Hukuman Warga Pemilik Lahan Terminal Kembur Bertambah; Berdampak Serius Bagi Kepemilikan Tanah Adat, Preseden Buruk Penerapan Hukum

Warga atau kelompok yang melakukan jual beli tanah adat tanpa sertifikat kepada pemerintah potensial diselidik dengan dugaan kerugian negara.

Floresa.co – Bertambahnya hukuman bagi Gregorius Jeramu, terpidana dalam kasus Korupsi Pengadaan Lahan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur setelah Kejaksaan Negeri Manggarai menang banding di Pengadilan Tinggi NTT Kupang merupakan preseden buruk penerapan hukum di Indonesia, menurut seorang aktivis sosial.

Kasus ini juga disebut akan berdampak serius bagi warga atau kelompok yang melakukan jual beli tanah adat tanpa sertifikat kepada pemerintah, karena berpotensi diselidik dengan dugaan kerugian negara.

Bernadinus Steni, Ketua Pengurus HuMa, lembaga advokasi di Jakarta yang fokus pada isu pembaharuan hukum yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam, mengatakan dalam putusan banding itu, “majelis hakim sama sekali tidak memedulikan fakta sosial-hukum yang berlangsung pada mayoritas masyarakat Manggarai maupun NTT atau bahkan sebagian besar warga Indonesia yang melakukan transaksi jual beli tanah adat tanpa suatu alas hak tertulis yang dikenal dalam hukum barat.”

“Cara pandang jaksa dan hakim dalam kasus ini amat serius karena memandang tradisi penguasaan tanah yang dijalani di Manggarai sebagai kesalahan, seolah-olah karena tidak memiliki alas hak, orang Manggarai seperti Gregorius adalah penumpang gelap yang tidak memiliki tanah di negeri ini,” katanya kepada Floresa, Jumat pagi, 10 Juni 2023.

“Masyarakat Manggarai, orang NTT, dan semua orang di republik ini yang menjual tanah warisannya berdasarkan status adat harus menyadari sepenuhnya implikasi putusan ini,” tambahnya.

Melalui putusan banding Nomor 10/Pid. sus-TPK/2023/PT kpg, Pengadilan Tinggi NTT menambah hukuman bagi Gregorius menjadi 4 tahun dari 2,6 tahun berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang.

Gregorius juga diwajibkan membayar denda sebesar 200 juta rupiah serta membayar ganti kerugian negara senilai 402 juta rupiah, sesuai harga tanahnya yang dijual kepada pemerintah untuk pembangunan terminal.

Steni mengatakan putusan Pengadilan Tinggi NTT tersebut berimplikasi bahwa semua tanah yang telah dijual kepada Pemerintah Daerah maupun Pusat selama ini yang dilakukan tanpa alas hak adalah proses yang cacat secara hukum.

Menurut Kejaksaan Manggarai dan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Tipikor di Kupang, kata dia,  jual beli tanah adat tanpa alas hak kepada pemerintah dapat menjadi tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, lanjutnya, jika putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap, maka warga atau kelompok yang melakukan jual beli tanah adat tanpa sertifikat kepada pemerintah potensial diselidiki dengan dugaan kerugian negara.

Ia mengatakan, putusan itu juga menunjukkan bahwa pengadilan tidak mengakui keberadaan hukum tanah yang selama ini mengakui penguasaan tanah secara turun temurun, lebih dari 20 tahun sebagai bentuk penguasaan yang sama dan setara dengan bukti hak tertulis.

“Karena itu, hakim secara implisit tidak mengakui program pemerintah yang saat ini menggalakkan pendaftaran tanah-tanah tanpa alas hak yang diperoleh dari tanah adat atau warisan,” ujarnya.

Steni juga menyatakan bahwa jaksa dalam surat dakwaan, proses persidangan hingga kontra memori banding beranggapan bahwa “seorang petani miskin seperti Gregorius yang tidak memiliki kekuasaan apapun mempunyai pengaruh yang amat powerful untuk mengatur jalannya sistem penganggaran di Pemerintah Daerah dan DPRD.”

“Konon, Gregorius mengatur proses anggaran agar menguntungkan dirinya sendiri. Meski tidak ada satupun bukti yang menunjukkan bahwa ‘kongkalikong’ itu terjadi, Gregorius dinyatakan bersalah,” ujarnya.

“Tidak perlu seseorang yang bergelar tinggi dan kedudukan hebat untuk melihat cacat pada anggapan semacam ini,” katanya.

Bagaimana mungkin, lanjut Steni, seorang petani sederhana seperti Gregorius bisa mempunyai kekuasaan semacam itu.

“Gregorius bukan seorang sarjana, politisi, bukan tokoh, bukan pejabat, bukan juga pengusaha. Ia hanya seorang rakyat jelata yang lugu dan kebetulan tanahnya ditawari oleh Pemerintah Daerah,” katanya.

“Jika anggapan jaksa diterima sebagai preseden dalam putusan, amat mudah hukum di negeri ini dipakai untuk menjerat siapa saja, terutama orang kecil seperti Gregorius,” tambahnya.

Penasehat Hukum Tidak Ajukan Memori Banding

Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi NTT disebutkan bahwa salah satu pertimbangan hakim menjatuhkan hukuman yang lebih besar terhadap Gregorius adalah Penasehat Hukum [PH] yang bersangkutan tidak mengajukan memori banding.

Karena itu, menurut putusan itu “tidak diketahui apa yang menjadi keberatan terdakwa terhadap putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Kupang tersebut.”

Sementara, Kantor Hukum ELO, pihak yang mendapat kuasa untuk menjadi penasehat hukum Gregorius tidak memberi tanggapan terkait alasan mereka tidak mengajukan memori banding.

Floresa sudah berupaya menghubungi Frans Ramli, direktur ELO, namun hingga kini, tidak ditanggapi.

Silvester Jehabut, putra sulung Gregorius mengatakan bahwa pihaknya sudah mengonfirmasi kepada penasehat hukum terkait alasan mereka tidak mengajukan memori banding.

Menurut penasehat hukum, kata dia, saat hendak mengajukan memori banding, pengacara yang ditugaskan untuk mengajukan itu terkena sakit.

“Saat mau antar memori banding, pengacara yang ditugaskan ke Kupang mengalami sakit,” katanya.

Ia mengatakan keluarga tetap berupaya untuk mencari keadilan bagi Gregorius dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Bermula dari Bangunan Terminal yang Mubazir

Kasus Terminal Kembur mulai diselidiki Kejaksaan Negeri Manggarai pada awal 2021, setelah ramainya pemberitaan media massa terkait kondisi bangunan yang rusak dan tidak difungsikan.

Dalam penyelidikan itu, jaksa memeriksa 25 orang saksi, termasuk Fansi Jahang dan Gaspar Nanggar, dua orang yang menjabat sebagai Kepala Dinas dan Kepala Bidang Angkutan Darat pada Dinas Perhubungan dan Informatika Manggarai Timur saat pembangunan terminal tersebut.

Selain itu, mantan Bupati Yoseph Tote serta kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Jaksa kemudian hanya mengusut terkait pengadaan lahan Terminal Kembur, di mana mereka menetapkan Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa sebagai tersangka pada akhir Oktober 2022. Sementara terkait pembangunan fisik terminal belum tersentuh sampai saat ini.

Gregorius didakwa dan kemudian dinyatakan bersalah karena menjual tanahnya yang belum bersertifikat untuk pembangunan terminal itu. Ia hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan [SPT PBB] sebagai alas hak.

Sementara Aristo yang berperan sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Manggarai Timur didakwa dan kemudian dinyatakan bersalah karena tidak meneliti status hukum tanah itu.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Pemerintah  menghabiskan anggaran sebesar Rp 4 miliar untuk pembangunannya, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015 dan 400 juta untuk pengadaan tanah. Namun, usai dibangun, terminal itu tidak dimanfaatkan dan kini kondisinya rusak.

Sejak penetapan tersangka Gregorius dan Aristo, warga di Kembur dan kelompok aktivis memprotes penanganan kasus ini, karena menilai aparat hukum hanya tajam terhadap rakyat kecil dan staf biasa di dinas dan melindungi pihak tertentu. Mereka menggelar beberapa kali aksi unjuk rasa, termasuk di kantor Kejaksaan Negeri Manggarai.

Laurensius Lasa, Ketua PMKRI Ruteng — organisasi mahasiswa yang selama ini ikut mengawal kasus ini — mengatakan kepada Floresa bahwa sebetulnya tanah itu tidak bermasalah, karena kepemilikannya oleh Gregorius sebelum dijual kepada pemerintah adalah sah sesuai hukum adat orang Manggarai.

Aksi unjuk rasa PMKRI Ruteng di depan Kejaksaan Negeri Manggarai pada Senin, 5 Juni 2023, mendesak pencopotan para jaksa yang menangani kasus Terminal Kembur. (Istimewa)

Hukum adat, kata dia, dikuatkan oleh UUD 1945 setelah amandemen ke-2 pada tahun 2000 pasal 18B yang menerangkan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Ia menambahkan, Gregorius menguasai tanah tersebut sejak 1980-an, hal yang juga diakui oleh tu’a golo (tua adat) Kembur.

Yang patut diusut dalam kasus ini, kata dia, adalah pembangunan fisik terminal yang mangkrak yang jelas telah merugikan keuangan negara dan menjadi fokus awal kejaksaan saat menangani kasus ini.

“Pilihan mengabaikan penyelidikan terhadap pembangunan fisik, tentu menimbulkan kecurigaan yang besar bagi masyarakat. Kami menduga Kejaksaan Negeri Manggarai telah bermain mata atau berselingkuh dengan beberapa pihak tertentu sehingga kasus pembangunan fisik ditutup rapat,” katanya.

“Kuat dugaan kami bahwa Kejari Manggarai telah menjadikan kasus Terminal Kembur sebagai ajang dalam praktik-praktik pemerasan,” tambahnya.

Bagi PMKRI, kata dia, proses hukum kasus ini kuat dengan tebang pilih sebab ada pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab, justru lolos.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA