Wartawan Dilarang Merekam Saat Liputan di Kejaksaan Negeri Manggarai dengan Dalih Sesuai SOP Instansi, LBH Pers dan AJI Sebut Bentuk Penghalangan Kerja Jurnalistik

Kejaksaan punya hak tidak mau diwawancarai atau diam, tetapi tidak bisa mengatur penggunaan alat kerja jurnalis tanpa dasar yang kuat, kata AJI

Floresa.co – Staf di Kejaksaan Negeri Manggarai, NTT melarang salah satu jurnalis Floresa merekam saat melakukan wawancara, mengklaim hal itu sesuai dengan ketentuan internal instansi itu.

Sementara itu, organisasi advokasi kebebasan pers dan jurnalis menyebut hal itu sebagai bentuk upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik.

Pelarangan itu dialami oleh Mikael Jonaldi, jurnalis Floresa yang bertugas di Kabupaten Manggarai pada 7 Januari saat ia hendak meliput skandal korupsi dua eks petinggi BUMD Kabupaten Manggarai, PT Manggarai Multi Investasi [PT MMI].

Jonaldi hendak meminta informasi lebih lanjut soal alasan penetapan tersangka yang hanya menyasar eks petinggi PT MMI, sementara kontraktor dari CV Patrada dalam proyek pengadaan tong sampah yang merugikan negara mencapai Rp1.294.236.543 itu masih melenggang. 

Saat tiba di kejaksaan pada pukul 10.18 Wita, Jonaldi meminta kepada resepsionis untuk bertemu Kepala Seksi Intel Kejari Manggarai, Zaenal Abidin Simarmata, namun ia disebut tidak ada di tempat.

Kepala Pidana Khusus, Leonardo Krisnanta Da Silva menolak untuk dijumpai, tetap mengarahkan Jonaldi bertemu Zaenal. 

Zaenal baru mengabari pukul 13.45 dan menjanjikan bertemu pada pukul 14.00.

“Saya langsung ke resepsionis memberitahu kalau saya sudah kontak dan janjian wawancara Kepala Seksi Intel,” kata Jonaldi.

Namun, resepsionis melarangnya merekam menggunakan ponsel, kecuali “membawa alat perekam khusus.”

“Resepsionis juga memberitahu Kasi Intel juga titipkan ponselnya,” kata Jonaldi.

Jonaldi berkata resepsionis kejaksaan juga mengklaim bahwa kepala dinas yang datang ke kejaksaan juga dilarang membawa masuk ponsel.

Larangan itu, kata resepsionis, sesuai dengan Prosedur Operasional Standar atau Standard Operating Procedure [SOP] kejaksaan. 

“Saya masuk tanpa membawa ponsel dan hanya mencatat poin-poin penting setelah diberikan alat tulis,” kata Jonaldi.

Ditemui kembali pada 8 Januari soal isi SOP, resepsionis itu berkata hanya menjalankan tugas sesuai arahan pimpinan.

Sambil menolak namanya ditulis, ia berkata, SOP itu sudah berlaku sejak 2024, namun “tanggalnya saya tidak ingat.” 

SOP itu, kata dia, berlaku untuk semua, termasuk bagi para jurnalis yang lainnya. 

Saat Floresa memberitahu bahwa ada jurnalis lain yang masih bisa diizinkan membawa ponsel, ia berdalih hal itu terjadi karena “sudah diizinkan pimpinan.”

Ditanya soal SOP itu yang berpotensi bertentangan dengan akses informasi dan aturan soal keterbukaan informasi publik, ia berkata, hal itu  “bisa langsung tanya ke pimpinan.” 

Floresa telah meminta penjelasan hal ini ke Kasi Intel Zaenal. Namun, hingga berita ini diterbitkan dia tidak merespons.

Pantauan Floresa, di kantor kejaksaan tidak terdapat papan informasi terkait larangan membawa ponsel, termasuk saat wawancara.

Di kantor itu hanya ada papan informasi SOP pelayanan tamu di Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau resepsionis. 

Menghambat Kerja Jurnalistik

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers [LBH Pers], Ade Wahyudin menyebut pelarangan perekaman oleh jurnalis saat melakukan liputan kasus-kasus publik seharusnya tidak dilakukan. 

Ia berkata, ada unsur kepentingan publik yang besar di dalam peliputan dan transparansi penegakan hukum.

Hal itu, katanya, harusnya dipenuhi oleh kejaksaan. 

“Pelarangan perekaman di tempat publik dapat menghambat kerja-kerja jurnalistik,” kata Ade kepada Floresa.

Sementara Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia [AJI], Bayu Wardhana berkata, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, jurnalis boleh menggunakan alat apa saja.

Pengecualian untuk merekam atau mengambil video, kata Bayu, hanya berlaku di wilayah tertentu seperti di instansi militer, dengan alasan menjaga kerahasiaan alat militer. 

Alih-alih melarang jurnalis merekam, kata dia, kejaksaan bisa menggunakan haknya, termasuk meminta off the record jika selama wawancara ada hal yang tidak mau direkam.

“Kalau narasumber meminta off the record, jurnalis bisa mematikan alat perekam atau video,” kata Bayu.

Ia menjelaskan, pelarangan merekam dengan dalil SOP oleh kejaksaan  sudah bertentangan dengan Undang-Undang Pers No 40/1999. 

Pers, katanya, boleh melakukan liputan di ruang-ruang publik.

“Kejaksaan punya hak tidak mau diwawancarai atau diam, tetapi tidak bisa mengatur penggunaan alat kerja jurnalis tanpa dasar yang kuat,” kata Bayu. 

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA