”
Ia berkata, batas-batas lahan yang tercantum dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah Australia pada 1982—melibatkan Desa Oe Kam, Mio, Polo, dan Linamnutu—masih mereka ketahui dengan jelas.
Menurutnya, pilar pembatas yang menandai lahan dan hutan adat Pubabu hingga kini masih berdiri.
Namun, sejak terbitnya sertifikat Hak Pakai pada 2013, pemerintah mulai menuntut agar warga Pubabu mengosongkan lahan yang telah mereka tempati secara turun-temurun.
Sementara itu, Hypparcus S. Paoe, Kepala Bidang Perbibitan dan Produksi Ternak Dinas Peternakan Provinsi NTT membantah pernyataan warga, mengklaim “kami tidak menggusur, hanya memanfaatkan lahan yang ada.”
Namun ia berdalih “terkait penggusuran, teman-teman di Badan Pendapatan dan Aset Daerah lebih tahu.”
Pemanfaatan itu, katanya, dilakukan dengan “cara mengukur ruang untuk pengembangan ternak sapi.”
Ia mengklaim bahwa pemanfaatan lahan tersebut bertujuan untuk menampung ternak yang dianggap merusak tanaman warga, seperti padi dan jagung, sesuai dengan instruksi Gubernur saat itu, Viktor Bungtilu Laiskodat.
Setelah perwakilan dari Dinas Peternakan dan Badan Pengelolaan Aset Daerah [Bappenda] NTT menyampaikan penjelasan terkait sengketa tanah Pubabu-Besipae, anggota Komisi II DPRD NTT diberikan kesempatan untuk menanggapi.
Sebagian anggota DPRD menyarankan agar masyarakat menempuh jalur litigasi sebagai solusi penyelesaian sengketa. Mereka menilai bahwa langkah hukum adalah cara paling tepat untuk mendapatkan kepastian dalam masalah ini.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Yunus Takandewa, Wakil Ketua Komisi II.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian konflik tidak akan tercapai jika semua pihak terus bersikeras pada pendiriannya.
Menurut politisi dari fraksi PDIP itu, masalah ini membutuhkan kedewasaan berpikir dan sikap yang lebih terbuka.
“Permintaan masyarakat tidak muluk-muluk, tinggal bagaimana kita menanggapinya,” ujarnya.
Ia pun mengusulkan agar diadakan pertemuan lanjutan guna membahas solusi yang bisa diterima oleh semua pihak, bukan sekadar mengandalkan jalur litigasi yang berpotensi memperburuk ketegangan.
Berdasarkan pantauan Floresa, perdebatan yang berlangsung selama dua jam itu akhirnya ditutup dengan penyerahan poin-poin tuntutan warga kepada pimpinan dan anggota Komisi II DPRD NTT.
Editor: Ryan Dagur