Kegetiran Perempuan di Sikka yang Terancam Dipenjara oleh Korporasi Milik Gereja Katolik

Salah satu anaknya masih berusia empat tahun, menemaninya menghadapi proses hukum berbulan-bulan

Floresa.co – Beberapa bulan terakhir Maria Magdalena Leny menghadapi proses hukum setelah dilaporkan oleh pimpinan korporasi milik Keuskupan Maumere.

Hari ini, 13 Maret 2025, ia bersama tujuh warga lainnya akan hadir lagi di Pengadilan Negeri Maumere untuk mendengarkan tanggapan jaksa atas pledoi mereka dalam kasus perusakan plang milik PT Kristus Raja Maumere [PT Krisrama] itu.

Pada sidang 10 Maret, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan hukuman tujuh bulan penjara bagi Leny bersama tujuh warga lainnya. Pembacaan vonis masih akan digelar pada 18 Maret.

Sejak menjalani proses hukum itu, katanya kepada Floresa, “saya belum bisa menenun dan urus kebun.”

“Kebutuhan sehari-hari untuk anak, untuk uang sekolah mereka, masih mengandalkan suami,” katanya.

Leny kini hidup bersama tiga anaknya-masing-masing berusia 4, 8 dan 14 tahun-, sementara suaminya merantau ke Kalimantan.

Dilapor oleh Imam Katolik

Kasus yang kini menjerat delapan warga itu terkait peristiwa pada 29 Juli 2024.

Saat itu, kata Leny, Romo Robertus Yan Faroka, direktur operasional PT Krisrama bersama timnya merusak tanaman mereka di Nangahale, lahan yang berada di bawah penguasaan korporasi itu yang mendapat Hak Guna Usaha untuk perkebunan kelapa.

Leny dan warga lainnya dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai selama ini bertahan di sana karena meyakininya sebagai milik mereka, hal yang menandai konflik agraria menahun antara mereka dengan Gereja Katolik.

Selain perusakan tanaman, pada hari itu, kata dia, muncul kabar bahwa ada pemasangan plang di delapan titik oleh perusahaan.

“Kami semua spontan marah. Mereka rusak sumber hidup kami, lalu tiba-tiba pasang plang,” katanya.

Karena itulah, “saya ikut cabut plang itu” bersama warga lainnya.

Setelah peristiwa itu, Leny dan rekan-rekannya kembali ke rumah masing-masing.

Rupanya aksi mereka berujung pada pelaporan ke polisi, setelah pada 18 Agustus 2024 muncul surat panggilan dari Polres Sikka.

Rangkaian pemeriksaan setelahnya berujung pada penetapan tersangka dan penahanan pada 25 Oktober 2024.

Selain Leny, ketujuh warga lainya adalah Nikolaus Susar, Bernadus Baduk, Thomas Tobi, Germanus Gedo, Yohanes Woga, Yosep Joni dan Magdalena Marta.

Dalam salah satu wawancara dengan Floresa, Romo Yan Faroka mengakui bahwa dia merekam peristiwa perusakan plang oleh warga, yang kemudian jadi alat bukti pelaporan ke polisi.

Pastor yang juga direktur PT Langit Laut Biru itu mengklaim tidak berniat memenjarakan warga yang adalah umatnya, tetapi dengan persidangan ini, akan terungkap tokoh intelektual di balik persoalan ini.

“Target saya adalah otak intelektual,” katanya, kendati tidak merinci siapa yang dimaksud.

Jauh dari Rumah dan Anak-Anak

Kasus ini membuat Leny dan warga lainnya  berjarak dari keluarga.

Ia berkata, saat penahanan pada 25 Oktober, ia memutuskan membawa anaknya bungsunya ke dalam tahanan.

“Dia menangis sebelum kami tidur. Saya berusaha menenangkannya. Dia belum mengerti situasi yang terjadi,” kata Leny.

Sehari kemudian, polisi menawarkannya untuk menitipkan anak itu kepada pihak keluarga terdekat agar tidak mengganggu kesehatan dan mentalnya. Namun, ia menolak karena anak itu masih menyusui.

Polisi kata dia, lalu “membawa anak saya ke lapangan, bermain bersama anak-anak polisi yang lain.”

Sementara dari balik kaca jendela tahanan, ia menatap anaknya yang ikut dibelikan beberapa mainan oleh polisi.

Seorang anggota polisi kemudian membawa ponsel kepada Leny, menunjukkan video anaknya yang sedang bermain di lapangan Polres Sikka.

Saat melihat anaknya tertawa dalam video itu, perasaannya campur aduk. Ia yakin bahwa itu hanya sementara.

“Saya lihat dari dalam ruang tahanan, dia kemudian menangis. Saya melihat dia mencari saya.”

Penyidik kemudian beberapa kali menghubungi pihak penasehat hukum, untuk segera menghadirkan pihak keluarga dan menjemput anak Leny.

Jika penasehat hukum tidak bisa menghubungi keluarga, kata Leny, polisi yang mengantar anaknya ke rumah keluarga.

Pada sore hari tanggal 26 Oktober itu, keluarga dan penasehat hukumnya, Antonius Yohanis ‘John’ Bala dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], berangkat ke Polres Sikka.

Di sana, mereka menemui Leny. Perwakilan dari Dinas Sosial juga hadir, yang menjelaskan bahwa kondisi di dalam tahanan tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik anak.

Karena anaknya masih menangis, polisi menyiasati dengan meminta pihak keluarga dan penasehat hukum memberikan ponsel kepada anak Leny untuk bermain. Saat dia asyik bermain, Leny kemudian dibawa diam-diam kembali ke ruang tahanan.

Dari balik kaca, ia melihat anaknya digendong oleh pamannya, Yohanes Jawa. Namun, anaknya terus merontah.

“Saya lihat dia berusaha cari saya. Dia sampai berusaha untuk panjat jendela. Saya tetap berusaha untuk tidak menangis. Sesak sekali dada saya,” katanya.

Melihat situasi itu, pihak keluarga dan penasehat hukum memilih tidak membawa anak Leny.

Beberapa saat kemudian, pihak kepolisian mendatangi rumah penasehat hukum Jhon Bala, mengklaim bahwa anak Leny bersedia untuk mengikuti pihak keluarga, lalu meminta mereka ke kantor polisi.

“Sekitar jam enam sore, anak saya dibawa. Mereka bilang anak saya akan dijaga oleh para suster di TRUK-F,” kata Leny merujuk pada Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores, lembaga advokasi Gereja Katolik yang juga memiliki rumah singgah untuk perempuan dan anak korban kekerasan.

Setelah anaknya dibawa, salah satu anggota polisi kembali datang, membawa ponsel kepada Leny. Ia menunjukkan video anaknya sedang bermain di TRUK-F bersama para suster. 

“Saya gelisah. Saya cemas jika dia mulai ingat saya. Dia pasti menangis lagi,” lanjut Leny.

Kekhawatirannya rupanya terbukti. Pada pukul 21.00 Wita, para suster mengantar anaknya karena terus menangis.

Di hari itu juga, pihak keluarga dan penasehat hukum melakukan negosiasi agar Leny mendapat kemudahan untuk menjadi tahanan kota. Polisi mengabulkannya.

Sebelum masa persidangan, Leny wajib lapor dua kali dalam seminggu di Polres Sikka.  Sementara sejak persidangan yang dimulai pada 15 Januari, ia wajib melapor setiap hari Senin di kantor kejaksaan.

Delapan warga Nangahale Yang menjadi tersangka, bersama Penasehat Hukum dan Saksi Ahli pada 27 Februari 2025. (Dokumentasi Floresa)

Ada Aksi, Ada Reaksi

Semula kedelapan warga dijerat Pasal 170 ayat [1] dan Pasal 406 ayat [1] juncto Pasal 55 ayat [1] KUHP yang mengatur soal perusakan barang milik orang lain secara bersama-sama.

Pasal pertama mengatur ancaman hukuman maksimal 5 tahun 6 bulan penjara, sementara kedua mengatur pidana maksimal 2 tahun 8 bulan dan denda Rp4,5 juta.

Namun, JPU menuntut hukuman yang lebih ringan.

John Bala berkata, kasus ini harus dilihat secara objektif bawa tindakan warga merupakan respon untuk melindungi hak dan milik mereka.

“Harus dilihat secara kronologis, apa yang melatarbelakangi tindakan warga,” katanya kepada Floresa.

John menjelaskan, sebelum peristiwa pada 29 Juli 2024, juga terjadi perusakan tanaman warga oleh PT Krisrama. Salah satunya adalah pada 18 Desember 2023. Pengrusakan 18  Desember 2023 ini sempat dilapor ke polisi, namun dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana. 

Laporan atas pengrusakan 29 Juli 2024 juga sudah dilaporkan sejak Agustus 2024, namun laporan itu belum masuk ke meja pengadilan. 

Sementara itu, dalam persidangan pada 27 Februari, Widodo Dwi Putro, saksi ahli hukum agraria juga menyebut tindakan pengrusakan tanaman warga oleh korporasi tidak bisa hanya mengandalkan SK Hak Guna Usaha.

Asas kepemilikan dalam sistem hukum perdata Indonesia menganut prinsip pemisahan horizontal yang artinya, kepemilikan tanah tidak serta merta juga memiliki benda yang berada di atasnya.

Prinsip pemisahan horizontal ini, kata dia,  juga diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria  Tahun 1960, yang mengatur bahwa hak atas tanah dan hak atas bangunan di atasnya bisa dimiliki oleh pihak yang berbeda, sesuai dengan asas nasionalisme tanah, yang membatasi kepemilikan tanah hanya untuk warga negara Indonesia.

Jadi, kata dia, kalau ada sengketa, tidak boleh ada perusakan properti di atasnya, seperti yang dilakukan oleh PT Krisrama terhadap tanaman warga.

Penggusuran terhadap benda karena konflik kepemilikan, kata dia, harus terlebih dahulu diselesaikan perkaranya di persidangan.

“Termasuk perbuatan pidana apabila menghancurkan rumah, walaupun pihak pemilih adalah pemegang sertifikat. Mengapa? Karena Indonesia menganut asas pemisahan horizontal,” katanya.

Konflik Berkepanjangan

Konflik antara warga adat dengan PT Krisrama terkait lahan 868.730 hektare lahan yang diambil dari warga adat selama penjajahan Belanda di Indonesia.

Setelah kemerdekaan, lahan tersebut beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013

Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada tahun 2005.

Setelah izin pengelolaan perusahaan keuskupan tersebut berakhir, masyarakat adat yang tinggal di dan mengelola lahan tersebut berupaya untuk mengklaimnya.

Namun, pada tahun 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin atas.

Dari total luas lahan 868,703 hektare, 543 hektare dikembalikan kepada negara dan 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama.

Namun, sengketa terus berlanjut, dengan konflik terbesar pecah pada 22 Januari saat PT Krisrama menggusur rumah dan lahan warga.

Menurut John Bala, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.

Sementara lahan seluas 543 hektare, yang dalam bahasa Romo Epy Rimo, Direktur PT Krisrama, disebut dikembalikan ke negara, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.” 

“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini.”

Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.

Menanti ujung dari proses hukum ini, Leny berkata, “saya ingin ini semua cepat selesai.”

“Saya siap terima apapun hasilnya. Saya masih punya banyak tanggung jawab,” katanya.

Selama menjadi tahanan kota, ia sempat tinggal di rumah Jhon Bala, tetapi kemudian pindah ke rumah keluarganya.

Hanya anak bungsunya yang sering bersamanya. Ia jarang bertemu dengan kedua anaknya lain yang berada dengan paman mereka.

“Saya tidak ingin mereka terbebani dengan situasi yang saya hadapi saat ini,” katanya.

Suaminya sempat berkunjung saat Natal tahun lalu, namun kembali ke perantauan di Kalimantan untuk mencari nafkah.

Dominikus Jaga merupakan Kontributor Floresa di Sikka

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA