Floresa – Meski masih dalam masa tanggap darurat, pemerintah sudah mengumumkan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi warga terdampak bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Kabupaten Flores Timur.
Pemerintah berencana memindahkan secara permanen pemukiman warga yang berada di dalam radius tujuh kilometer dari gunung itu karena dinilai tidak aman untuk ditempati.
Rencana relokasi permanen ini, kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BPNB] Suharyanto, dimulai dengan pendataan “masyarakat yang tidak bisa kembali ke tempat asalnya, karena dikhawatirkan akan timbul korban apabila kelak terjadi erupsi lagi.”
“Jadi, kami pastikan dalam radius tujuh kilometer betul-betul tidak ada aktivitas manusia di situ, sehingga harus direlokasi. Ini sudah mulai dilaksanakan pendataan,” ujar Suharyanto dalam konferensi pers di Posko Tanggap Darurat Bencana Alam Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Aula Kantor Bupati Flores Timur pada 7 November.
Untuk tempat relokasi, katanya, “ada beberapa aset tanah milik pemerintah daerah atau pun milik masyarakat.”
Rencana relokasi dan tempat relokasi ini dibahas lebih lanjut dalam rapat tingkat menteri yang akan dipimpin Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno.
Merujuk pada rehabilitasi dan rekonstruksi pada berbagai bencana sebelumnya, katanya, BNPB biasanya bekerja sama dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman untuk membangun rumah warga terdampak yang harus direlokasi.
Menurut Suharyanto, masyarakat di pengungsian rata-rata tidak keberatan ketika ditanya kesediaannya untuk direlokasi.
“Mereka mungkin trauma, apalagi begitu erupsi langsung meninggal sembilan orang,” katanya.
Lewotobi Laki-Laki erupsi pada 3 November malam, dengan masa tanggap darurat yang berlangsung hingga 31 Desember.
Mengacu pada pedoman yang diterbitkan BNPB, rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan bagian dari penanganan pascabencana selepas berakhirnya masa tanggap darurat.
Suryanto tidak menjelaskan alasan mengumumkan terlebih dahulu rencana ini.
Ia hanya menyebut bahwa erupsi ini merupakan yang terparah dalam 22 tahun terakhir, setelah erupsi sebelumnya pada 2002 yang tak menimbulkan korban jiwa.
Langkah relokasi, jelas Suharyanto, juga dilakukan pemerintah pasca meletusnya Gunung Semeru.
Gunung yang terletak di Kabupaten Malang dan Lumajang, Jawa Timur itu meletus efusif pada 4-6 Desember 2021 yang menyebabkan 51 orang tewas, 169 orang terluka, dan 22 orang hilang.
“Kalau seperti Semeru, karena tempat yang baru lebih bagus dan rumah di kampung lama yang ditinggal itu relatif tidak lebih bagus daripada rumah yang baru, dilepaskan haknya itu, supaya para penyintas yang sudah direlokasi itu tidak datang lagi ke rumah lamanya,” ujarnya.
Namun, Suharyanto menambahkan, konsep relokasi di Flores Timur akan sedikit berbeda dibandingkan di Semeru, karena di dalam radius tujuh kilometer dari Gunung Lewotobi, terdapat banyak aset masyarakat, seperti lahan pertanian dan peternakan.
Karena itu, “mungkin kita akan sampaikan, kita sarankan nanti dalam rapat tingkat menteri, bahwa rumahnya yang dipindah, direlokasi, tetapi aset-asetnya tetap menjadi milik masyarakat itu sendiri.”
“Jadi, [asetnya] tidak hilang. Yang tidak boleh adalah mereka mendirikan rumah tinggal lagi di situ,” ujarnya.
Warga, kata dia, masih bisa melakukan aktivitas pertanian dan peternakan, dengan tetap memperhatikan aktivitas Lewotobi, berdasarkan informasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
“Tidak mungkin sama sekali dilarang [beraktivitas dalam] radius di bawah tujuh kilometer itu,” ujarnya.
Karena itu, ke depan BNPB akan memasang alat peringatan dini atau early warning system “yang lebih canggih.”
Alat serupa, kata dia, sudah dipasang di Gunung Marapi di Sumatera Barat dan Gunung Ibu di Halamahera Barat, Maluku Utara.
Selain merelokasi pemukiman warga, kata Suharyanto, Jalan Trans Flores jalur Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka juga perlu ditinjau lagi, karena letaknya yang berada dalam radius tujuh kilometer.
“Apakah jalan itu nanti harus dipindahkan? Ini merupakan hal yang harus dilakukan dalam jangka menengah dan jangka panjang,” ujarnya.
Dalam jangka pendek, “untuk keselamatan masyarakat,” di bawah koordinasi kepolisian, akses Jalan Trans Flores itu diberlakukan sistem buka tutup.
“Kalau memang betul-betul penting dan memang ini untuk kebutuhan hajat hidup orang banyak, lalu Kepala PVMBG dan para ahlinya mengatakan ‘bisa lewat,’ itu baru bisa lewat,” katanya.
“Kalau tidak bisa lewat, ya kita tutup. Dasarnya adalah untuk kepentingan masyarakat,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala PVMBG, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Hadi Wijaya berkata, Lewotobi Laki-Laki masih terus erupsi pasca erupsi efusif pada 3 November malam.
Ada dua tipe erupsi yang terjadi, kata Hadi.
Pertama, erupsi dengan abu vulkanik sampai pada ketinggian maksimum 2.500 meter.
Kedua, erupsi dengan tipe lelehan lava pijar atau erupsi efusif sampai pada radius sejauh 1.500 meter.
Karena itulah, Hadi mengatakan, PVMBG dan BNPB meminta pengungsi untuk tidak masuk ke dalam radius tujuh kilometer.
“Saya harapkan, pengungsi tidak sering menengok rumahnya. Itu harus diantisipasi betul,” ujar Hadi.
PVMBG, kata Hadi, sudah meninjau lokasi lubang-lubang batu pijar atau lava.
Tim menemukan ada lubang dengan panjang diameter “sangat luas yaitu 13 meter” dan kedalaman sampai lima meter.
“Bahkan di sekolah yang ambruk itu, jatuhnya batu pijar membentuk lubang [dengan diameter] sampai 5 meter dengan kedalam 2 meter. Artinya, ini sebuah fenomena dan karakteristik yang berbeda dengan [erupsi] Januari dan tahun-tahun sebelumnya di Gunung Lewotobi,” ujarnya.
Tim PVMBG, tambahnya, juga sedang mengecek seberapa banyak lubang yang terbentuk dari lontaran batu pijar.
“Itu menjadi landasan kami membuat peta updating kawasan rawan bencana [KRB] III, II dan I. Karena hal itu akan menjadi pertimbangan penting untuk BNPB dalam menentukan relokasi warga,” ujar Hadi.
Kondisi Para Pengungsi
Kepala BPNB Suharyanto mengatakan, erupsi efusif yang terjadi pada 3 November malam menyebabkan sembilan orang meninggal.
Meski terjadi erupsi susulan pada hari-hari selanjutnya, hingga 7 November pagi tidak ada tambahan korban meninggal, kata Suharyanto.
“Per hari ini tetap sembilan yang meninggal dunia, satu orang yang awal-awal dilaporkan kritis, sekarang kondisinya sudah membaik. Memang harus diamputasi kaki sebelah kiri dan kaki kanan yang patah juga dalam proses pemasangan pen,” ujarnya.
“Kami sendiri sudah menengok dan memberikan bantuan. Mudah-mudahan bisa diselamatkan,” tambahnya.
Selain korban meninggal dunia, BNPB juga mendata terdapat 31 orang yang dilaporkan mengalami luka berat. Sebanyak empat orang masih dirawat di RSUD Larantuka, Flores Timur.
“Kita sudah tengok, rata-rata kondisinya membaik,” kata Suharyanto.
Warga yang mengungsi akibat erupsi ini tersebar di sejumlah tempat, baik di Kabupaten Flores Timur maupun Kabupaten Sikka.
Di wilayah Flores Timur, sebut Suharyanto, warga mengungsi di tiga lokasi yaitu Kampung Lewolaga sebanyak 693 orang; Kampung Bokan sebanyak 692 orang dan Kampung Konga sebanyak 1.372 orang.
Di Sikka, juga tersebar di tiga titik, dengan total 1.790 pengungsi. Namun, ia tak merinci lokasi masing-masing.
“Hari keempat ini penanganan pengungsi relatif sudah lebih baik daripada hari-hari pertama,” ujarnya.
Meski sudah membaik, ia menambahkan, saat ini, pengungsi masih membutuhkan alat memasak, yang secara bertahap akan dipenuhi BNPB.
Sedangkan untuk air bersih, katanya, selain dikirim melalui tangki, juga akan diusahakan sumur bor.
“Ada beberapa sumur bor yang semula memang tidak bisa beroperasi karena kekurangan jaringan listrik, secara lambat laun ini akan bisa difungsikan kembali,” ujarnya.
Kebutuhan lain yang saat ini sedang diupayakan adalah tempat tidur dan fasilitas Mandi Cuci Kakus [MCK] portable.
“Mendengar penjelasan Pak Hadi tadi, pengungsian ini membutuhkan waktu yang cukup lama, karena tentu saja masyarakat di bawah tujuh kilometer lingkaran Gunung Lewotobi ini tidak boleh kembali ke tempatnya masing-masing walaupun di luar zona bahaya,” ujar Suharyanto.
Sembari menunggu proses relokasi hunian, Suharyanto mengatakan, dalam jangka pendek, ada beberapa strategi yang dilakukan BNPB agar warga tidak bertahan lama di lokasi pengungsian.
Sebelum rumah di tempat relokasi selesai dibangun, kata dia, pemerintah menawarkan pengungsi untuk bisa menumpang rumah kerabat.
Opsi lain, terutama bagi yang tak punya kerabat, akan dibangunkan hunian sementara.
“Untuk hunian sementara ini kita sedang berkoordinasi dengan pemerintah daerah,” katanya.
Lokasinya, jelas dia, pada titik-titik atau tempat yang bisa diterima masyarakat.”
Baik pengungsi yang menumpang di rumah kerabat maupun di huntara, kata Suharyanto, akan mendapatkan Dana Tunggu Hunian sebesar Rp500 ribu per bulan, hingga hunian tetap di tempat relokasi selesai dibangun.
“Kami targetkan enam bulan bisa selesai [hunian tetap], sehingga dana tunggu huniannya adalah Rp500 ribu, dikali enam bulan, atau sebesar Rp3 juta per kepala keluarga,” ujarnya.
Editor: Petrus Dabu