Floresa.co – Maria Suryanti Jun mendengar isi Surat Gembala Paskah Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat saat menghadiri Misa pada 6 April.
Menyimak isi surat yang dibacakan sebagai pengganti khotbah hari itu, Mia – sapaannya – berujar, isinya “mengawang-awang dan tidak konkret.”
Sejak terlibat dalam perjuangan melawan proyek geotermal di Poco Leok, ia memang kian sering mengikuti dinamika sikap Gereja Katolik, salah satunya seperti yang tergambar dalam surat-surat gembala para uskup.
Kepada Floresa, ia berkata, surat gembala uskupnya itu berbeda jauh dengan surat gembala uskup lain yang juga dibacanya yang langsung menyentuh persoalan konkret umat mereka.
Floresa mendapat salinan surat tiga halaman itu yang secara keseluruhan membahas tema tentang pengharapan.
Siprianus, yang juga Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau di Konferensi Waligereja Indonesia, mengutip sejumlah teks Kitab Suci, sekaligus kata-kata Paus Fransiskus untuk menjelaskan pentingnya tetap menaruh harapan di tengah situasi apapun.
Tema ekologi dalam surat gembala itu ikut disinggung pada bagian “Ekaristi Sosial dan Ekaristi Sosiologis”, yang memadukan perayaan Ekaristi dengan kegiatan peduli orang rentan-sengsara serta dengan aksi-aksi ekologis untuk merawat dan melestarikan alam lingkungan.”
Namun, surat itu tidak secara spesifik menyinggung persoalan-persoalan ekologis yang dihadapi umat.
Mia berkata, ia sebetulnya mengharapkan surat gembala seperti yang dirumuskan para uskup se-Nusa Tenggara dan Bali pada Maret, di mana Siprianus ikut menandatanganinya.
Surat gembala para uskup itu antara lain menyatakan menolak proyek geotermal, merespons perlawanan umat dan setelah mengetahui dampaknya di lapangan.
Mereka juga menyinggung masalah lain seperti perdagangan orang, stunting atau tengkes dan wabah peternakan dan pertanian.
Penolakan geotermal dalam surat para uskup itu menyusul pernyataan terbuka Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD pada Januari.
Mia berkata, kendati dalam suratnya Siprianus menyinggung ajakan untuk menjaga lingkungan alam, namun seharusnya dijabarkan “seperti menolak eksploitasi sumber daya yang merusak, menjaga air minum bersih, komunitas adat, ekonomi warga, dan hutan.”
“Kami perempuan ada Poco Leok merasa lega kalau uskup Ruteng mengambil sikap yang jelas seperti pernyataan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD,” katanya.
Sementara itu, Tadeus Sukardin, warga asal Kampung Lungar di Poco Leok membandingkan surat itu dengan dengan Surat Gembala Paskah Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus.
Surat Maksimus menyinggung tentang “pertobatan ekologis”, salah satunya mengajak umat menolak proyek geotermal dan pentingnya mengembangkan pariwisata berkelanjutan di Labuan Bajo.
Tadeus menyebut surat Siprianus “lebih banyak menyinggung tentang harapan tanpa solusi terkait persoalan kerusakan lingkungan.”
Menurutnya, “isi surat gembala itu membuktikan adanya sikap pembiaran terhadap dosa ekologis, yaitu pengrusakan alam dan pelenyapan kehidupan warga.”
Padahal, sebagaimana pesan ensiklik Laudato Si yang diterbitkan pada tahun 2015, kata Tadeus, Paus Fransiskus menekankan “alam dan lingkungan merupakan anugerah ciptaan yang harus dirawat dan dijaga bersama.”
Upaya menjaga, jelas dia, butuh sikap tegas dan konkret.
Agustinus Tuju, warga Kampung Nderu juga berkata, surat gembala itu tidak menanggapi situasi masyarakat Poco Leok.
“Dia tidak mendengar kritikan yang disampaikan warga, seolah-olah kritikan itu tidak berarti,” katanya kepada Floresa pada 8 April.
Mengutip teks Kitab Suci yang ditulis dalam surat itu, Agustinus berkata, sikap Siprianus mencerminkan sikap orang Yahudi yang tidak merasa diri berdosa, lalu hendak melempari “wanita zinah yang ketahuan berbuat dosa.”
“Uskup Sipri tidak menggubris sikap penolakan warga karena mungkin kami dianggap seperti wanita zinah yang hendak dikeroyok banyak orang,” katanya.
Sementara Servasius Masyudi Onggal, salah satu pemuda Poco Leok menyebut surat itu “menjadi basis refleksi kami warga Poco Leok terkait arah perjuangan melawan pengrusakan lingkungan secara masif melalui geotermal.”
Penggambaran tentang kondisi warga Poco Leok hari ini, kata Yudi, mirip wanita berzinah yang disinggung dalam surat Siprianus yang “hendak diadili oleh pemuka agama karena ketahuan berbuat dosa.
“Keadaan itu menggambarkan ketimpangan relasi kuasa antara para pemuka agama dengan si wanita,” katanya kepada Floresa.
Namun, lanjutnya, Yesus hadir menyelamatkan si wanita, sekalipun hanya dengan gestikulasi meditatif, yaitu membungkuk dan menulis pada tanah.
“Wanita tak berdaya itu adalah gambaran umat Poco Leok yang telah dan sedang ditindas karena berjuang melawan geotermal,” katanya.
“Kami sedang mencari perlindungan. Harapan kami, Gereja kiranya mampu meneladani Yesus yang tegas menghentikan mata rantai penindasan dan tidak kompromistis terhadap politik kesewenang-wenangan penguasa terhadap masyarakatnya,” tambahnya.
Ia juga berkata, belajar dari dampak proyek geotermal di berbagai lokasi, sumber energi itu tidak hadir sebagai solusi atas krisis lingkungan saat ini, tetapi justru memperpanjang derita umat.
Kristianus ‘Tino’ Jaret, pemuda lainnya berkata, kendati surat gembala itu menawarkan pengharapan, “kami masih menunggu aksi nyata dari Uskup Siprianus” yang ikut meneken surat pernyataan bersama para uskup lain di wilayah Nusa Tenggara-Bali.
“Dalam surat gembala para uskup itu, pengharapan adalah komitmen dan aksi, maka dikonkretkan dengan aksi,” kata Tino kepada Floresa.
Yudi dan Tino adalah dua di antara beberapa pemuda Poco Leok yang dipanggil polisi bulan lalu setelah dilaporkan Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit karena dituding merusak pagar kantor bupati saat aksi unjuk rasa pada 3 Maret.
Selain unjuk rasa tersebut, beragam upaya penolakan telah dilakukan warga, beralasan proyek itu mengancam ruang hidup, tanah adat dan budaya mereka.
Mereka telah menyurati berbagai lembaga negara, di antaranya Komnas HAM dan Ombudsman yang juga sempat mengunjungi wilayah itu tahun lalu.
Selain itu, mereka mengirim surat pengaduan kepada pendana proyek Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau.
Tim independen utusan bank itu telah merekomendasikan penghentian sementara aktivitas proyek karena tidak sesuai standar sosial dan lingkungan internasional.
Kritik terhadap sikap Uskup Siprianus juga pernah dilayangkan warga sebelumnya.
Salah satunya saat menyoroti Surat Gembala Natal pada 2023, menyebut keuskupan tidak memiliki sikap yang jelas dan tegas.
Dalam sebuah wawancara dengan Radio Veritas Asia pada Juni 2024, Siprianus menyatakan dukungan terhadap proyek geotermal, menyebutnya sebagai “energi bersih dan ramah lingkungan.”
Ia juga menyebut “banyak kelompok datang dan pergi melakukan propaganda tentang dampak negatif geotermal,” kendati tidak menjelaskan kelompok yang dimaksud.
Siprianus juga pernah merekomendasikan proyek geotermal Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat dengan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada Mei 2021.
Jejak dukungannya pada masa lalu terhadap proyek geotermal di tengah penolakan umat menumbuhkan penantian terhadap ketegasan sikapnya seperti yang telah ditunjukkan uskup lain.
Editor: Anno Susabun