Amnesty International Sebut Vonis Penjara Masyarakat Adat di Flores karena Rusak Plang Perusahaan Milik Gereja Katolik ‘Cederai Rasa Keadilan’

Amnesty juga menyebut kasus ini merupakan kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang memperjuangkan haknya

Floresa.co – Lembaga advokasi hak asasi manusia Amnesty Internasional menyebut vonis penjara terhadap masyarakat adat di Kabupaten Sikka, Flores dalam kasus dengan perusahaan milik Gereja Katolik adalah bentuk pelanggaran HAM dan mencederai rasa keadilan.

“Menghukum penjara masyarakat adat karena mempertahankan tanah mereka dari penggusuran paksa oleh pihak perusahaan adalah jelas suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sedang dipertontonkan secara gamblang oleh negara di Sikka,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Terlebih, dua dari delapan anggota masyarakat adat tersebut adalah ibu yang harus terpisah dari anak-anaknya karena proses kriminalisasi yang mereka alami,” tambahnya.

Dalam putusan yang dibacakan pada 17 Maret, Pengadilan Negeri Maumere memvonis 10 bulan penjara delapan warga adat dari Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut – Tana Ai.

Mereka dijerat Pasal 170 KUHP terkait tindak pidana pengeroyokan berupa kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang. 

Pemidanaan itu terkait peristiwa perusakan plang PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere pada 29 Juli 2024 di lahan konflik di Nangahale. 

Aksi itu divideokan oleh Pastor Robertus Yan Faroka, direktur pelaksana perusahaan itu, yang kemudian menjadikannya sebagai barang bukti ke polisi.

Sementara itu masyarakat adat mengklaim aksi mereka merupakan respons atas perusakan tanaman oleh PT Krisrama yang terjadi pada hari yang sama.

Usman menyatakan, “putusan ini sangat mencederai rasa keadilan, karena masyarakat adat Sikka juga sebelumnya terpaksa harus menjadi korban penggusuran paksa setelah pihak perusahaan dilaporkan membongkar rumah dan tanaman produktif mereka pada tanggal 22 Januari 2025.”

“Pemerintah tidak hanya gagal melindungi masyarakat adat namun juga secara aktif terlibat dalam praktik-praktik penggusuran seperti ini baik secara langsung maupun tidak langsung,” katanya.

Putusan hakim mengorbankan masyarakat yang tidak berdaya kendati mereka sedang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.

Selain mengangkangi hak asasi, kata dia, memenjarakan masyarakat adat karena mempertahankan tanah mereka dari penggusuran paksa oleh pihak perusahaan adalah bentuk kriminalisasi yang harus dihentikan.

Kedelapan warga tersebut ditahan sejak 25 Oktober 2024, hal yang membuat mereka berjarak dari keluarga. 

Usman menyarankan penyelesaian konflik harus mengedepankan dialog damai, di mana pihak perusahaan membuka ruang negosiasi yang adil dengan masyarakat adat guna mencari solusi, tanpa menggunakan cara-cara represif. 

“Negara juga wajib hadir sebagai fasilitator pendekatan kemanusiaan. Pemerintah pusat maupun daerah [Provinsi NTT] seharusnya memastikan bahwa kepentingan masyarakat adat tidak dikorbankan demi kepentingan korporasi,” kata Usman.

Selain langkah konkrit itu, Usman juga mendorong agar Pengadilan Negeri Maumere maupun Mahkamah Agung membatalkan putusan itu.

“Segera membebaskan delapan warga adat Sikka tersebut serta menjamin hak-hak mereka atas tanah, wilayah, budaya dan sumber daya alam,” kata Usman.

“Masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi serangan maupun kriminalisasi,” katanya.

Selain insiden di Sikka, lembaga itu mencatat, dari Januari 2019 hingga Desember 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 110 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik.

Floresa menghubungi Romo Yan Faroka, direktur operasional PT Krisrama pada 17 Maret, meminta tanggapannya mengenai putusan Pengadilan Maumere tersebut. 

Namun, pesan via Whatsapp tidak dibalas meski tercentang biru, tanda sudah terbaca.

Warga Nangahale berjaga-jaga di lahan pada 18 Maret 2025, sementara polisi mulai berdatangan menjaga aktivitas PT Krisrama yang mengerahkan umat ke lokasi itu. (Dokumentasi Floresa)

Sementara itu, pada hari ini, 18 Maret, PT Krisrama kembali mendatangi lahan di HGU Nangahale, dengan mengerahkan umat dari sejumlah paroki.

Pengerahan umat itu diumumkan dalam Misa di gereja-gereja di paroki se-keuskupan pada 16 Maret.

Dalam pengumuman itu, umat diminta membawa peralatan kerja, seperti linggis dan parang, dan membawa pohon gamal untuk ditanam sebagai pagar di lokasi.

Pantauan Floresa, warga Nangahale berusaha menjaga di beberapa titik, dengan sejumlah aparat kepolisian juga bersiaga di lokasi.

Konflik antara warga adat dengan PT Krisrama terkait lahan 868.730 hektare yang menurut mereka diambil secara paksa pada zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan, lahan tersebut beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013.

Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.

Setelah izin pengelolaan perusahaan keuskupan berakhir, masyarakat adat  berupaya untuk mengklaimnya kembali.

Namun, pada 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin Hak Guna Usaha atas tanah itu.

Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.

Namun, sengketa terus berlanjut karena menurut John Bala, kuasa hukum warga, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga adat sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.

Sementara lahan seluas 543 hektare, katanya, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.” 

“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini,” katanya.

Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA