Warga Pendukung Geotermal Poco Leok Gelar Unjuk Rasa; Dukung Langkah Nabit dan Persoalkan Sikap Gereja Katolik

Aksi dipimpin oleh Raymundus Wajong yang ikut serta dalam studi banding ke PLTP di Sulawesi Utara bulan lalu bersama bupati dan pimpinan lembaga penegakan hukum

Floresa.co – Untuk pertama kalinya, warga yang mengklaim mendukung  proyek geotermal di Poco Leok menggelar unjuk rasa menyusul sikap Gereja Katolik yang secara tegas menolak berbagai proyek di seluruh Flores.

Aksi ini juga berlangsung usai Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena menyatakan membentuk tim investigasi yang akan mengecek dan meminta penghentian sementara pengerjaan di semua lokasi proyek.

Unjuk rasa pada 22 April itu berlangsung di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

Massa, yang mengenakan pakaian adat Manggarai dengan pita berwarna kuning pada lengan, mendatangi kantor DPRD dan kantor bupati.

Pantauan Floresa, sejak pukul 11.00 Wita, mereka berkumpul di depan Kantor DPRD, sambil memegang sejumlah spanduk.

Beberapa di antaranya bertuliskan: “Kami Masyarakat Adat Poco Leok Mendukung Penuh Program Geothermal,” “Panas Bumi Pemberi Harapan Hidup dan Kesejahteraan” dan “Tolong Pemimpin Gereja Jangan Berat Sebelah.”

Sementara beberapa warga beraudiensi dengan anggota DPRD, warga lainnya menanti di depan kantor sambil sesekali berorasi.

Pada pukul 13.15, di bawah pengawalan polisi, mereka bergerak menuju kantor bupati menggunakan tiga unit bus kayu, satu dump truck dan dua mobil sedan.

Sementara beberapa warga menemui bupati dan membawa seekor ayam kampung, warga lainnya duduk di depan kantor dan mulai membagikan makan siang.

Kritik Sikap Gereja Katolik

Raymundus Wajong, penanggung jawab aksi berkata kepada Floresa di depan kantor bupati bahwa mereka hendak mendukung langkah Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit meloloskan proyek itu.

Ia mengklaim peserta aksi berasal dari empat belas kampung adat atau gendang dan sembilan desa di wilayah Poco Leok. Peserta lainnya adalah pemilik lahan yang menjadi lokasi proyek geotermal.

“Selama ini kami tidak (melakukan) aksi karena yakin dan percaya kepada pemerintah,” katanya.

Raymundus mengklaim proyek geotermal Poco Leok tidak menemui masalah sejak sosialisasi pertama kali pada 2017.

Namun, jelasnya, mulai ada hambatan setelah “warga diprovokasi” oleh lembaga Gereja Katolik dan sejumlah lembaga advokasi.

Ia tidak menyebut nama lembaga-lembaga itu, namun “yang terang-terangan Pater Simon.”

Ia merujuk pada Pastor Simon Suban Tukan, SVD, ketua lembaga Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Serikat Sabda Allah atau SVD Ruteng.

Ditanyai terkait sikap enam uskup dari Nusa Tenggara dan Bali yang baru-baru ini menyatakan menolak proyek geotermal, Raymundus berkata ia menyesalkan langkah itu yang menurutnya tanpa pendasaran ilmiah.

“Saya kira itu ranahnya pakar dan ahli di bidang itu. Nah, kira-kira uskup kajiannya apa?” katanya.

Informasi yang diperoleh Floresa, saat ini Raymundus tinggal di Kampung Wae Koe, Desa Legu. Kampung itu berjarak sekitar 30 kilometer sebelah selatan Poco Leok yang menjadi lokasi proyek.

Raymundus juga ikut mewakili warga saat studi banding yang difasilitasi PT PLN pada bulan lalu di PLTP Lahendong, Sulawesi Utara.

Bupati Nabit juga ikut dalam studi banding itu bersama jajaran pemerintah daerah, Kapolres Manggarai, Komandan Kodim 1612 dan Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai. 

Kendati baru pertama kali menggelar unjuk rasa di Ruteng, dalam catatan Floresa, sebelumnya Raymundus Wajong telah berulang kali menyatakan dukungannya terhadap proyek itu.

Ia menjadi koordinator deklarasi mendukung geotermal di Lungar, salah satu kampung adat di Poco Leok pada 19 Juni 2023.

Pada 2023, ia juga “menyerang” Pastor Simon dalam pernyataannya di media-media yang diduga berafiliasi dengan PT PLN.

Salah satunya dalam berita media Infopertama.com pada 25 Juli 2023, di mana Wajong menyebut Pastor Simon “merekrut warga Poco Leok untuk menolak proyek.”

Raymundus memiliki hubungan keluarga dengan Kornelis Wajong, pensiunan polisi yang pernah menjadi Wakil Kapolres Manggarai. 

Kornelis pernah datang ke Poco Leok pada 2023 bersama pimpinan PT PLN, aparat dan pemerintah setempat, yang disambut aksi protes warga, termasuk ibu-ibu.

Dalam berita Swarantt.net pada 15 Juni 2024, Kornelis dan saudaranya yang lain, Klitus Wajong, menyebut Pastor Simon sebagai aktor intelektual penolakan geotermal.

Pastor Simon belum pernah secara terbuka menanggapi tudingan-tudingan itu.

Dalam salah satu wawancara dengan Floresa, ia hanya berkata, berbagai tudingan itu merupakan “risiko dari perjuangan, tapi kami tidak takluk karena itu.”

“Kami yakin bahwa kami memperjuangkan kepentingan masyarakat,” katanya.

Selama setidaknya dua dekade terakhir bersama aktivis dari lembaga Gereja dan advokasi lain, ia telah terlibat dalam perjuangan bersama masyarakat di Flores bagian barat, termasuk dalam kasus pertambangan.

Ia menekankan bahwa posisinya dalam polemik di Poco Leok adalah berdiri bersama warga yang sedang memperjuangkan hak.

“Selain karena memang itu adalah prinsip perjuangan kami yaitu berada di tengah-tengah masyarakat, saya juga terlibat dalam advokasi kasus ini bersama teman-teman dari lembaga-lembaga lain karena diminta oleh masyarakat sendiri,” katanya.

Ia juga mengaku tidak ingin agar polemik itu menimbulkan konflik horizontal di tengah warga, antara yang pro dan kontra.

Seorang pria menunjukkan spanduk bertuliskan “Kami Masyarakat Adat Poco Leok Mendukung Penuh Program Geothermal” dalam unjuk rasa di depan Kantor DPRD Manggarai pada 22 April 2025. (Dokumentasi Floresa)

Ragam Upaya Perlawanan Warga

Proyek geotermal Poco Leok adalah perluasan PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011, menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt saat ini.

Proyek ini adalah satu dari belasan lokasi di NTT yang tengah dalam proses eksplorasi dan eksploitasi geotermal, bagian dari program nasional elektrifikasi 35.000 megawatt.

Lokasi lainnya adalah Wae Sano di Manggarai Barat; Mataloko dan Nage di Ngada; Sokoria di Ende; dan Atadei di Lembata. Selain itu Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Komandaru, Detusoko, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang. 

Warga Poco Leok merespons proyek ini dengan pro dan kontra.

Warga yang kontra telah berulang kali menggelar aksi protes, beralasan adanya ancaman terhadap ruang hidup mereka.

Dalam catatan Floresa, mereka telah melakukan 27 kali aksi pengadangan di lokasi proyek terhadap aktivitas PT PLN, pemerintah daerah dan Badan Pertanahan yang dikawal ketat aparat keamanan.

Beberapa di antaranya diwarnai represi.

Sementara aksi unjuk rasa di Ruteng sudah dilakukan dua kali, yakni pada 9 Agustus 2023 dan 3 Maret 2025.

Usai aksi pada 3 Maret, Bupati Nabit membuat laporan polisi terhadap beberapa pemuda yang terlibat aksi tersebut dengan tudingan pengrusakan pagar kantor bupati.

Langkah Nabit itu, yang direspons cepat oleh Polres Manggarai menuai kritik publik, menyebutnya sebagai bentuk kriminalisasi untuk memperlemah perlawanan warga.

Merespons langkah Nabit dan penyidikan kasus itu oleh polisi, Koalisi Advokasi Poco Leok, kumpulan lembaga advokasi yang mendampingi warga, mengadukan Polres Manggarai ke Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas pada 16 April.

Upaya lainnya yang dilakukan warga antara lain menyurati beberapa lembaga negara, termasuk Komnas HAM dan Ombudsman.

Mereka juga menyurati pendana proyek tersebut, yakni Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), yang direspons dengan mengirim tim independen untuk menyelidiki proyek pada September 2024.

Tim independen itu telah merekomendasikan penghentian sementara seluruh aktivitas proyek karena dinilai tidak sesuai standar sosial dan lingkungan internasional.

Sementara itu pada bulan lalu, enam uskup di Nusa Tenggara dan Bali yang masuk dalam Provinsi Gerejawi Ende menerbitkan pernyataan bersama menolak proyek-proyek geotermal di Flores.

Mereka adalah Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD; Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San. 

Dalam pernyataan itu, mereka menegaskan bahwa “eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”

Mereka juga menyatakan Pulau Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.

Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena juga telah menyatakan sikap untuk meninjau ulang proyek-proyek itu.

Usai rapat koordinasi dengan para bupati dan walikota pada 9 April, ia menyatakan akan membentuk tim investigasi khusus yang beranggotakan perusahaan, pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, maupun ahli lingkungan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah menyatakan akan ke Ende untuk menemui Uskup Budi, yang telah secara terbuka menolak proyek geotermal pada 6 Januari.

Sikap bersama para uskup pada bulan lalu muncul setelah adanya pernyataan Uskup Budi.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA