Satpol PP di Manggarai Barat Hapus Tulisan Kritik terhadap Revisi UU TNI

Tulisan tersebut dianggap merusak fasilitas umum

Floresa.co – Satuan Polisi Pamong Praja [Satpol PP] Kabupaten Manggarai Barat menghapus tulisan kritikan penolakan masyarakat atas pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia [TNI].

Tulisan “Cabut RUU TNI” dan “Tendang TNI Kembali ke Barak” sempat terlihat di pagar tembok Yayasan Pendidikan Arnoldus, Jalan Wae Mata, Labuan Bajo pada 21 Maret, sehari setelah revisi Undang-Undang TNI disahkan DPR RI.

Namun, tulisan bernada protes tersebut dengan dihapus oleh Satpol PP, menyebut tulisan tersebut sebagai vandalisme.

Kepala Satpol PP, Yeremias Ontong beralasan tulisan tersebut merusak fasilitas umum.

“Kalau mau menolak RUU Revisi UU TNI, ada salurannya. Ini isu yang sangat sensitif, sehingga kondusifitas perlu dijaga,” ujarnya.

Ontong mengklaim, penghapusan tulisan protes tersebut bukan bentuk pembungkaman kritik, melainkan penegakan aturan.

“Kalau menolak bisa dilakukan demo sesuai dengan perundang-undangan, jangan menulis di tembok,” imbuhnya. 

Demonstrasi itu, katanya, tidak dilarang. 

“Jangan sembunyi-sembunyi, tidak ada yang larang,” ujarnya.

Ia mengatakan menerima laporan dari warga mengenai “aksi vandalisme tersebut pada pukul 14.55 Wita” pada 21 Maret.

Menerima laporan itu, timnya kemudian segera mengambil tindakan dengan mengecat ulang tembok untuk menghapus tulisan itu.”

Hingga kini, belum diketahui orang yang melakukan aksi itu. 

‘Tendang TNI Balik ke Barak,’ salah satu tulisan di tembok Yayasan Pendidikan Arnoldus Labuan Bajo, bagian dari protes terhadap pengesahan Revisi UU TNI. (Dokumentasi Floresa)

Revisi Undang-Undang TNI yang disahkan pekan lalu menuai protes dari berbagai elemen masyarakat, terutama terkait perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. 

Sebelumnya, hanya ada 10 kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh TNI aktif. Dalam revisi ini, ada penambahan menjadi 14.

Perluasan peran TNI dikhawatirkan menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI, praktik yang terjadi selama era pemerintahan Presiden Soeharto [1968-1998].

Pada era yang disebut dengan Orde Baru itu, TNI yang saat itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia [ABRI], tak hanya berperan di bidang pertahanan negara, tetapi juga dalam politik praktis dan birokrasi pemerintahan.

Gerakan Reformasi 1998, yang menumbangkan kekuasaan Soeharto kemudian menuntut agar tentara hanya berperan di bidang pertahanan negara dan membatasi peran mereka di institusi sipil.

Salah satunya yang menjadi sorotan dalam revisi ini adalah “membantu dalam menanggulangi menanggulangi ancaman siber.”

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Digital Democracy Resilience Network menyatakan revisi UU TNI ini “mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital, seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi.”

Terkait dengan fungsi TNI “membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber,” koalisi itu menyebut pasal ini bersifat karet dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber. 

“Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi daring,” tulis mereka dalam pernyataan yang diterima Floresa.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

iklanspot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA