Ragu Dapat Keadilan, Keluarga Tokoh Adat Besipae Tidak Ajukan Banding

Isteri Nikodemus Manao tidak yakin bahwa putusan pengadilan yang lebih tinggi akan berpihak pada suaminya yang ia anggap tidak bersalah

Baca Juga

Floresa.co – Keluarga Nikodemus Manao, tokoh adat Pubabu-Besipae yang divonis penjara karena kasus penganiayaan seorang ASN Provinsi NTT, menyatakan tidak mengajukan banding karena “tidak yakin akan adanya keadilan dalam perkara tersebut.”

“Pengadilan itu sama saja dari kabupaten sampai di pusat. Bagaimana mereka mau batalkan putusan pengadilan di sini?” katan Anida Manisa, Istri Nikodemus.

“Kami yakin bahwa meski pengadilan dunia ini menyatakan suami saya bersalah, tapi kami punya pengadilan di atas, yang berkuasa atas segalanya,” katanya merujuk pada Tuhan Allah, sesuai keyakinannya sebagai penganut Protestan.

Anida menyatakan dalam sebuah pernyataan kepada Floresa pada 1 Agustus,  Tuhan “menilai bahwa suami saya benar, tidak bersalah.”

Nikodemus dihukum 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] pada 24 Juli karena kasus penganiayaan Bernadus Seran, pegawai Dinas Peternakan Provinsi NTT.

Ia dinyatakan terbukti menganiaya Bernadus Seran pada 19 Oktober 2022, sehari sebelum penggusuran belasan rumah warga Besipae di lahan yang masih menjadi konflik dengan Pemerintah Provinsi NTT.

Jika dihitung sejak tanggal penangkapan Nikodemus pada 13 Februari 2023, maka ia akan bebas pada 12 Agustus.

Anida mengatakan bahwa dalam persidangan “suami saya tegas katakan dia tidak pernah sentuh saksi korban Bernadus Seran, apalagi pukul orang itu.”

“Biar sudah suami saya menjalani sisa masa tahanan. Saya bangga dengan suami saya yang tetap pertahankan kebenaran meski harus di penjara tanpa berbuat salah,” ujarnya.

Pegiat sosial yang mengawal kasus itu menilai putusan hakim tersebut tidak terlepas dari konflik monopoli dan perampasan tanah di hutan adat Pubabu-Besipae.

Putusan hakim tersebut, kata Fransisko Tukan dari Aliansi Solidaritas Besipae, “untuk menutupi kesalahan dari awal penangkapan Nikodemus.”

Padahal, kata dia, jika Nikodemus betul bersalah, mestinya ancaman hukuman terhadapnya 2,5 tahun, bukan 6 bulan penjara.

Namun, katanya, kendati Nikodemus tidak terbukti bersalah, “hakim takut membebaskan Nikodemus karena akan berdampak pada lembaga pemerintah lainnya.”

“Putusan hakim tersebut agar terkesan Nikodemus Manao pernah melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Kasus Nikodemus menambah pelik konflik antara warga adat Besipae dengan Pemerintah Provinsi NTT.

Menurut sejumlah dokumen yang diakses Floresa.co, ditarik ke belakang, polemik ini terjadi sejak 1982 ketika Pemprov NTT membangun kesepakatan dengan mereka untuk proyek percontohan Intensifikasi Peternakan, bekerja sama dengan Pemerintah Australia.

Pada saat itu, karena luas hutan adat Pubabu yang hanya 2.671,4 hektare, para tetua adat setempat sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan,  sehingga luas tanah yang dialokasikan untuk proyek tersebut menjadi 6.000 hektar.

Dalam prosesnya, setelah proyek itu tidak dilanjutkan, pemerintah provinsi memperkenalkan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan [Gerhan] di atas lahan 6.000 hektar tersebut, dengan skema Hak Guna Usaha [HGU] yang berlangsung dari 1988 hingga 2008.

Namun, selama proses ini, pada tahun 1995 pemerintah mengubah status hutan adat Pubabu-Besipae menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.

Dentang tahun 2003 hingga 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS juga juga melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare.

Karena rangkaian kebijakan tersebut, pada tahun 2008 masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan.

Di tengah penolakan warga, pada April 2008, pemerintah melalui sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan TTS kembali membabat sebagian wilayah hutan di Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan.

Aksi pembabatan hutan sepihak ini selanjutnya dilaporkan oleh masyarakat adat ke Komnas HAM pada 2009.

Dua tahun kemudian, Komnas HAM mengeluarkan surat himbauan agar menjaga situasi aman dan kondusif dan menghindari intimidasi terhadap warga sampai adanya solusi masalah tersebut.

Kendati gelombang protes terus terjadi. Pada Oktober 2012 pemerintah dituding mengkriminalisasi 17 masyarakat adat, di mana mereka dijebloskan ke dalam tahanan untuk beberapa bulan.

Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat yang meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan pertanian yang telah dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang kontraknya telah berakhir pada 2012.

Alih-alih menanggapi gelombang desakan masyarakat ini, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektar.

Sertifikat inilah yang diklaim Pemprov NTT sebagai dasar atas penguasaan hutan adat saat ini, yang membuat konflik dengan warga terus memanas.

Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam beberapa tahun terakhir Pemprov NTT berulang kali melakukan penggusuran terhadap pemukiman warga.

Penggusuran terakhir pada 20 Oktober 2022, sehari sebelum kasus dugaan penganiyaan yang dituduhkan kepada Nikodemus, tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020 selama masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini