Floresa.co – Pada 13 Maret sekitar pukul 15.30 Wita, dua orang jurnalis Floresa dan dua jurnalis lainnya di Labuan Bajo mengunjungi Mawatu Resort, sebuah kawasan hunian mewah di pesisir utara kota pariwisata itu yang sedang dalam pengerjaan.
Kedatangan Floresa dan kedua jurnalis itu bertujuan untuk meminta konfirmasi manajemen Mawatu terkait penambangan pasir laut ilegal dan pembabatan mangrove untuk kepentingan reklamasi.
Sebelumnya, saat menulis artikel berjudul “Beroperasi Malam Hari Sebelum Akhirnya Dihentikan Aparat, Aktivitas Tambang Ilegal Pasir Laut untuk Proyek Hunian Mewah Mawatu Labuan Bajo,” Floresa berusaha meminta konfirmasi dari manajemen Mawatu dan manajemen Vasanta Grup atau PT Sirius Surya Sentosa Tbk, perusahaan properti yang menaungi resort itu.
Permintaan konfirmasi itu dilakukan pada 19 Februari, baik melalui surat elektronik maupun WhatsApp.
Namun, hingga hari kunjungan itu, baik manajemen Mawatu maupun Vasanta Grup tak kunjung merespons.
Sementara itu, Alfred, Koordinator Lapangan Proyek Pengambangan Mawatu Resort berjanji kepada salah satu jurnalis “akan melayani wawancara” pada 13 Maret.
Sehari sebelum kunjungan itu, Floresa juga menerbitkan laporan berjudul “Saat Bupati Edi Endi Klaim Reklamasi Tidak Haram, Kendati Mawatu Resort Ambil Pasir Laut secara Ilegal.”
Laporan tersebut memuat komentar para aktivis lingkungan dan peneliti isu sosial yang menyebut reklamasi merupakan bentuk perampasan ruang laut dan okupasi ruang publik.
Mereka juga menyebut reklamasi selalu melahirkan kerusakan di dua tempat, yakni di wilayah reklamasi itu sendiri dan di tempat pengambilan pasir laut.

Saat tiba di halaman depan kantor manajemen Mawatu, para jurnalis disambut oleh Tarsisius Baru, salah satu Satpam resort itu.
Tarsisius menanyakan tujuan kedatangan, yang dijawab oleh salah satu jurnalis “kami dari media dan hendak menemui Alfred.”
“Kemarin kami sudah janjian untuk wawancara dengan Alfred,” kata jurnalis itu.
Merespons jawaban itu, Tarsisius lalu mengajak dan mengantar para jurnalis untuk menunggu Alfred di halaman belakang kantor itu.
Sementara itu, Tarsisius masuk ke ruangan kerja Alfred untuk memberitahukan kedatangan para jurnalis.
Sambil menunggu konfirmasi Tarsisius, para jurnalis mulai memotret dari jauh kondisi di sekitar resort itu terutama bangunan dan material yang berada di tepi laut, hal yang memperkuat dugaan bahwa Mawatu memang mereklamasi pantai.
Beberapa menit kemudian, Tarsisius keluar dan berkata “beliau sedang menerima tamu, silakan tunggu sebentar.”
Lantaran tak kunjung keluar, dua orang jurnalis memutuskan untuk menunggu Alfred di halaman depan kantor itu.
Sementara itu, Tarsisius kembali menemui Alfred.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dan berkata kepada kedua jurnalis yang menunggu di halaman belakang “Alfred sedang sibuk. Silakan datang lagi lusa.”
Merespons jawaban itu, kedua jurnalis itu pun kembali ke halaman depan dan sejenak menunggu “barangkali Alfred keluar dari ruangannya.”
Para jurnalis sempat bertanya kepada Tarsisius “apakah kami bisa masuk ke lokasi proyek?”
Tarsisius menjawab “tidak bisa, yang masuk di situ hanya orang-orang yang berkepentingan dengan proyek.”
Ketika Alfred tak kunjung keluar, para jurnalis pun memutuskan untuk pulang.
Pada hari yang dijanjikan, Floresa menghubungi Alfred melalui WhatsApp, meminta konfirmasinya terkait waktu wawancara.
Namun, ia tak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.
Karena itu, dua orang jurnalis Floresa dan tiga orang jurnalis lainnya memutuskan untuk langsung mendatangi kantor manajemen Mawatu.
Sampai di pintu gerbang, seorang Satpam menanyakan tujuan kedatangan para jurnalis yang dijawab Floresa dengan berkata, “kami dari media dan hendak mewawancarai Alfred.”
“Dua hari yang lalu, Alfred berjanji akan melayani permintaan wawancara kami,” kata salah satu jurnalis Floresa.
Satpam itu berkata, “setahu saya beliau ada di Jakarta.”
Floresa lalu bertanya, “kapan dia berangkat?” yang dijawab Satpam itu “antara kemarin atau tadi pagi.”
Merespons hal itu, Floresa bertanya “bagaimana mungkin dia [Alfred] pergi setelah berjanji akan melayani wawancara?”
Satpam itu berkata, “saya tidak tahu pasti apakah ia betul ke Jakarta atau tidak.”
Kemudian Satpam itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menanyakan keberadaan Alfred kepada staf yang lain.
Tak kunjung mendapat konfirmasi dari Satpam itu, Floresa lalu bertanya, “apakah ada orang lain di sini yang bisa berbicara kepada media?”
Satpam itu menjawab “saya tidak tahu.”
Floresa dan para jurnalis memilih menunggu konfirmasi dari Satpam itu.
Lantaran tak kunjung ada konfirmasi, Floresa dan para jurnalis pun memutuskan pulang.
Satpam itu merupakan orang yang sama yang melarang Floresa mengambil gambar di lokasi proyek pada 14 Februari.
Pada hari yang sama, sekitar pukul 19.27 Wita, Floresa menghubungi Alfred melalui WhatsApp, menanyakan “apakah betul ia sedang di Jakarta?”
Namun, hingga saat ini, pesan yang dikirim ke ponselnya masih bercentang satu.
Bukan Reklamasi tapi Tanggul
Sementara permintaan konfirmasi Floresa diabaikan, Alfred memilih merilis klarifikasi ke beberapa media lain, termasuk Patrolipost.com.
Alfred yang berbicara mewakili PT Graha Properti Sentosa, pengembang Mawatu Resort membantah “tudingan privatisasi pantai” yang ditujukan ke pihaknya.
Ia mengklaim pihaknya tidak mereklamasi pantai, tetapi membangun tanggul untuk menahan laju abrasi di kawasan Pantai Orange Secret Beach Camping atas permintaan warga Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo.
“Itu adalah tanggul untuk menahan gelombang supaya daratan kita tidak terjadi abrasi dan bukan reklamasi, melainkan pengamanan pantai,” katanya pada 8 Maret.
Alfred mengklaim pembangunan tanggul tersebut merupakan tindak lanjut PT Graha terhadap surat permohonan pemerintah, baik Pemerintah Desa Batu Cermin maupun Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Merujuk laporan Patrolipost.com, permintaan itu dikirimkan Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi ke PT Graha pada 19 Juni 2024 melalui surat bernomor Pem.131/79/VI/2024.
Dalam surat itu, Edi meminta PT Graha agar “memberikan akses bagi masyarakat dalam menggunakan Pantai Orange Secret Beach Camping sebagai ruang publik atau tempat rekreasi.”
PT Graha tersebut juga diminta berkontribusi dalam pengamanan pantai dan pembuatan area rekreasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility, CSR.
Alfred mengklaim sejak awal, pembangunan kawasan Mawatu berkomitmen untuk menghadirkan ruang publik, baik bagi warga Desa Batu Cermin maupun warga Manggarai Barat.
Komitmen itu, klaimnya, tertuang dalam surat jawaban atas permintaan Edi bernomor 013/DIR-LGL/GPS/VII/2024 yang dikeluarkan pada 5 Juli 2024.
Surat yang ditujukan kepada Kepala Desa Batu Cermin, Marianus Yono Jehanu itu berkaitan “permohonan akses dan pemulihan keadaan pantai untuk dapat digunakan sebagai daya tarik wisata.”
Dalam surat itu disebutkan PT Graha memberikan akses kepada masyarakat melalui proyek Mawatu, baik “selama pembersihan, pemulihan dan perbaikan pantai” maupun “setelah pantai tersebut berfungsi dengan baik.”
Poin lain yang disebutkan dalam surat itu adalah PT Graha berkomitmen dalam CSR dengan cara “terlibat dalam program pembersihan, pemulihan dan perbaikan pantai untuk kepentingan masyarakat umum,” baik dalam bentuk dukungan pemikiran, gagasan teknis, dan juga bantuan finansial.

Klaim tersebut “dibenarkan” oleh Yono yang menyebut “keberadaan tanggul tersebut bukan merupakan upaya reklamasi pantai untuk kepentingan privatisasi,” melainkan untuk “mencegah masifnya proses abrasi Pantai Orange Secret Beach Camping,” yang terletak persis di dekat pembangunan kawasan Mawatu.
“Setahu saya, tidak ada reklamasi di bawah itu [Mawatu Resort]. Bisa disaksikan sendiri. Tanggul itu sebagai penahan agar tidak berlanjut abrasi pantainya,” katanya pada 8 Maret.
“Pembangunannya [tanggul] itu juga berawal dari kekhawatiran warga. Karena kalau lihat kondisinya, pantainya itu sudah hilang karena selama ini tidak ada penahan ombak. Karena biasanya kalau musim barat gelombangnya tinggi dan arusnya itu bisa sampai ke situ,” tambahnya.
Yono mengklaim pembangunan tanggul tersebut menindaklanjuti surat permohonan Pemerintah Desa Batu Cermin dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang memuat keresahan warga akan hilangnya kawasan pantai karena abrasi yang terus terjadi.
Selain itu, kata dia, Pemerintah Desa Batu Cermin “berinisiatif menjadikan pantai ini sebagai objek wisata dan tempat rekreasi bagi masyarakat.”
Yono mengklaim, warga memang sempat memiliki kekhawatiran bahwa pembangunan Mawatu akan berdampak pada tertutupnya akses menuju kawasan Pantai Orange Secret Beach Camping.
Kekhawatiran itu, kata dia, berkaca pada kasus ditutupnya akses menuju Pantai Kelumpang yang berada di dekat Pantai Orange Secret Beach Camping.
“Di situ awalnya memang ada pantai, tapi karena kondisi alam, jadi seperti sekarang ini. Lalu, karena masuk pengembang ini, diperkirakan oleh masyarakat nanti tidak bisa masuk atau diakses,” katanya.
“Makanya ada permintaan dari masyarakat itu supaya pantainya bisa diakses oleh masyarakat atau umum, jangan sampai terjadi seperti yang kayak di Kelumpang itu, mereka pagar akses ke pantai,” tambahnya.
Yono mengklaim Mawatu berkomitmen akan tetap menyediakan akses masuk menuju pantai tersebut dan membuat tanggul penahan ombak.
Selain itu, klaimnya, Mawatu ikut membantu menata kawasan pantai publik itu dengan menghadirkan sejumlah fasilitas pendukung, termasuk menyediakan 200 stan yang dapat disewakan pelaku UMKM dengan harga yang terjangkau.
Permohonan dukungan Mawatu, kata dia, disampaikan Pemerintah Batu Cermin dengan mengirimkan surat kepada Camat Komodo, Marianto Martinus Irwandi.
“Oleh Camat Komodo, permohonan ini selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat,” katanya.

Merujuk laporan Patrolipost.com, Edistasius Endi mengklaim Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat “sangat mendukung hadirnya investasi di Labuan Bajo yang tentu akan berdampak positif bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.”
Edi juga mengklaim “keberadaan tanggul tersebut bukan untuk kepentingan privatisasi, melainkan upaya memastikan keberadaan pantai publik di sekitar lokasi pembangunan Mawatu Resort tetap terjaga,” bebas diakses serta dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum untuk sebuah kemajuan, salah satunya adalah menjadi objek wisata baru.
Mawatu Resort merupakan salah satu di antara beberapa proyek properti milik Vasanta Grup yang berlokasi di Ketentang, Desa Batu Cermin. Perusahaan yang berdiri pada 2015 ini berkantor pusat di Kota Tangerang, Provinsi Banten.
Dari informasi di web resminya, Mawatu Labuan Bajo menyebut diri sebagai kawasan resort dan komersil terpadu. Peletakan batu pertama proyek Mawatu dilakukan pada 30 April 2021, dengan total investasi Rp1,3 triliun, menurut Bisnis.com.
Di lahan seluas 12 hektar, perusahaan tersebut membangun hotel, pusat bisnis dan kawasan hunian yang dijual antara Rp1,8 miliar hingga Rp5 miliar per unit.
Mawatu merupakan salah satu dari sejumlah kawasan mewah di sepanjang garis pantai Labuan Bajo yang menguasai secara eksklusif wilayah sempadan pantai.

Selain sejumlah hotel yang sudah berdiri lama, beberapa hotel mewah lainnya juga sedang dibangun di pesisir kota pariwisata super premium itu.
Sementara infrastruktur terus menjamur, ketiadaan pantai publik yang masih bisa diakses bebas oleh warga lokal menjadi soal serius di Labuan Bajo.
Setidaknya 11 bangunan hotel dan resort dari Pantai Wae Cicu hingga Pantai Pede dinyatakan melanggar ketentuan terkait garis sempadan pantai dan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah [RTRW], merujuk pada SK Bupati Manggarai Barat Nomor: 285/KEP/HK/2019.
SK itu mengatur tentang denda administratif bagi hotel dan resort yang melanggar.
Kesebelas hotel itu adalah Ayana Komodo Resort, La Prima Hotel, Sylvia Resort Komodo, Plataran Komodo Wae Cicu, Bintang Flores, Sudamala Resort, Waecicu Beach Inn, Jayakarta Suites, Puri Sari Beach, Atlantis Beach Club dan Luwansa Beach Resort.
Editor: Ryan Dagur