Floresa.co – Warga Desa Sibanggor Julu, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara masih belum bisa berkebun seperti biasa setelah kejadian bocornya gas beracun dari proyek geothermal di kampung mereka bulan lalu.
“Umumnya warga masih trauma, sementara pihak perusahaan belum berani memberi jaminan bahwa situasi sudah aman. Padahal, saat ini adalah musim tanam,” kata Saptar Nasution, seorang perwakilan warga pada 10 Februari lalu.
Desa itu diselimuti duka sejak 25 Januari, ketika tiba-tiba muncul gas beracun H2S dari sumur pengeboran PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), yang membuat lima orang warga, termasuk anak usia tiga dan lima tahun dan ibu mereka meninggal dunia. Puluhan lainnya juga dirawat di rumah sakit setelah menghirup gas itu.
“Warga sedang berada di sawah yang jaraknya 150 meter dari lokasi pengeboran ketika gas itu muncul,” kata Saptar.
BACA: Proyek Geothermal di Sumatera Utara, Puluhan Warga Keracunan, 5 Tewas Termasuk Anak-anak
Ia mengatakan, kejadian tersebut tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya karena sejak perusahan hadir pada 2014, mereka tidak mendapat informasi memadai soal bahaya geothermal, sehingga mereka tetap beraktivitas di lahan mereka yang hanya berbatasan dengan seng dengan lokasi perusahaan.
“Memang dalam sosialisasi dikatakan bahwa ada peluang resiko, tapi tidak dijelaskan seperti apa bentuknya dan bagaimana menghadapinya,” katanya, sambil menambahkan bahwa warga juga tidak mengetahui seperti apa isi dokumen analisis dampak lingkungan perusahaan itu.
Aparat masih menginvestigasi penyebab bocornya gas itu. Sementara itu, dalam pernyataan tertulis, pihak perusahaan menyatakan telah memberikan santunan kepada para korban.
Klaim Aman Dipertanyakan
Pemerintah Indonesia telah menjadikan pengembangan geothermal sebagai prioritas selama beberapa tahun terakhir, di mana menurut Badan Geologi, potensinya sebesar 23,9 Giga Watt (GW) dan baru 2.130,6 MW (8,9%) yang dimanfaatkan.
Kepala Subdit Pengawasan Eksplorasi dan Eksploitasi Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Budi Herdiyanto mengatakan, pemerintah menargetkan peningkatan pemanfaatan panas bumi menjadi 7.241,5 MW pada tahun 2025, dengan investasi sebesar 4,1 miliar dolar.
BACA: Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi
Dalam UU No 21 Tahun 2014, pemerintah menyebut pembangkit energi listrik ini sebagai “energi ramah lingkungan” yang mesti dioptimalkan “guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.”
Proyek di Mandailing Natal yang dikerjakan oleh perusahan asal Singapura merupakan salah satu dari 46 titik proyek yang diinisiasi di berbagai daerah.
Sejumlah pulau menjadi sasaran proyek ini, termasuk Flores, yang melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 ditetapkan sebagai Pulau Geothermal, di mana ada sekitar 20-an titik yang sedang dan akan dieskplorasi.
Upaya pengembangan industri ini telah menuai kontroversi di sejumlah lokasi, di mana ada perlawanan warga lokal, aktivis lingkungan, termasuk kelompok-kelompok agama, yang mempertanyakan soal klaim ramah lingkungan itu.
Pastor Alsis Goa Wonga, direktur JPIC-OFM Indonesia, lembaga advokasi milik Gereja Katolik mengatakan, bahaya yang terjadi seperti di Mandailing Natal juga sudah terjadi di beberapa wilayah di Flores, yang mereka advokasi.
Ia menyebut contoh seperti di Mataloko, Kabupaten Ngada di mana pasca adanya pemboran di sejumlah titik sejak tahun 2000-an, di lahan-lahan pertanian masyarakat muncul semburan gas hingga kini.
BACA: JPIC OFM Desak Pemerintah Hentikan Proyek Geothermal Wae Sano
“Investigasi kami sejak 2015 menemukan bahwa gas itu membuat lahan-lahan pertani rusak, juga membuat seng rumah warga desa cepat berkarat. Setelah ada kejadian demikian, perusahan hanya menutup lokasi semburan gas dengan tembok dan mereka melakukan ekspansi di lokasi baru,” katanya dalam sebuah diskusi yang diinisiasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) baru-baru ini.
Ia menambahkan, langkah pemerintah juga tidak hati-hati, mengingat Flores merupakan ring of fire, di mana ada 13 gunung api aktif yang tentu riskan dengan aktivitas pemboran.
Bahkan, di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat yang menjadi salah satu titik eksplorasi oleh perusahan milik negara PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), kata dia, Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Daerah Manggarai Barat sudah lama menetapan wilayah itu sebagai titik merah karena menjadi sumber bahaya gempa bumi.
“Itu tentu menjadi rawan ketika ada aktivitas pemboran. Namun, hal itu diabaikan,” katanya. “Kami melihat, keselamatan warga tidak menjadi prioritas.”
Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomi Demokratik menyebut kasus di Mandailing Natal belum tentu menjadi yang terburuk yang bisa terjadi akibat proyek geothermal. Kejadian itu, kata dia, bisa jadi baru peringatannya.
Menurutnya, kematian atau kegagalan teknis seperti yang terjadi di Mandailing Natal dan Mataloko, bisa dikiaskan sebagai percobaan laboratorium perusahaan untuk memperbaiki diri.
“Setiap kegagalan atau korban memberikan data tambahan untuk perbaikan di dalam industri. Kalau dipikir begitu, di puluhan wilayah ekstraksi panas bumi, status warga mirip dengan status kelinci percobaan, bagian dari tes tidak tertulis dan tidak diumumkan bahwa kalau ada apa-apa, kita akan perbaiki,” tuturnya dalam diskusi itu.
BACA: Proyek Geothermal Mataloko: Lahan Pertanian dan 1.579 Rumah Rusak, Negara Didesak Bertanggung Jawab
Ia menegaskan, klaim pemerintah bahwa industri ekstraksi panas bumi ini sebagai energi yang bersih, terbarukan dan aman sejatinya terbantahkan dengan kasus riil yang kini mencuat.
Hendro mengatakan, mengingat masih minimnya informasi dan juga kepedulian masyarakat akan dampak buruk geothermal ini, dibutuhkan upaya ekstra dengan langkah-langkah terukur agar publik tersadar dan tercerahkan.
“Kalau kita tahu ada yang salah, tidak pasti, meragukan, dan kita tidak nyaman, waswas, merasa terancam, kita tidak bisa diam saja. Kita harus bertanya, belajar, cari teman, baca laporan-laporan riset dari tempat lain, sehingga kita tidak menjadi korban konyol dari sebuah percobaan gila-gilaan,” katanya.
Sementara itu, dalam diskusi yang sama Era Purnamasari dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya untuk lari dari kewenangan dan berupaya untuk menyembunyikan informasi soal dampak buruk geothermal.
Sikap itu, kata dia, tampak saat YLBHI berperkara di Komisi Informasi dengan ESDM terkait informasi lapangan dan laporan evaluasi masalah geothermal di sejumlah titik di Indonesia, termasuk di Mataloko.
Dalam perkara itu, kata Era, Kementerian ESDM menyatakan, segala macam dampak lingkungan dari proyek geothermal bukan menjadi kewenangan mereka, melainkan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Era menyebut sikap tersebut aneh dan lucu karena bertentangan dengan logika hukum administrasi, di mana pihak yang mengeluarkan izin diwajibkan untuk melakukan evaluasi terhadap izin itu.
BACA: Uskup Sipri Minta Jokowi Hentikan Proyek Geothermal Wae Sano
Era menambahkan, sengketa di Komisi Informasi itu memutuskan bahwa laporan lapangan tentang masalah geothermal di semua wilayah di Indonesia mengharuskan ESDM untuk menginvestigasi dan mengevaluasi izin. Dan, data-data itu, tambahnya, terbuka untuk publik.
Ia menyatakan, putusan itu menjadi vitamin baru bagi semua pihak yang peduli pada masalah geothermal dan perlu bersama-sama mendesak agar pemerintah mengeksekusinya, mengingat ESDM tidak akan dengan mudah juga membuka semua informasi dan data tentang geothermal.
Memberi Kekuatan
Seperti apa reaksi warga di lingkar lokasi operasi proyek geothermal, yang selama ini melakukan penolaka, saat mengetahui kasus seperti di Mandailing Natal?
Antonius Anu, warga di Mataloko yang mengorganiasi penolakan geothermal mengatakan, kasus di Mandailing Natal memperkuat gerakan mereka.
Ia mengatakan, pada bulan lalu mereka baru saja menggagalkan upaya perusahaan untuk melakukan eksplorasi di dua lokasi lain, yakni di Desa Radabata dan Dadawea.
“Kami menolak tegas, karena melihat dampak buruk di lokasi yang dibor sebelumnya,” katanya. “Mendengar kasus di Mandailing Natal, kami makin yakin untuk terus menolak,” tambahnya.
Senada dengan Anton, Yosef Erwin Rahmat, warga adat Desa Wae Sano mengatakan, mereka akan terus melawan.
“Ada resiko kematian, kesengsaraan jangka panjang yang berakibat punahnya kehidupan sebelum Tuhan menghendakinya jika kami menerima geothermal ini,” katanya.
Sekalipun ada upaya terus-menerus dari pihak perusahaan untuk meloloskan proyek ini, termasuk membuat MoU dengan Keuskupan Ruteng tanpa ada koordinasi dengan mereka, kata Yosef, pihaknya tetap teguh menolak.
BACA: Catatan Hendro Sangkoyo Tentang Daya Rusak Industri Ekstraksi Panas Bumi untuk Pembangkitan Listrik
“Bahwa ada upaya untuk memindahkan titik pengeboran dari titik-titik yang sudah ditetapkan sebelumnya, kami tetap tidak merekomendasikannya,” katanya.
Sementara itu, Saptar mengatakan, melihat perkembangan yang terjadi sekarang, terbersit kekecewaan terhadap keputusan mereka dahulu membiarkan proyek geothermal itu hadir.
“Namun sekarang, tentu untuk membatalkannya sudah susah, karena perusahaan sudah mengeluarkan banyak dana. Banyak juga warga di desa kami yang kerja di sana,” katanya.
“Kami hanya butuh kepastian pemerintah dan perusahan agar ke depan tidak ada lagi yang meninggal karena industri ini,” tambahnya.
ARL/ARJ/FLORESA