Floresa.co – Berita terkait Mateus Hamsi, Ketua DPRD Manggarai Barat (Mabar) yang terindikasi terlibat main proyek, dianggap bukan sebagai hal yang aneh.
Yosep Sampurna Nggarang, Ketua Himpunan Pemuda Mahasiswa Manggarai Barat – Jakarta (Hipmmabar – Jakarta) mengatakan kepada Floresa, hal itu sudah lama jadi rahasia umum.
“Itu bukan hal aneh, karena memang ia sudah lama menjadi pemain proyek”, kata Yos, Rabu malam (15/10/2014).
Menurut dia, berdasarkan informasi yang didapat Hipmmabar, dengan posisinya sebagai Ketua DPRD, Hamsi memilik kuasa penuh dalam alokasi proyek. “Banyak proyek-proyek yang jatuh ke orang dekatnya.”
Memang, lanjut dia, bukan hanya Hamsi yang terlibat dalam mafia proyek. Mengutip data hasil penelitian dalam buku karya peneliti Baku Peduli Centre, Cypri Jehan Paju Dale, “Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013), dari 30 anggota DPRD Mabar periode 2009-2014, hanya dua orang yang tidak main proyek.
“Itu menunjukkan wajah DPRD Mabar sangat buruk. Dan kami pastikan, tidak akan ada perubahan untuk DPRD periode sekarang, karena masih banyak orang lama yang eksis, termasuk Hamsi”, katanya.
Biasanya, kata dia, anggota DPRD menyangkal bila ditanya terkait keterlibatan mereka dalam mengatur proyek. “Tapi, fakta di lapangan, mereka-lah yang mengatur itu semua, tapi menggunakan nama orang-orang dekat mereka.”
“Jadi, tugas publik saat ini adalah terus mengontrol kinerja dan perilaku anggota dewan, agar mereka benar-benar sadar akan mandat mulia yang dititipkan oleh rakyat Mabar.”
Lucius Karus, peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) juga menegaskan, kasus yang diduga melibatkan Hamsi, bukan sesuatu yang mengejutkan.
Permainan proyek di tingkat lokal, kata dia, seringkali dilakukan dengan melibatkan DPRD, Pemda dan pengusaha. “Untuk mengakali publik, DPRD seringkali menyamarkan perusahaan miliknya dengan mencantumkan nama-nama kerabat dan anggota keluarga”, katanya.
Perusahaan-perusahaan tersebut, kata dia, umumnya mendapatkan priveles dengan memanfaatkan kekuasaan anggota DPRD.
“Hal ini membuat sudah hampir pasti banyak proses yang dicurangi hingga tahap pengerjaan”, jelas Lucius.
Informasi keterlibatan Hamsi dalam mafia proyek diberitakan Victory News (VN), koran yang berbasis di Kupang, Rabu.
Sekretaris Gerakan Anti Korupsi (Gerak), Benediktus Janur mengatakan kepada VN, “Patut diduga, dia (Ketua DPRD Manggarai Barat) mengatur proyek untuk keluarganya, mustahil kalau tidak,” ujar Benediktus.
Padahal, kata Benediktus, sebagai pejabat publik, mestinya Hamsi menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dan asas manfaat dari kuasa jabatannya.
Keterlibatan Hamsi mulai terkuak setelah salah satu proyek yang terindikasi bermasalah, diketahui dikerjakan oleh menantunya, pemilik CV Mahesa, yaang menjadi rekanan proyek Jalan Kenari-Golomori.
Meski mengakui kebenaran informasi terkait CV tersebut, namun Hamsi membantah sejumlah informasi yang menyebutkan bahwa dirinya yang mengerjakan proyek-proyek tersebut.
“Tidak benar (saya yang kerja proyek) itu ka. Mana bisa ketua DPRD kerja proyek”, katanya.
Tapi, ia tidak menampik bila keluarganya yang mengerjakan proyek. “Toh klo anak saya yang kerja, apakah dilarang oleh undang-undang? Kalau anggota DPRD kerja proyek, bisa dipenjara,” katanya. “Apakah karena saya jadi Ketua DRRD, lalu saya punya anak dan anak mantu harus mati? Yang terpenting tidak korupsi. Ini kan mau isi perut,” lanjut dia.
Kepada VN, Hamsi juga membantah adanya dugaan kolusi dan nepotisme di balik tender proyek tersebut sehingga memenangkan menantunya. Pasalnya, pengguna anggaran, kata dia, adalah eksekutif dan melalui mekanisme pelelangan.
Merespon dalih Hamsi, kata Lucius, memang benar tidak ada aturan UU yang membatasi anggota keluarga DPRD untuk mengerjakan proyek.
Akan tetapi, jelas dia, standar etis pejabat umumnya menghendaki ada garis tegas yang membatasi anggota keluarga untuk mengerjakan proyek tertentu. “Alasannya tak lain adalah menghindari konflik kepentingan”, tegas Lucius.
Menurutnya, seorang pejabat publik yang baik mesti bisa bersikap melampaui hukum, tidak hanya sekedar memenuhi prosedur hukum yang berlakui tetapi juga mempunyai nilai etis untuk apa yang dilakukannya.
“Mengatakan bahwa anggota keluarganya tidak dilarang UU untuk mengerjakan proyek memang tidak salah, tetapi tidak etis. Dan jika seorang pejabat tidak etis maka integritasnya akan mudah tergadai”, tegas Lucius.
Ia menambahkan, perilaku pejabat seperti ini masih primitif. “Dan pejabat yang selalu memanfaatkan celah hukum untuk berbuat jahat, akan merasa korupsi yang dilakukannya merupakan sesuatu yang biasa saja.”