Floresa.co – Koalisi Cek Fakta yang merupakan gabungan dari beberapa organisasi media dan jurnalis menggelar audiensi dengan Dewan Pers pekan ini, membahas upaya perlindungan bagi pemeriksa fakta yang rentan dengan ancaman.
Digelar di kantor Dewan Pers pada 3 Juni, audiensi dihadiri perwakilan koalisi, yang mencakup Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).
Dalam pernyataan pers pada 7 Juni, koalisi menyatakan audiensi itu merupakan “respons terhadap meningkatnya ancaman yang dihadapi oleh pemeriksa fakta di Indonesia dalam menjalankan tugas mereka.”
Ancaman itu mencakup intimidasi, tekanan hukum dan kekerasan digital.
Mia Delliana Mochtar dari AMSI memaparkan pentingnya peran pemeriksa fakta dalam memastikan kebenaran informasi di tengah maraknya penyebaran hoaks.
Namun, kata dia, ancaman yang kerap dialami pemeriksa fakta menuntut upaya perlindungan.
Menurut koalisi, dari hasil survei terhadap 39 respons yang terlibat dalam cek fakta, 10 di antaranya pernah mendapat ancaman.
Salah satunya contohnya adalah doxing terhadap pemeriksa fakta Liputan6 sehingga mereka harus mengungsi ke rumah aman dan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Doxing merujuk pada tindakan mengungkapkan informasi pribadi seseorang kepada publik, dengan motif untuk menyakiti atau mengancam.
Selain itu, ada juga pemeriksa fakta yang mengundurkan diri.
Survei tersebut juga menunjukkan 21,05% responden pernah mengalami intimidasi saat mempublikasikan konten cek fakta, terutama terkait politik, satir, kesehatan, pemilu dan sepak bola.
“Dampak yang ditimbulkan meliputi trauma, keengganan menulis artikel, bahkan berhenti dari profesi pemeriksa fakta.”
Hasil survei koalisi menyimpulkan perlindungan bagi pemeriksa fakta penting menjamin kebebasan dalam bekerja, mencegah intimidasi fisik maupun psikis, mengatasi serangan digital dan menjaga independensi serta kepercayaan publik.
Naharin Ni’matun, Koordinator AJI Indonesia berkata, pemeriksa fakta yang terancam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memerlukan perlindungan khusus.
Karena itu, ia mengusulkan agar pemeriksa fakta dapat dikategorikan sebagai Human Rights Defender atau pembela HAM, selain menyediakan SOP pendampingan dan kerja sama dengan lembaga strategis seperti Dewan Pers.
“Harapannya agar karya cek fakta mendapat hak serupa karya jurnalistik,” kata Naharin.
Mendukung gagasan pemeriksa fakta sebagai pembela HAM, Direktur Eksekutif AMSI Felix Lamuri berkata, “penting membangun jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan.”
Merespons aspirasi itu, Abdul Manan, anggota Dewan Pers menyarankan koalisi membuat pemetaan atau klasterisasi pemeriksa fakta, apakah wartawan atau bukan, yang akan berpengaruh dalam mekanisme perlindungan.
Sementara itu, Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis mengusulkan membentuk jejaring pengaman bagi pemeriksa fakta non-jurnalis melalui Tim Advokasi Untuk Demokrasi.
Tim itu mencakup pengacara publik dari lembaga seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta beberapa lembaga pro bono.
Erick menyoroti yurisprudensi dimana pembela HAM tidak bisa dipidana secara hukum karena kegiatannya, termasuk kerja-kerja cek fakta.
Koalisi Cek Fakta menyatakan usai audiensi ini mereka akan merumuskan rencana aksi untuk mengimplementasikan langkah-langkah perlindungan yang untuk diaplikasikan di tingkat lokal maupun nasional.
Koalisi Cek Fakta yang didirikan pada tahun 2018 merupakan inisiatif bersama antara AJI, AMSI, dan MAFINDO. Anggotanya telah berkembang dari 25 menjadi 100 media daring.
Editor: Ryan Dagur