Floresa.co – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung bersama Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi melakukan kunjungan kerja ke Kupang, NTT pada 28 April.
Dalam kunjungan itu, mereka akan menggelar rapat koordinasi tentang percepatan pengembangan geotermal di Flores yang mengundang semua bupati se-NTT.
Dalam surat undangan bernomor BU.000.1.5/83/ESDM/2025 yang salinannya diperoleh Floresa, Sekretaris Daerah NTT, Kosmas D. Lana menjelaskan bahwa “rapat ini merupakan tindak lanjut dari surat Dirjen EBTKE tertanggal 26 Maret 2025 dengan nomor T-851/EK.04/DJE.P/2025.”
Rapat koordinasi ini bertujuan “membahas strategi dan langkah sinergis antara pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi NTT, dan pemerintah kabupaten serta Ketua DPRD NTT terkait percepatan pengembangan geotermal di Flores.”
Mengingat pentingnya pertemuan ini, tulis Kosmas, “diharapkan kehadiran para bupati untuk hadir secara langsung tanpa diwakili.”
Mereka juga diminta “membawa data dukung terkait potensi dan perkembangan pengembangan geotermal di wilayah masing-masing.”
Selain para bupati se-Flores, rapat itu juga mengundang sejumlah instansi dan perusahaan yang memiliki proyek geotermal di Flores.
Diantaranya ada Direktur Manajemen Proyek dan EBT Kantor Pusat, EVP Divisi Panas Bumi, General Manager Unit Induk Wilayah Provinsi NTT, serta General Manager Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara.
Beberapa perusahaan pengembang geotermal yang diundang antara lain PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengerjakan sejumlah proyek geotermal seperti di Poco Leok Kabupaten Manggarai dan di Mataloko, Kabupaten Ngada; PT Sokoria Geothermal Indonesia, pelaksana proyek di Sokoria, Ende; PT Daya Mas Nage Geothermal yang memenangi lelang proyek baru di Nage, Kabupaten Ngada; dan PT Geo Dipa Energi yang mengerjakan proyek di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.
Dua organisasi advokasi yang juga diundang adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Cabang NTT dan lembaga Gereja Katolik Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation – Societas Verbi Divini (JPIC-SVD).
Pertemuan dijadwalkan berlangsung pukul 14.00 Wita di Ruang Rapat Gubernur NTT, Gedung Sasando yang dipimpin langsung oleh Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung.
Sebelumnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena telah menggelar pertemuan serupa dengan para bupati se-NTT dan perwakilan perusahaan pengelola proyek geotermal.
Dalam rapat yang berlangsung pada 9 April itu, Melki berjanji akan membentuk tim investigasi khusus guna mengevaluasi proyek-proyek yang menuai penolakan.
Ia menekankan pentingnya pembentukan tim ini “supaya tidak saling klaim benar sendiri,” seraya menyatakan bahwa semua pihak—pemerintah, perusahaan, tokoh adat, tokoh agama, dan ahli lingkungan—akan turun langsung ke lokasi proyek.
Perwakilan perusahaan seperti PT PLN dan PT Sokoria Geothermal Indonesia yang hadir dalam rapat itu membela proyek mereka, menyatakan bahwa “semua operasional telah memenuhi standar lingkungan yang ketat” dan “tidak berdampak buruk terhadap sumber air maupun kesehatan masyarakat.”
Namun, Melki menegaskan bahwa semua klaim itu perlu diverifikasi langsung di lapangan.

Floresa menghubungi Melki pada 26 April, menanyakan perkembangan pembentukan tim investigasi yang klaimnya akan mulai bekerja usai Paskah.
Dalam balasannya pada 27 April, ia menyebut pembentukan tim itu “masih dalam proses” lantaran masih menunggu “usulan nama-nama dari Keuskupan dan pihak lainnya untuk kemudian ditetapkan dalam surat keputusan sebagai tim (investigasi).”
Ia mengklaim, tugas utama tim ini adalah untuk “melakukan uji petik” terhadap mesin Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan lokasi operasionalnya.
Uji petik merujuk pada pengujian atau verifikasi langsung terhadap kualitas dan kondisi fasilitas, termasuk apakah mesin tersebut berfungsi dengan baik dan apakah lokasi proyek sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Rapat pada 9 April itu juga yang akan digelar pada 28 April terjadi di tengah derasnya penolakan dari berbagai elemen terhadap proyek geotermal di Flores.
Pemerintah telah menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017, dengan 21 titik yang tersebar di sepanjang pulau hingga Lembata di sebelah timur.
Proyek-proyek ini memicu perlawanan dari warga setempat, selain karena dekat dengan pemukiman dan lahan mereka, juga setelah melihat sejumlah persoalan lingkungan yang mencuat.
Gerakan penolakan telah muncul di berbagai lokasi, seperti di Poco Leok, Wae Sano, Mataloko, Sokoria hingga Atadei.
Salah satu yang terus menjadi sorotan adalah proyek di Mataloko yang gagal berulang sejak mulai dikerjakan pada lebih dari dua dekade lalu dan kini terus memunculkan lubang semburan lumpur di lokasi sekitar.
Sejumlah soal ini mendorong Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden menyatakan penolakan terbuka pada Januari, yang ia sebut setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.”
Ia juga mendorong resistensi umat dan masyarakat dengan memberikan perhatian dan informasi, baik yang “ilmiah maupun (mendengarkan) kesaksian dari orang-orang di Sokoria dan Mataloko.”
Suara penolakan kemudian disampaikan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada bulan lalu.
Selain Uskup Budi, lima uskup lain yang meneken surat itu adalah Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.
Dalam surat itu, para uskup menyatakan, “eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Para uskup menilai Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.
Selain itu mereka menilai proyek geotermal di kawasan itu bertentangan dengan arah utama pembangunan “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”
Kendati mengakui adanya gerakan penolakan dari warga dan lembaga Gereja Katolik, Dirjen EBTK Eniya Listiani Dewi dalam sebuah pernyataan pada 14 April berkata, pihaknya tetap berusaha memanfaatkan geotermal untuk menggantikan bahan bakar diesel di Flores.
“Mudah-mudahan, Flores itu, Insya Allah kita bisa jadikan Geothermal Island. Jadi, di situ panas buminya luar biasa,” katanya dalam konferensi pers The 11th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2025 di Jakarta.
Eniya berkata, panas bumi menjadi satu-satunya energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan di Flores dan sudah mempertimbangkan sumber energi terbarukan lainnya, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Namun, katanya, kawasan Flores terlampau panas dan tandus, sehingga PLTA sulit untuk dikembangkan, sementara pemasangan panel surya membutuhkan lahan yang luas.
“Satu-satunya anugerah dari alam (yang bisa dimanfaatkan) itu panas bumi,” katanya.
Ia menjelaskan, pemerintah berupaya menemukan pengganti diesel di Flores karena tingginya bebasan subsidi yang mencapai Rp1 triliun setahun.
Eniya mengakui masifnya suara penolakan warga di daerah lingkar proyek geotermal, termasuk dari para uskup yang khawatir dengan dampak sosial dan lingkungan.
“Terus terang, saya sedang didemo di Flores. Kami sedang berkomunikasi intens dengan Pak Gubernur (NTT). Mudah-mudahan nanti (suasana) bisa cair di Flores,” katanya.
Pemerintah, kata Eniya, juga secara intens berkomunikasi dengan Keuskupan Agung Ende bersama perusahaan geotermal yang mengerjakan proyek di wilayah itu.
Editor: Ryan Dagur