Minta Maaf Soal Larangan Merekam Saat Wawancara, Kejari Manggarai Sebut Tidak Ada Batasan Penggunaan Alat Jurnalistik

Instansi tersebut berjanji akan melakukan evaluasi seraya menegaskan tidak ada SOP khusus yang melarang jurnalis merekam wawancara

Floresa.co – Kejaksaan Negeri [Kejari] Manggarai menyebut larangan merekam saat jurnalis Floresa melakukan wawancara di institusi itu sebagai miskomunikasi, mengklaim tidak ada batasan untuk menggunakan alat jurnalistik.

Hal tersebut merespons tindakan seorang resepsionis yang melarang Mikael Jonaldi, salah satu jurnalis Floresa merekam saat melakukan wawancara, mengklaim hal itu sesuai dengan ketentuan internal instansi itu.

Dalam pertemuan dengan dua jurnalis Floresa pada 9 Januari, Kepala Kejari Manggarai, Fauzi berkata kejadian tersebut bukanlah kesengajaan dan menyebutnya sebagai miskomunikasi. 

Ia mengaku instansinya tidak mempunyai Prosedur Operasional Standar atau Standard Operating Procedure [SOP] khusus yang melarang jurnalis merekam saat melakukan liputan.

“Mohon maaf untuk kejadian kemarin. Sebenarnya, kami tidak membatasi wartawan untuk menggunakan alat jurnalistik mereka,” kata Fauzi.

Fauzi mengaku “kaget mendengar larangan tersebut dan langsung meminta evaluasi dari petugas di lapangan.” 

Ia menegaskan “jurnalis adalah mitra penting kejaksaan dan masukan dari Floresa sangat berharga bagi kami untuk melakukan evaluasi ke depan.”

“Dunia ini tidak ada yang sempurna, dan kami juga manusia yang bisa berbuat salah,” katanya.

Kepala Seksi Intelijen, Zaenal Abidin Simarmata yang turut hadir dalam pertemuan itu juga meminta maaf atas adanya larangan tersebut.

“Kami memahami bahwa Floresa selalu menjalankan tugas secara profesional, namun memang kesalahan sepenuhnya ada di pihak kami terkait insiden yang terjadi kemarin,” ungkapnya.

Ia mengaku peristiwa itu terjadi karena “saya kurang memberikan briefing atau arahan kepada petugas.”

Karena itu, kata dia, “kami akan melakukan evaluasi agar SOP penerimaan tamu dan jurnalis lebih jelas di masa depan.” 

Baik Fauzi maupun Zaenal berkomitmen menjadikan insiden ini sebagai pelajaran dan berjanji meningkatkan komunikasi serta hubungan dengan media. 

“Kami akan memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak terulang kembali,” kata Fauzi.

Sementara itu, Mikael Jonaldi berkata “saya hanya menjalankan tugas sebagai jurnalis dan ingin menyampaikan informasi kepada publik.” 

“Larangan seperti ini menghambat tugas kami dan bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik,” katanya.

Pantauan Floresa, larangan membawa ponsel atau alat perekam juga tidak dicantumkan pada papan informasi di kantor Kejari Manggarai.

Bagaimana Duduk Soal?

Larangan merekam saat melakukan wawancara disampaikan oleh seorang resepsionis Kejari Manggarai kepada Mikael Jonaldi, seorang jurnalis Floresa pada 7 Januari.

Saat itu, Jonaldi hendak meliput perkembangan kasus korupsi yang melibatkan dua mantan petinggi PT Manggarai Multi Investasi [PT MMI].

Jonaldi hendak meminta informasi lebih lanjut terkait alasan penetapan tersangka yang hanya menyasar eks petinggi PT MMI, sementara kontraktor proyek pengadaan tong sampah dari CV Patrada yang merugikan negara hingga Rp1,2 miliar masih bebas.

Namun, saat tiba di Kejari Manggarai, seorang resepsionis melarang Jonaldi merekam menggunakan ponsel, kecuali “membawa alat perekam khusus.”

Menurut resepsionis itu, larangan tersebut sesuai dengan SOP kejaksaan dan meminta agar Jonaldi meninggalkan ponselnya dan hanya mencatat poin-poin penting menggunakan alat tulis yang disediakan. 

Resepsionis itu juga mengklaim bahwa larangan ini berlaku untuk semua pihak, termasuk jurnalis.

Larangan itu dikecam oleh organisasi advokasi kebebasan pers dan jurnalis, menyebut hal itu sebagai bentuk upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers [LBH Pers], Ade Wahyudin menyebut pelarangan perekaman oleh jurnalis saat melakukan liputan kasus-kasus publik seharusnya tidak dilakukan. 

Ia berkata, ada unsur kepentingan publik yang besar di dalam peliputan dan transparansi penegakan hukum.

Hal itu, katanya, harusnya dipenuhi oleh kejaksaan. 

“Pelarangan perekaman di tempat publik dapat menghambat kerja-kerja jurnalistik,” kata Ade kepada Floresa.

Sementara Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia [AJI], Bayu Wardhana berkata, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, jurnalis boleh menggunakan alat apa saja.

“Kejaksaan punya hak tidak mau diwawancarai atau diam, tetapi tidak bisa mengatur penggunaan alat kerja jurnalis tanpa dasar yang kuat,” kata Bayu. 

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA