Floresa.co – Kabupaten Flores Timur, NTT mencatat tren peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama tiga tahun terakhir, dengan penambahan rata-rata hampir 20 kasus per tahun.
Menurut para aktivis perempuan dan anak, hal ini dipicu sejumlah soal, termasuk normalisasi kekerasan dan kentalnya budaya patriarki.
Menurut data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P2KBP3A) kabupaten itu, terdapat 66 kasus pada 2022, meningkat jadi 84 kasus pada 2023 dan 101 kasus pada tahun lalu.
Bentuk kekerasan pun beragam, mulai dari kekerasan seksual hingga penelantaran rumah tangga.
Untuk tahun ini, menurut Joria Parmin, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan di dinas itu, telah terjadi 31 kasus.

“Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lagi panen-panennya,” katanya baru-baru ini.
Ia berharap semua pihak bersama-sama mengambil tindakan untuk menghentikan hal ini.
Jumlah kasus tahun ini, kata Joria, “diprediksi akan terus bertambah jika kita hanya berharap pada pemerintah.”
Apa Pemicunya?
Benedikta Da Silva Noben yang akrab dikenal Mama Noben, aktivis pemerhati perempuan dan anak berbasis di Larantuka berkata, salah satu pemicu tingginya jumlah kasus adalah minimnya kesadaran tentang kesetaraan gender.
Hal ini juga dipicu oleh budaya patriarki di Flores Timur yang masih kental, di mana laki-laki dianggap lebih superior ketimbang perempuan.
Budaya seperti ini, kata Mama Noben, juga berdampak pada anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah hal normal.
“Ketika perempuan mengalami kekerasan, baik pelecehan ataupun kekerasan dalam rumah tangga, mereka memilih diam daripada harus melapor ke penegak hukum.”
Di sisi lain, melapor kasus seperti ini kerap dianggap “membongkar aib keluarga.”

Sementara itu Putri Efara, seorang aktivis perempuan memberi catatan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak “bukan sekadar masalah moral atau individu, melainkan cerminan struktur sosial yang timpang dan partiarkis.”
Ia menjelaskan, kekerasan terhadap terhadap perempuan dan anak terkait dengan relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan.
Di sisi lain, ia juga melihat kaitan antara struktur patriarki dan kapitalisme, di mana perempuan dan anak seringkali dianggap sebagai “aset” keluarga atau komunitas demi stabilitas sosial-ekonomi.
Sejumlah soal ini, kata dia, membuat perempuan dan anak berada dalam posisi sulit, termasuk ketika mereka mengalami kekerasan. Mereka dikondisikan untuk tidak melawannya.
“Budaya malu dan tutup mulut melanggengkan kekerasan, sementara agama dan adat kadang dijadikan justifikasi untuk menormalisasi kekerasan dan mendiamkan korban,” kata Putri.
Di wilayah pinggiran seperti Flores Timur, kata dia, minimnya infrastruktur, edukasi, dan pengawasan membuat anak dan perempuan menjadi kian rentan.
Apa Saja Dampaknya?
Rizky Pradita Manafe, Dosen Program Studi Psikologi Universitas Nusa Cendana Kupang mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak punya beragam dampak.
Dampak paling jelas adalah gangguan mental, dari ringan hingga berat, yang mempengaruhi emosi dan perilaku korban.
Ia berkata, korban bisa mengalami trauma, gangguan kecemasan dan depresi.

“Korban juga mungkin mengalami kesulitan berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitar, menjadi sensitif, bahkan memiliki keinginan untuk bunuh diri,” katanya.
Selain itu, kata dia, stigma dan perundungan terhadap korban juga bisa membuat mereka “semakin tertutup.”
Korban “tidak mau berbicara tentang kondisi yang dialami.”
Apa yang Perlu Dilakukan?
Pradita menekankan pentingnya dukungan sosial dan pemberdayaan bagi korban kekerasan.
“Korban perlu merasa berharga dan didukung untuk bangkit dari keterpurukan,” katanya.
Salah satu hal yang penting adalah upaya untuk terus menerus menyebarluaskan informasi tentang kekerasan seksual dan dampaknya.
Hal ini, kata dia, bisa dilakukan lewat kolaborasi berbagai pihak, yang tidak terbatas pada pemerintah.
“Tokoh agama, tokoh adat, dan lembaga-lembaga terkait perlu terlibat dalam upaya pencegahan dan pemulihan korban kekerasan,” katanya.
Sementara terkait penanganan terhadap korban, ia menekankan pentingnya layanan pemulihan holistik.
Hal itu mencakup penyediaan rumah aman, bantuan hukum, bantuan kesehatan fisik dan mental, serta pemberdayaan korban.
Sementara Putri Efara menekankan pentingnya reformasi struktural, pendidikan kritis gender dan seksualitas, pemberdayaan ekonomi perempuan, reformasi hukum, serta pelibatan komunitas akar rumput.
Perubahan narasi di ruang publik juga menjadi penting untuk fokus pada suara korban dan menghentikan glorifikasi pelaku, katanya.

Ia menekankan bahwa perjuangan untuk mengakhiri kekerasan harus dilakukan secara kolektif, lintas kelas dan lintas identitas.
“Dengan solidaritas dan kesadaran kritis, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Ia menambahkan, jika kita ingin mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, “kita harus berani menggugat sistem” yang sudah mapan yang melanggengkan ketimpangan.
Editor: Ryan Dagur