Floresa merupakan media independen berbasis di Flores, NTT. Baca selengkapnya tentang kami dengan klik di sini!

Dukung kerja-kerja jurnalistik kami untuk terus melayani kepentingan publik
ReportaseMendalamDari Troll ke Teror: Serangan Digital Terhadap Aktivis di Poco Leok, Halmahera & Batang Toru

Dari Troll ke Teror: Serangan Digital Terhadap Aktivis di Poco Leok, Halmahera & Batang Toru

Liputan Project Multatuli ini mengungkap beragam bentuk serang digital di lokasi proyek pemerintah, termasuk di Poco Leok, Kabupaten Manggarai

Minggu pagi, akhir Mei 2023, Gereja Katolik Stasi Lungar di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dipenuhi umat dari berbagai penjuru kampung. Mereka berasal dari Gendang Tere, Gendang Jong, Gendang Lungar, Gendang Cako, Gendang Mesir, Gendang Ncamar, hingga Gendang Nderu. Mereka datang bukan sekadar untuk memenuhi kewajiban mingguan, tetapi untuk merayakan salah satu momen penting dalam kalender liturgi Gereja Katolik.

Sekitar 500 umat, mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak berkumpul untuk memperingati Minggu Pentakosta. Pentakosta merupakan hari raya yang dalam tradisi katolik menandai turunnya Roh Kudus atas para rasul. Pentakosta dirayakan pada Minggu ketujuh atau 50 hari setelah Minggu Paskah. Namun, hari itu bukan hanya sekadar perayaan liturgi biasa.

Di penghujung Misa pagi yang khidmat, sesaat sebelum berkat penutup, Pastor Simon Suban Tukan, SVD, Koordinator Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC-SVD) Ruteng, menyampaikan situasi di Poco Leok. Ia bicara soal geotermal, sebuah rencana proyek energi panas bumi yang ramai diperbincangkan di Poco Leok. Dengan suara tegas, ia membagikan pengamatannya sebagai orang yang telah melihat secara langsung dampak proyek serupa di tempat lain.

“Kami sudah baca tentang situasi (geotermal) di Sumatera. Di Mataloko, kami sudah lihat langsung. Jadi kalau mau menolak proyek ini (geotermal), itu terserah kamu,” ujar Pastor Simon menirukan ucapannya kepada tim Project Multatuli di Ruteng pada 6 Mei. (6/5/2025).

Ia bilang proyek geotermal seringkali dibawa orang atau perusahaan seperti pejabat pemerintahan, perusahaan dan investor- Kreditanstalt für Wiederaufbau (Bank Pembangunan Jerman) yang tak tinggal di kampung tersebut. Sementara dampaknya akan ditanggung sendiri oleh masyarakat lokal yang sebagian besar berprofesi sebagai petani.

“Saya tinggal di Ruteng, orang PLN tinggal di Ruteng, Bupati tinggal di Ruteng. Tapi dampak semua itu kamu yang alami, bukan saya. Jadi, putuskan sendiri,” tegasnya kala itu.

Pernyataan tersebut merupakan momen pertama dan terakhir Pater Simon, begitu sapaan akrabnya, berbicara secara terbuka mengenai proyek geotermal di publik. Meski hanya sekitar lima menit, pernyataan itu menjadi getaran yang menyebar cepat di antara umat dan kampung-kampung sekitar.

Usai pernyataan itu, Pastor Simon mulai mendapat serangan digital di media sosial dan media lokal-ia dituduh memprovokasi warga Poco Leok untuk menolak proyek geotermal era Presiden Joko Widodo. Catatan Project Multatuli, serangan pertama kali terjadi di publikasi media lokal Infopertama.com pada 18 Juni 2023 dengan judul 86 Persen Setuju Pengembangan PLTP Ulumbu, Wajong Sebut yang Tolak Diprovokasi Kaum Berjubah.

Dalam artikel itu, kaum berjubah sebagai provokator dan aktor intelektual berbagai aksi penolakan geotermal Poco Leok disematkan pada Pater Simon. Serangan kembali berlanjut pada 26 Juni 2023 dengan judul Tolak geotermal Poco Leok, Ada JPIC SVD di antara Massa Aksi. Artikel itu bersumber dari video yang beredar tanpa mengkonfirmasi JPIC SVD terkait kehadiran mereka di lokasi aksi. Artikel itu hanya menyebut ada orang yang menggunakan kaos dengan tulisan JPIC SVD dan mobil Sport Double Cabin Ford Ranger Silver diduga milik Pater Simon.

Serangan mendiskreditkan dan mendelegitimasi perjuangan Pastor Simon bersama warga terus terjadi di bulan selanjutnya. Pada 25 Juli 2023, media Infopertama.com membuat berita berjudul Demi Konten Tolak geotermal Poco Leok, Diduga Pastor Katolik di Manggarai Suruh Wanita Telanjang. Artikel ini menuding aksi protes penolakan proyek geotermal didesain oleh Pater Simon.

Berita itu kemudian dimuat ulang oleh akun Kaskus Dragonroar pada tanggal yang sama, namun sedikit mengubah judul Parah, Diduga Pastor Katolik di Manggarai Suruh Wanita Telanjang Demi Konten. Narasi dari akun Kaskus Dragonroar dilihat 1000 orang dengan 40 komentar.

Serangan terhadap Pastor Simon bukan hanya di media Infopertama.com saja. Ada beberapa media lain yang ikut menyerang dengan label provokator, anti pembangunan. Pada 29 September 2023, Media info1news.com membuat berita berjudul Sering Hadang Warga, Marsel Desak Kapolri Tangkap Provokator Tolak Proyek PLTP Ulumbu. Berbagai serangan mendiskreditkan Pastor Simon juga ada di media Fokusntt.com, Swarantt.net, Swara Net TV, Pijarflores.com dan Koranntt.com.

“Di satu sisi menyerang secara pribadi, tapi mendiskreditkan lembaga ini (JPIC-SVD). Lembaga ini cukup konsisten mendampingi masyarakat. Lalu secara pribadi mereka ingin merusak reputasi saya,” ujar Pastor Simon.

Muasal Teror Terhadap Warga

Pater Simon sudah bertahun-tahun hadir di Poco Leok, jauh sebelum proyek geotermal direncanakan di sana. Pada tahun 2022 ia menggalakkan program pemanfaatan lahan tidur milik gereja. Saat itu ia bertemu dengan Bupati Herybertus Geradus Laju Nabit dan akhirnya menyepakati bantuan untuk masyarakat mengelola lahan gereja seluas 4 hektare di Poco Leok.

“Dan betul waktu itu pak bupati responsnya bagus,” ujarnya.

Pada awal 2023 bupati menjanjikan bantuan alat berat untuk membersihkan lahan yang rencananya akan ditanami pisang, cengkeh, kentang, kacang-kacangan dan sayur-mayur oleh warga.

Namun, janji menurunkan alat berat ke lahan gereja tak kunjung tiba. Sampai akhirnya pada 27 Februari 2023 bupati hendak turun ke Poco Leok menyerahkan bantuan sekaligus membawa misi melancarkan proyek geotermal.

Saat itu warga sudah mengetahui bahwa pemerintah sudah mengeluarkan izin lokasi proyek geotermal lewat SK Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 yang diterbitkan pada 1 Desember 2022.

Hari itu warga menghadang dan menolak kehadiran bupati di Poco Leok. Warga secara tegas menolak proyek geotermal. Sebanyak 10 gendang (rumpun masyarakat adat) dengan total 1.369 warga sudah menyatakan menolak.

Usai peristiwa itu, telepon genggam Agustinus Sukarno, anak muda Poco Leok, mulai dibanjiri panggilan tak dikenal. Semua itu berawal dari siaran pers yang diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 22 Februari 2023. Nama Sukarno terpampang sebagai narahubung pada siaran pers yang menyuarakan penolakan warga Poco Leok atas proyek geotermal.

“Ada yang telepon biasa, ada yang telepon melalui Whatsapp. Tapi kita baru tahu ada telepon masuk ketika ke tempat jaringan (sinyal telepon),” kata Sukarno saat ditemui Project Multatuli di Poco Leok pada 8 Mei.

Setiap hari, ada tiga atau empat nomor baru yang menghubunginya. Tapi saat dihubungi kembali, nomor tersebut tak merespons. Bukan hanya telepon, ada pesan hasutan “Jangan percaya Pater Simon.” Pesan itu dikirim via WhatsApp oleh satu nomor yang menyebar ke banyak warga Poco Leok.

Tadeus “Tedi” Sukardin, warga asal Poco Leok lainnya juga mendapatkan pesan hasutan yang sama. Selain itu, ia juga kerap mendapat komentar negatif di akun Facebooknya setiap kali ia memposting aksi warga Poco Leok. “Kalian jangan provokasi masyarakat, Kalian memperkosa masyarakat,” ujar Tedi mengingat sejumlah komentar yang pernah ia terima.

Selain itu, Tedi bilang dulu setiap sore kerap menerima pesan dari seseorang bernama Panca yang mengaku dari PLN Poco Leok. Pesan-pesan itu ringan, mengajak bertemu, mengobrol, atau sekadar minum kopi. Tedi merespons seperlunya, tapi memilih untuk tidak pernah benar-benar menemui Panca.

Lama-kelamaan, interaksi yang awalnya terdengar santai itu mulai membuatnya tidak tenang. Terlebih ketika Panca tetap ngotot ingin tahu keberadaannya. Dia tanya, “Om Tedi di mana sekarang? Mungkin bisa ketemu di RBA- Rumah Baca Aksara? Saya jawab, saya masih di kota Ruteng. Tapi dia kejar terus, Posisinya di mana di Ruteng? Saya jawab, saya jalan-jalan, tidak ada posisi.”

Kondisi itu membuat Tedi tak nyaman. Saat ditanya dari mana nomornya diperoleh, Panca hanya menjawab “Om Tedi tidak perlu tahu dapatnya dari mana. Yang penting saya bisa komunikasi dengan Om Tedi,”. Selama sebulan Panca menanyakan terus lokasi Tedi dan akhirnya Tedi memblokir nomor Panca.

2 Oktober 2024, Serangan Digital Makin Masif

Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa, berhitung berulang kali sebelum akhirnya memutuskan turun ke Poco Leok pada 2 Oktober 2024. Hari itu, warga Poco Leok melakukan aksi lagi. Herry ingin datang meliput ke sana, namun editan naskah belum selesai dan masih mencari teman perjalanan ke sana.

Floresa sudah mengawal isu proyek geotermal di Poco Leok. Sejak semula, Floresa banyak mengkritisi proyek dan memberikan suara bagi masyarakat adat yang dipinggirkan. Karena itulah, aksi warga hari itu penting untuk diliput.

Setelah berpikir matang, Herry memutuskan melaju ke Poco Leok menggunakan sepeda motor. Setiba di lokasi, kondisi sedang memanas. Herry berdiri tak jauh dari rombongan polisi, lalu dari kejauhan seseorang menyebut namanya.

Polisi yang mendengar nama Herry disebut langsung bergerak ke arah Herry dan menangkapnya. Dalam proses penangkapan itu, seorang wartawan berinisial TJ turut memukul Herry. Ia segera diseret polisi ke mobil, handphone dan laptopnya disita Polisi.

Di dalam mobil polisi Herry ditanyai bermacam hal, dari aktivitasnya hingga sejumlah nama orang yang menolak proyek geotermal. Polisi diduga sudah membuka pesan dan sejumlah file milik Herry yang ada di ponsel dan laptopnya.

Sebelum penangkapan Herry, peretasan akun Instagram Poco Leok Melawan sudah terjadi dua kali, yakni pada Agustus 2024 dan 1 Oktober 2024 tepat sehari sebelum Herry ditangkap. Mayo Dintal, pemuda asal Poco Leok yang semula menjadi admin akun tersebut bilang, peretasan pertama bisa ditangani, namun peretasan kedua, akun Instagram Poco Leok Melawan sepenuhnya hilang. Akun Facebook pribadi Mayo juga menjadi sasaran peretasan.

Tidak hanya itu, sejumlah kegiatan yang dilakukan secara daring juga mendapat serangan spam komentar. Misalnya saat acara diskusi daring dengan WALHI, kolom chat di Zoom dibanjiri troll dan intimidasi dengan akun palsu tapi memakai foto profil warga yang tolak geotermal.

Sejak perampasan ponsel dan laptop milik Herry, peretasan terhadap akun media sosial serta sejumlah teror lain semakin menjadi.

Mayo misalnya, mendapatkan komentar dari akun tak dikenal yang mengancamnya. Akun itu bahkan mengetahui di mana Mayo sedang berada.

“Mereka bilang, saya tahu kau di RBA,” cerita Mayo.

RBA ini merujuk pada Rumah Baca Aksara, sebuah komunitas literasi di Ruteng. Keberadaan RBA pertama kali terseret dalam pusaran masalah geotermal Poco Leok setelah perampasan gadget milik Herry.

Gheril Ngalong, pengurus kolektif RBA mengungkap bahwa sejak peristiwa 2 Oktober ia sering dihubungi oleh nomor-nomor asing. Nomor-nomor itu menghubungi Gheril pada siang hingga tengah malam. Namun, ia tak menggubris nomor asing tersebut.

Selain itu ia menghitung ada tiga orang tentara dengan menggunakan seragam dinas dan satu orang sipil mengklaim dari Komunitas Pintar Tulis mendatangi basecamp RBA. Mungkin, lanjutnya, mereka ingin mengetahui aktivitas teman-teman RBA lebih jauh. Aktivitas online RBA juga mulai dipantau, banyak akun anonim dan akun media yang pro geotermal (PLN) mengikuti akun Instagram RBA.

“Memang sejak kejadian Herry. Waktu itu ponsel Herry kan ditahan, semua Whatsapp dikontrol sama mereka. Lalu satu-satu ditanya, kalian ini sering di RBA ya?” kata Gheril, Selasa (6/5/2025).

Bukan hanya itu, pesan peringatan juga disampaikan melalui saudara kepada orang tua Gheril. “Tolong mulai rem lah untuk kegiatan advokasi Poco Leok. Ada pesan itu.” Pesan itu bukan datang tiba-tiba, rangkaian kejadian sebelumnya membuat Gheril waspada.

Pada Januari 2025, akun instagram RBA diretas. Instagram yang selama ini jadi etalase kegiatan kampanye lingkungan di Poco Leok tiba-tiba diambil alih oleh orang tak dikenal pada siang hari. Lalu akun IG RBA berubah jualan Iphone. Bahkan sempat akun Whatsapp Gheril tak bisa akses selama tiga jam.

Kondisi peretasan akun Instagram juga dialami oleh Sunspirit for Justice and Peace, organisasi masyarakat sipil yang bekerja di bidang keadilan sosial dan perdamaian. Sunspirit adalah salah satu lembaga yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Poco Leok.

“Akun IG dihack. Lalu tiba-tiba jualan Iphone,” kata Direktur Eksekutif Sunspirit for Justice and Peace, Henny Dinan pada 4 Mei. Namun, ia tak mengetahui upaya peretasan itu berkaitan dengan kampanye advokasi Poco Leok atau bukan, sebab ada banyak kegiatan yang Sunspirit kerjakan.

Pemberitaan Terorganisasi

Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa sebenarnya malas menemui Panca Budi Setiawan, Manager Komunikasi dan TJSL, PT PLN UIP Nusra. Panca merupakan orang yang disebut-sebut oleh beberapa warga Poco Leok kerap mengajak bertemu.

Namun akhirnya Ryan memenuhi permintaan Panca untuk bertemu di Tangerang pada 22 Desember 2024. Dalam pertemuan itu, Panca ditemani stafnya Agradi Aryatama. Sedangkan Ryan ditemani Petrus Dabu (Floresa di Jakarta). Dalam pertemuan itu, Panca menawari Floresa untuk bekerja sama dengan PLN, sama seperti sejumlah media lain di NTT.

“Mereka sempat ngomong begini ke kita, ‘untuk berapa pun yang teman-teman minta, kita akan diskusikan toh’,” ungkap Ryan kepada Project Multatuli pada 25 Mei.

Ryan langsung menolak tawaran itu karena Floresa ingin mempertahankan independensi. “Bagi kami kerja jurnalistik akan kehilangan rohnya melayani kepentingan publik, khususnya mereka yang rentan, jika media sudah berada bersama dan berdiri di sisi korporasi,” ujar Ryan. “Bila itu dipilih, media sulit mengkritik PLN dan akhirnya menjadi humas pemerintah,” lanjutnya.

Meski sudah ditolak, Panca tetap mencari celah lain. Menurut Ryan, Panca mencoba menawarkan kerja sama melalui jalur pribadi dengan PLN. Lagi-lagi Ryan tak menyambut tawaran itu.

Penolakan kerja sama itu membuat PLN kebingungan, sebab media lokal di Ruteng melakukan kerja sama dengan PLN. Keharmonisan sejumlah media dengan PLN ini bisa dilihat dari postingan Instagram PT PLN UIP Nusa Tenggara atau disingkat UIP Nusra pada 15 Mei 2025. Dalam postingan itu terlihat sejumlah pemimpin media di Ruteng berfoto bersama dengan Agradi Aryatama, staf Panca dalam acara media briefing.

“Rekan-rekan media turut menyampaikan apresiasi atas sinergi yang telah terbangun, dan berharap kerjasama ini terus diperluas demi masa depan energi hijau dan berdampak nyata,” begitu sepenggal kalimat dari takarir postingan tersebut.

Beberapa pemimpin media lokal yang hadir dalam kegiatan itu yakni; Infopertama.com, Pijarflores.com, SwaraNTT.net, Fokusntt.com dan Info1news.com.

Media-media ini pula yang menerbitkan pemberitaan yang menyerang Pater Simon dan Floresa.

Berdasarkan catatan tim Project Multatuli, ada enam serangan yang ditujukan kepada tim Floresa. Serangan itu, salah satunya dilakukan Pijarflores.com yang kemudian dilaporkan ke Dewan Pers. Keputusan Dewan Pers menyatakan ada pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media tersebut terkait berita berjudul Media Floresa Sering Sebarkan Berita Provokasi, Abaikan Suara Warga Poco Leok yang Pro Pengembangan Geotermal. Rikardus G. Huwa, selaku pimpinan Pijarflores.com meminta maaf dari hati paling dalam pada Floresa, insan pers dan publik.

Berita serupa juga terbit di Wartatimor.com pada 8 Oktober. Jika di Pijarflores.com menggunakan kedua sumber anonim untuk menyerang Floresa, Wartatimor menggunakan satu sumber anonim dan seorang jurnalis bernama Ahang sebagai sumber dalam tudingan itu tanpa konfirmasi ke Floresa.

Bahkan pada saat penangkapan, ada beberapa istilah yang disematkan kepada Herry, yaitu provokator yang mengaku wartawan. Hal itu terlihat pada judul berita Infopertama.com, Provokator Ngaku Wartawan Diamankan Polres Manggarai di Poco Leok.

Serangan lanjutan kembali terjadi pada 8 Oktober 2024 dalam laporan media lokal Wartatimor.com. Laporan berjudul Terungkap Pendemo Tolak geotermal Poco Leok Bukan Pemilik Tanah, Ada Provokasi Berantai. Isi berita itu menuding “Pimred Floresa bekerja untuk kepentingan provokasi dan pemberitaan satu arah.”

Jauh sebelum serangan ke Floresa, pemberitaan media lokal tersebut juga menyasar Pater Simon. Catatan Project Multatuli, ada 33 serangan yang ditujukan kepada Pater Simon yang dipublikasi 10 media lokal: mulai dituding provokator, dalang penolakan geotermal, hingga pastor anti pembangunan.

Misalnya, pada 15 Juni 2023, Pijar Flores menerbitkan PLN Sosialisasi Penlok 2, Klitus Wajong: Peter Simon Cuci Otak Masyarakat Poco Leok Jadi Tidak Santun. Tuduhan itu tanpa klarifikasi kepada Pater Simon. Pemberitaan yang serupa juga diterbitkan Swarantt.net, infopertama.com dan koranntt.com dengan judul sedikit berbeda, tapi isinya mendelegitimasi Pater Simon.

Sebaliknya, semua media yang menyerang Pastor Simon memberitakan PLN dengan tone positif di semua kegiatan di wilayah Poco Leok. Misalnya, Fokusntt.com menulis berita dengan judul PLN Wujudkan Pembangunan geotermal Poco Leok Bersama Masyarakat: Pemberdayaan dan Listrik Berkeadilan untuk Masa Depan. Berita dengan judul yang sama juga SwaraNTT.net dan Info1news.com.

Selain itu, ada juga berita yang berjudul PLN Diterima sebagai Keluarga di Poco Leok, Dukung Pembangunan geotermal dengan Ritual Adat Penti yang diterbitkan Info1news.com. Berita dengan judul yang sama juga diterbitkan Tribunnews Kupang, Wartatimor.com, dan seputarntb.com dengan judul yang mirip. Info1news.com, Tribunnews Kupang, dan Seputarntb.com menerbitkan dengan foto yang sama. Seputarntb.com memberi keterangan foto sebagai “Foto: Dok. PLN” sebagai tanpa sumber foto berasal dari PLN.

Masih banyak lagi pemberitaan pola judul, foto, dan isi berita yang sama atau pun mirip.

Saat bertemu dengan Panca, Ryan juga menceritakan bagaimana Floresa sebagai media independen bisa bertahan. Selain dari donasi publik, Floresa juga mendapat beasiswa liputan dan kolaborasi liputan.

Pertengahan Mei 2025, sebuah akun Facebook dengan nama Reba Pitak menyebarkan disinformasi terkait proyek geotermal di Poco Leok melalui media sosial Facebook. Dalam unggahannya di Forum Rakyat Peduli Manggarai, Reba Pitak menuding lembaga advokasi berbasis gereja, lembaga swadaya masyarakat hingga media didanai asing. Floresa dan Victory News mendapat suntikan dana dari WALHI NTT sebesar 250 ribu USD atau sekitar Rp4,1 miliar untuk pelatihan jurnalistik.

Tim Project Multatuli telah berupaya mengonfirmasi pertemuan antara Panca Budi Setiawan, Manajer Komunikasi dan TJSL PT PLN UIP Nusra, dengan tim Floresa yang berlangsung pada akhir Desember 2024. Upaya konfirmasi kepada pihak PLN dilakukan melalui sambungan telepon pada 24–27 Mei 2025, namun tidak mendapatkan respons. Kami juga mengirim pesan melalui WhatsApp, tetapi tidak dibalas meskipun telah terbaca.

Sebelumnya, pada 14 Mei 2025, Project Multatuli juga berusaha menghubungi Bobby Robson Sitorus, Manajer Pertanahan dan Sertifikasi PT PLN UIP Nusa Tenggara, untuk meminta konfirmasi terkait persoalan proyek panas bumi (geotermal) di Ruteng. Tim juga mengirim pesan melalui Whatsapp. Ia hanya memberikan jawaban singkat, “Mas Reza, saya posisi sekarang boarding,” kata Bobby kepada Project Multatuli pada 15 Mei. Setelah itu, tidak ada lagi respons atas pesan maupun panggilan hingga berita ini diterbitkan.

Pola Serangan Digital di Daerah Transisi Energi

Serangan digital seperti yang dialami sejumlah orang di Poco Leok juga terjadi di daerah lain. Studi yang dilakukan oleh Yayasan Tifa terkait serangan digital terhadap aktivis lingkungan di beberapa daerah transisi energi menunjukkan ada pola serupa terjadi di daerah lain.

Dari tiga lokasi tersebut terdapat serangan siber yang mengandalkan penggunaan teknologi digital (cyber-dependent attack), serangan siber yang melalui pemanfaatan teknologi digital menjadi lebih luas jangkauan dan dampaknya (cyber-enabled attack), serta kriminalisasi berbasis digital. Variasi ini meliputi peretasan akun, dugaan penyadapan, penyitaan perangkat, kampanye disinformasi, spam call, troll anonim, hingga jerat pasal UU ITE untuk membungkam kritik.

Roy Lumban Gaol, aktivis WALHI Sumatera Utara, menyebut diskusi daring mereka sering menjadi sasaran troll anonim—baik di Zoom maupun YouTube. Kolom chat dipenuhi umpatan, makian, hingga tuduhan. Tujuannya adalah mengganggu kegiatan diskusi supaya tidak fokus dan bubar.

“Dalam satu diskusi, pembicara dituduh mencari donasi asing dan menjual isu orangutan untuk kepentingan sendiri,” kata Roy kepada Project Multatuli pada 7 Mei.

Upaya untuk antisipasi serangan akun anonim sudah ada sejak awal, tapi tetap saja informasinya bocor. Ia bilang upaya lainnya adalah mematikan kolom komentar, tapi tetap saja bisa dibobol untuk membuat keributan di kolom komentar. Meskipun ada serangan troll di Zoom dan Youtube, WALHI Sumut tak melaporkan ke WALHI Eknas karena dianggap hal yang biasa dan dapat ditanggulangi sendiri.

Gelombang serangan digital terhadap WALHI Sumut dimulai pada 2017 dan puncaknya pada 2018. Saat itu, tak hanya staf lapangan yang menjadi target, tapi juga direktur eksekutif WALHI tak luput dari target serangan digital. Situs WALHI Sumut sempat diretas, dugaannya karena mempublikasi hasil penelitian dampak lingkungan atas proyek strategis nasional (PSN) di Batang Toru.

Roy juga mendapat serangan digital dan peretasan akun media sosial pada April-Mei 2018. Serangan itu ditargetkan ke akun Facebook dan Instagramnya karena ikut memposting hasil penelitian lembaganya. Roy sendiri saat itu bertugas sebagai koordinator pengorganisasian dan gugatan terkait analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Serangan digital, menurut Roy, sudah menjadi hal yang biasa di daerah. Saat itu, yang lebih dikhawatirkan justru ancaman fisik terhadap aktivis. Akun Facebook dan Instagram miliknya berhasil diretas. Beberapa bulan kemudian, akun WhatsApp-nya juga dibobol. Roy mencoba memulihkan semuanya dengan bantuan teman yang paham IT, tapi usahanya gagal. Akhirnya, ia mengganti nomor dan memakai ponsel baru.

Menurutnya serangan beruntun dari email lembaga, situs lembaga, akun media sosial, hingga kanal komunikasi pribadi seolah menjadi bagian dari upaya sistematis untuk membungkam suara masyarakat sipil. Ia menyebut ketika ancaman terhadap aktivis tak berhasil, serangan berubah menyasar orang terdekat seperti istri dan orang tua.

Istri dan orang tua Roy mendapat pesan intimidasi dari nomor misterius. Pesannya seragam, “Anak ibu jangan disuruh kerja di WALHI lagi. Kerja di WALHI itu taruhan nyawa.” Serangan itu tentu untuk memecah dukungan keluarga yang selama ini menjadi ruang aman bagi aktivis.

Sementara itu di Jakarta, Christina Rumahlatu, seorang perempuan pejuang lingkungan dari Maluku menjadi target teror setelah aksi solidaritas untuk warga Halmahera di depan kantor PT IWIP pada 1 Agustus 2024.

Setelah aksi itu, ia menerima spam call dari nomor asing, termasuk dari luar negeri, serta pesan-pesan bernada intimidatif di WhatsApp. Teror berlanjut ketika preman datang ke sekretariat kampus tempat Christina biasa berkegiatan. Mereka menyampaikan pesan melalui teman-temannya: Christina harus meminta maaf, atau bersiap menghadapi konsekuensi.

Selain itu, Christina mulai curiga ponselnya disadap setelah seorang anggota polisi memberitahunya bahwa data-datanya dari aksi demonstrasi telah dikirim ke Cyber Crime Mabes Polri. Ia diberi tahu bahwa isi percakapannya telah diakses. “Mereka (Cyber Crime) buka chat-chat kamu,” ungkap Christina kepada Project Multatuli pada 3 Mei.

Kecurigaan Christina makin kuat saat ponselnya mulai menunjukkan perilaku tak wajar— pencahayaan layar berubah sendiri, aplikasi berpindah-pindah tanpa disentuh, dan suara aneh muncul saat menelepon. Meski teman-temannya menyarankan untuk mengganti ponsel dan nomor, Christina kesulitan karena keterbatasan dana dan sudah terlanjur banyak kontak penting di nomor lamanya.

Ancaman semakin nyata ketika Ali Fanser Marasabessy, Ketua Pejuang Bravo 5 melaporkan Christina ke Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri terkait pencemaran nama baik. Ancaman yang terus datang membuat Christina mencari perlindungan ke Rumah Aman. Namun rasa tidak nyaman, kesulitan komunikasi dan tekanan psikologis memburuk membuatnya memilih pulang dulu ke Maluku. Ia merasa tak punya cukup dukungan atau akses hukum yang memadai sebagai aktivis perempuan muda. Meski ada bantuan dari LBH, ia sadar kasusnya bukan satu-satunya yang ditangani.

“Saya bukan aktivis yang punya privilese,” katanya.

Kasus Christina menggambarkan risiko ganda yang dihadapi aktivis perempuan di lapangan; teror digital, ancaman fisik, dan upaya kriminalisasi yang sistematis di tengah perjuangan membela lingkungan dan hak masyarakat Halmahera.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Yayasan Tifa itu ada delapan pola serangan digital terhadap warga dan aktivis.

Pertama, serangan digital dilakukan sebagai reaksi terhadap penggalangan penolakan oleh aktivis dan warga terdampak. Kedua, serangan digital dilakukan pada momen tertentu terutama setelah aksi, kampanye, atau kegiatan lainnya dari aktivis dan warga terdampak. Misalnya setelah mengunggah video, setelah mengirim email penting, dan setelah aksi demonstrasi.

Ketiga, serangan digital dilakukan berulang-ulang dengan bentuk yang serupa. Keempat, serangan digital terkoordinasi baik di media massa dan media sosial. Di media massa koordinasi ini terlihat dari tone tulisan, isu, waktu, dan target yang seragam. Di media sosial koordinasi ini terlihat dari pengerahan akun anonim dengan tagar tertentu dan waktu yang bersamaan.

Kelima, target serangan digital tidak hanya pada aktivis atau warga tapi juga pada keluarga dan warga yang bersolidaritas. Keenam, serangan digital diarahkan pada konflik horizontal, menciptakan sentimen antara warga pendukung dan warga dan aktivis penolak proyek. Keterlibatan ormas sipil dan warga sipil menjadi penanda. Terakhir, pada serangan yang lebih besar dan masif ada dugaan keterlibatan oknum, ormas yang terkoneksi dengan perusahaan atau aparat kepolisian.

Dalam studi tersebut juga terlihat bahwa serangan ini digital ini juga berkelindan dengan serangan fisik. Serangan digital bisa menjadi pertanda dan membuka peluang serangan yang lebih materil, fisik atau kriminalisasi.

Nenden S. Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), mengungkapkan bahwa kesenjangan kapasitas masih menjadi persoalan utama di lapangan, terutama di daerah-daerah yang menjadi lokasi proyek strategis nasional (PSN).

“Ada gap yang cukup besar dalam kapasitas organisasi masyarakat sipil di daerah-daerah rentan terhadap serangan digital,” ujar Nenden dalam diskusi Lanskap Serangan Digital di Daerah Proyek Transisi Energi pada 18 Februari.

Menurutnya, meskipun pelatihan sudah dilakukan, contohnya di Nusa Tenggara Timur dan Maluku, banyak aktivis dan warga masih kesulitan mengenali risiko sejak dini. Serangan digital sering kali dianggap tidak signifikan, padahal dampaknya bisa meluas dan menjadi awal dari bentuk represi lain yang lebih serius.

Meninggalkan Luka dan Trauma

Golfrid Siregar, aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara ditemukan tak sadarkan diri dengan tubuh terlentang di jalan bersama motornya di Kota Medan pada 3 Oktober 2019. Pria berusia 34 tahun itu diklaim polisi tewas karena kecelakaan motor. Namun, berbagai kejanggalan tewasnya Golfrid seperti keretakan pada kepala, luka memar di mata kanan dan lokasi tempat kejadian perkara yang berubah-ubah.

Sebelum tewas, Golfid salah satu aktivis yang menangani kasus PLTA Batang Toru, Sumatera Utara. Catatan Friends of the Earth, proyek PLTA Batang Toru menuai kontroversi karena merusak lingkungan, sosial, keanekaragaman hayati. Tewasnya Golfrid membuat teman-teman WALHI Sumut terpukul, salah satunya adalah Roy Lumban Gaol.

“Memang psikologis kita kemarin (2019) sangat dipengaruhi dan sangat dihantui ketika meninggalnya teman kita secara misterius,” ucap Roy pada 7 Mei.

Setelah Golfrid tewas, Roy bilang aktivitas WALHI Sumut selama setahun cooling down terlebih dahulu. Ada luka, trauma, ketakutan yang bercampur aduk sejak kejadian Golfrid enam tahun lalu. Ketakutan yang sama juga dirasakan Herry Kabut, jurnalis sekaligus Pemred Floresa yang menjadi korban kekerasan saat meliput di Poco Leok.

Tekanan mental dan rasa tidak aman yang dialami Herry menggambarkan betapa rentannya para pembela lingkungan dan kebenaran di lapangan. Sejak penangkapan dan pemukulan 2 Oktober 2024, Herry mengaku terguncang secara psikologis.

“Tentu saja secara psikologis, saya cukup terganggu,” ungkap Herry.

Kejadian Oktober tahun lalu, tambah Herry, cukup mempengaruhi cara berpikir keluarganya tentang pekerjaan sebagai jurnalis. Mereka sempat menyarankan agar Herry tidak menulis lagi soal Poco Leok, biarkan itu jadi tugas orang lain. Namun, bagi Herry, meninggalkan warga dan perjuangan mereka bukanlah pilihan yang tepat.

“Ibu sempat bilang begitu karena trauma, mungkin,” ujarnya. Namun, setelah dijelaskan soal kondisi Poco Leok, akhirnya orang tua bilang lanjutkan saja tugasmu.

Bila Herry langsung berhadapan dengan ancaman fisik di lapangan, Henny Dinan justru merasakan tekanan dari arah yang lebih tak kasat mata—ruang digital. Keduanya sama-sama menunjukkan bahwa menjadi pembela lingkungan hari ini tak hanya berarti bersuara di depan publik, tapi juga belajar bertahan dari serangan yang datang dari berbagai arah, termasuk di ruang digital.

Henny menyadari bahwa ruang digital bisa jadi medan yang lebih berbahaya. Namun, ia tak menampik serangan fisik juga berbahaya. Ia memilih menjaga jarak dari media sosial pribadinya. Bukan karena takut bersuara, tetapi karena tahu persis bahwa satu unggahan bisa jadi celah serangan.

Valentinus Dulmin, pengacara publik yang mendampingi warga Poco Leok menilai, ancaman fisik dan kriminalisasi masih menjadi tantangan besar dalam advokasi selama ini. Meski demikian ia tidak bisa memungkiri bahwa serangan digital kini juga menjadi ancaman baru yang tidak banyak disadari para aktivis pembela lingkungan.

“Kalau saya ada telpon masuk dari nomor tidak jelas, tidak angkat. Ada yang komentar di media sosial, biarkan saja. Kita memang fokus, bagaimana mengadvokasi yang baik. Kalau kita balas komentar, bisa jadi pintu masuk untuk kriminalisasi. Itu yang kami pikirkan, makin berat kerja kami dalam advokasi, kalau terjadi seperti itu,” kata Valentinus.

Namun, buat sebagian orang seperti Pastor Simon, ancaman digital bahkan bisa hadir tanpa disadari. Di saat wawancara dengan Project Multatuli, ponsel Pastor Simon yang tergeletak tiba-tiba memutar suara iklan berulang kali.

Ia dengan enteng berkata, “virus kayaknya, tidak apa-apa. Saya punya HP tidak pernah dibersihkan.”

Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons. Floresa melakukan beberapa penyesuaian redaksional

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA