Paus Fransiskus: Merangkul Mereka yang Terpinggirkan, Membongkar ‘Dosa’ dalam Institusi Gereja Katolik

Ia menekankan bahwa Gereja adalah Umat Allah dan semua orang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama

Floresa.co – Paus Fransiskus meninggal pada 21 April dengan jejak yang revolusioner dalam perajalanan sejarah Gereja Katolik.

Selama masa kepemimpinannya, ia telah berusaha keras menerapkan semangat yang pernah dikumandangkan Gereja dalam Konsili Vatikan Kedua (1962-65).

Ia menolak Gereja yang hierarkis dan klerikalis. Sebaliknya, ia selalu menekankan Gereja sebagai “Umat Allah.”

Lewat sejumlah teladan konkret dan pernyataannya, ia berusaha mengingatkan bahwa semua orang yang dibabtis menjadi Katolik memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam Gereja.

Ia misalnya mengatakan bahwa ia tidak menginginkan uskup yang bertindak seperti “pangeran” dan tidak ingin uskup memimpin umat sebagai gembala yang otoriter.

Paus itu bahkan mengejek pejabat Gereja yang bertindak seperti “patroli perbatasan religius” dan mempersulit para ibu tunggal atau umat Katolik yang “dikucilkan” bersatu kembali dengan Gereja.

Floresa merangkum beberapa warisan penting Paus Fransiskus yang titipkan bagi Gereja Katolik, institusi keagamaan yang hingga kini memiliki sekitar 1,4 miliar umat di seluruh dunia.

Dari jumlah itu, sekitar 8,3 juta berada di Indonesia, negara yang ia kunjungi pada September tahun lalu.

Sejumlah pernyataan dan sikapnya memang kadang memicu kontroversi karena keluar dari pakem, ‘mengganggu’ kenyamanan. Hal itu membuat penolakan dan kritik juga muncul dari dalam Gereja sendiri, termasuk para kardinal yang adalah orang-orang dekatnya.

Namun, hal itu kemudian mengubah cara bagaimana Gereja bersikap dan memikirkan kembali cara pandang yang sudah terlampau lama dianggap sebagai benar dan tak dapat diganggu gugat.

Ateis pun Dapat Masuk Surga

Pada Mei 2013, Paus Fransiskus mengejutkan semua orang ketika ia berkata bahwa kaum ateis pun dapat masuk surga jika mereka hidup baik dan terhormat.

Dalam sebuah homili, ia dilaporkan berkata: “Tuhan telah menebus kita semua, dengan Darah Kristus, kita semua, bukan hanya umat Katolik. Semua orang!”

Ketika ditanya, bagaimana dengan para ateis?, ia menjawab: “Bahkan para ateis. Semua orang!”

Siapa Saya yang Berhak Menghakimi?

Pada Juli 2013, selama konferensi pers dalam penerbangan kembali dari kunjungan ke Brasil, Paus Fransiskus dengan terkenal berkata, “Jika seseorang gay dan ia mencari Tuhan dan memiliki niat baik, siapakah saya sehingga berhak menghakimi?”

Dalam sebuah pernyataan, ia juga berkata, “Sangat menyedihkan bahwa orang-orang homoseksual telah dan sedang menjadi objek kebencian yang kejam dalam ucapan atau tindakan. Perlakuan seperti itu pantas dikutuk oleh para klerus dalam Gereja, di mana pun itu terjadi.”

Pada Desember 2023, paus memicu perdebatan global ketika ia menyetujui pemberkatan bagi pasangan sesama jenis.

Vatikan kemudian mengklarifikasi bahwa para imam Katolik dapat memberikan pemberkatan kepada pasangan sesama jenis selama mereka tidak menjadi bagian dari ritual atau liturgi Gereja biasanya.

Menyambut Transgender

Pada Januari 2015, Paus Fransiskus diam-diam menyambut dan bertemu dengan warga negara Spanyol berusia 48 tahun, Diego Neria Lejarraga, di Vatikan.

Terlahir sebagai seorang wanita, Lejarraga kemudian menjalani operasi untuk menjadi seorang pria transgender.

Seorang imam di Spanyol pernah menyebut Lejarraga sebagai “putri iblis” dan Paus Fransiskus tampaknya berusaha menghibur Lejarraga dengan menemuinya.

Selama pertemuan tersebut, Lejarraga bertanya kepada paus apakah ada tempat baginya di dalam Gereja dan Fransiskus dilaporkan menanggapinya dengan memeluknya.

Pengampunan atas Aborsi

Pada September 2015, Fransiskus membuka “jendela belas kasihan” sementara yang khusus demi memudahkan para perempuan yang telah melakukan aborsi mengaku dosa dan kembali ke Gereja.

Seperti banyak tindakannya, hal itu merupakan aksi simbolis karena aborsi dianggap sebagai “dosa berat” di dalam Gereja.

Fransiskus tidak mengubah ajaran Gereja tentang aborsi, tetapi gerakan itu menandai sebuah hal baru, tentang tekadnya merangkul mereka yang merasa ‘asing’ di dalam Gereja.

Menyambut Mereka yang Bercerai dan Menikah Lagi

Pada Oktober 2015, Paus Fransiskus mengadakan Sinode Para Uskup untuk membahas pernikahan dan kehidupan keluarga.

Setelah sinode tersebut, ia menyederhanakan prosedur pembatalan pernikahan yang sebelumnya panjang dan ketat.

Ia mengizinkan para uskup, bukan pengadilan Gereja, untuk membatalkan pernikahan, sebuah kewenangan yang juga dapat mereka berikan kepada para imam.

Ia juga meminta para imam untuk tetap membuka pintu bagi umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi.

Belas Kasih bagi Para Pengungsi

Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio dari pasangan imigran Italia di Argentina pada tanggal 17 Desember 1936.

Ayahnya, Mario, adalah seorang akuntan di perusahaan kereta api dan ibunya, Regina Sivori, adalah seorang ibu rumah tangga yang membesarkan kelima anak mereka. Fransiskus adalah anak tertua.

Menurut saudara perempuannya dan sekarang satu-satunya saudara kandungnya yang masih hidup — María Elena Bergoglio — orang tua mereka bukanlah migran karena masalah ekonomi, tetapi melarikan diri dari pemerintahan fasis Benito Mussolini di Italia.

Pengungsi dan migran selalu dekat di hatinya, mungkin karena Fransiskus sendiri adalah anak migran dan tahu secara langsung rasa sakit dan penderitaan yang mereka hadapi di negara asal mereka.

Sebagai paus, ia menyambut para pengungsi di Vatikan dan melakukan berbagai perjalanan untuk bertemu dan menghibur mereka.

Salah satunya adalah pada 2017 ketika ia bertemu dengan para pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar dan menetap di negara tetangga Banglades.

Dalam audiensi umum pada 28 Agustus 2024, Paus Fransiskus juga mendesak dunia untuk menunjukkan belas kasihan kepada para pengungsi dan migran, menyambut dan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat.

Ia menyerukan jalur yang aman bagi para migran, mengakhiri ketidakpedulian dan diskriminasi.

Ia menyerukan “pandangan yang diperbarui dan diperdalam, yang mampu merangkul wajah dan kisah mereka yang melintasi perbatasan untuk mencari harapan.”

Ia mengecam ketidakpedulian global terhadap para migran dan pengungsi, menyebutnya sebagai “sebuah skandal.”

Reformasi Kuria dan Pemberdayaan Perempuan

Dari desentralisasi kekuasaan dan peningkatan transparansi hingga pemberian peran yang lebih besar bagi kaum awam dan perempuan, Fransiskus melaksanakan reformasi mendasar Kuria Roma, pemerintah pusat Takhta Suci.

Reformasi tersebut dikonsolidasikan dalam konstitusi tahun 2022 yang mengatur ulang dikasteri atau kementerian Vatikan.

Ia mengangkat perempuan dalam jabatan-jabatan penting di Vatikan, termasuk sebagai anggota penuh berbagai departemen.

Ia menekankan peran perempuan dalam pembangunan dan perdamaian di dunia dengan memuji “hati yang lembut” dan “kemampuan mereka untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi.”

Fransiskus juga secara khusus membidik keuangan Vatikan yang suram dan tercemar skandal, dengan membentuk sekretariat khusus untuk ekonomi pada tahun 2014, memberantas korupsi, dan meningkatkan pengawasan terhadap investasi dan Bank Vatikan, yang menyebabkan penutupan 5.000 rekening.

Fransiskus juga mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengangkat martabat perempuan di dalam Gereja.

Ia juga merevolusi Sinode, badan diskusi Katolik, dengan melibatkan anggota awam, termasuk perempuan.

Pada 2023, Paus Fransiskus menyelenggarakan Sinode tentang Sinodalitas.  Upaya global selama dua tahun itu dianggap sebagai puncak kepausannya dan peristiwa terpenting sejak Konsili Vatikan Kedua.

Sinode tentang Sinodalitas adalah “visi agung Fransiskus untuk milenium Gereja,” kata mendiang teolog India, Felix Wilfred.

Sinodalitas yang dipromosikan oleh Fransiskus membayangkan “transisi teologis Gereja” dari yang sangat hierarkis menjadi sinode semua umat Katolik, yang membutuhkan “perubahan struktural,” tambah Felix.

Perjuangan Melawan Pelecehan Seksual

Menangani momok pelecehan seksual oleh para klerus di seluruh dunia dan upaya menutup-nutupinya merupakan salah satu tantangan terbesar bagi Paus Fransiskus saat ia menjabat pada tahun 2013.

Kunjungan ke Chili pada tahun 2018 terbukti menjadi titik balik. Fransiskus awalnya membela seorang uskup Chili yang dituduh menutupi kejahatan seorang imam tua, menuntut para penuduh untuk menunjukkan bukti kesalahannya.

Ia kemudian mengakui telah membuat “kesalahan besar” dalam kasus tersebut – hal yang pertama dilakukan seorang paus.

Ia memanggil semua uskup Chili ke Vatikan, setelah itu mereka semua mengajukan pengunduran diri.

Pada tahun itu, ia juga mencabut gelar kardinal dari Theodore McCarrick di Amerika Serkat dan pada 2019, mencabut statusnya sebagai klerus.

Juga pada tahun 2019, ia mengadakan pertemuan puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendengarkan kisah para korban, di mana ia menjanjikan “perjuangan habis-habisan” melawan pelecehan seksual oleh klerus.

Perubahan konkret pun terjadi, mulai dari membuka arsip Vatikan hingga mewajibkan pelaporan dugaan pelecehan seksual dan segala upaya untuk menutupinya oleh otoritas Gereja.

Menjaga Bumi sebagai Rumah Bersama

Paus Fransiskus juga merupakan seorang juru kampanye vokal untuk lingkungan hidup.

Dalam ensikliknya yang inovatif pada tahun 2015 Laudato Si, ia mendesak dunia bertindak cepat dalam mengatasi perubahan iklim, mengatakan bahwa negara-negara kaya memikul tanggung jawab terbesar.

Ensiklik itu berfokus pada tanggung jawab terhadap lingkungan, menyampaikan pesan yang kuat tentang kebutuhan mendesak untuk merawat rumah kita bersama, bumi.

Berakar pada ajaran sosial Katolik, ensiklik itu menyerukan pertobatan ekologis, mendesak individu, pemerintah, dan bisnis untuk bertanggung jawab atas lingkungan dan menghadapi dampak buruk perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Paus Fransiskus menekankan bahwa kerusakan lingkungan secara tidak proporsional memengaruhi orang miskin dan terpinggirkan, menjadikan keadilan ekologis sebagai keharusan moral.

Ia mengkritik konsumerisme, ketergantungan berlebihan pada bahan bakar fosil, dan sistem ekonomi yang mengutamakan keuntungan daripada manusia dan planet.

Sebaliknya, ia menganjurkan pembangunan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab, dan rasa solidaritas global yang diperbarui untuk melindungi ciptaan bagi generasi mendatang.

Artikel ini diolah dari laporan UCA News dan AFP

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA