Labuan Bajo, Floresa.co – Proyek Super Premium Presiden Joko Widodo di Labuan Bajo – Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT kembali mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.
Setelah peringatan UNESCO terhadap proyek ‘Jurassic Park’ dan izin perusahaan swasta di dalam ruang hidup satwa warisan dunia – Komodo, kini 400 hektar hutan sumber air warga dan penyangga kota Labuan Bajo juga turut ‘digadaikan’.
Dalam sebuah video berdurasi 4:06 menit, yang dilansir Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO–LBF] melalui akun instagram lembaga tersebut pada Rabu, 11 Agustus 2021, rencana pembangunan yang hingga kini ditolak elemen sipil Labuan Bajo itu nampaknya bakal dipaksakan.
BPO–LBF membagi hutan itu ke dalam empat distrik yakni Cultural District, Leisure District, Wildlife District, dan Adventure District.
Cultural District terdiri dari cultural center+performance center, Hotel + Mice (168 keys), Bajo Gallery, Commercial Village, Family Hotel Resort (17 Bungalow + 96 Kamar). Leisure District terdiri dari High-End Resort (29 Bungalow +126 Kamar), Worship Center + Pilgrimage, Forest Walk.
Wildlife District yang terdiri dari Cliff Restaurant, Lumina Forest, Interpretation Center, Outdoor Theater, Mini Zoo dan Natural Reserve Galerry.
Sementara, Adventure District terdiri dari High-End Glamping (Hotel glamour camping 25 keys), Lookout Point, Cable Car Line Length, Elevated Ciycling, Luge Ride, Bike Zipline.
Dibingkai sebagai ‘Gerbang Kawasan Menuju Flores’ dan ‘Bukit Budaya’, BPO–LBF menyebut, pembangunan di Hotan Bowosie–hutan penyangga Kota Labuan Bajo itu akan meningkatkan ‘keberlanjutan ekonomi’ serta demi meningkatkan ekonomi masyarakat setempat.
“Harapannya, keberadaan kawasan pariwisata ini dapat mendorong peningkatan kualitas ekonomi yang berkelanjutan melalui peningkatan ekonomi masyarakat dengan penyediaan lapangan kerja,” klaim lembaga yang dipimpin Shana Fatina itu.
“Peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Manggarai Barat serta mendukung baik Kawasan Strategis Pariwisata Nasional [KSPN] Taman Nasional Komodo dan sekitarnya, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang direncanakan [Tanah Mori] maupun daerah dan kabupaten lain di sekitarnya,” demikian dijelaskan.
Sumber Air dan Penyangga Kota
Hutan teregister 108 Bowosie yang terbentang dari batas kota Labuan Bajo di sisi barat hingga hutan Mbeliling di sisi timur itu merupakan penyangga kota Labuan Bajo.
Hutan ini membentang di beberapa wilayah adat, yakni Kampung Adat Lancang, Wae Mata, Kaper, Merombok, Nggorang, Watu Langkas, dan Dalong di mana semuanya berada di bawah ulayat Nggorang.
Pegiat Koservasi Doni Parera menyatakan, secara ekologi hutan ini memiliki sejumlah arti penting bagi keberlangsungan ekosistem di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Menurutnya, kelestarian hutan yang terletak di perbukitan kota dan kampung-kampung itu membantu mencegah banjir bagi kota Labuan Bajo dan sekitarnya, serta memungkinkan persediaan air bersih bagi warga serta lahan pertanian warga.
Terdapat sekitar 14 mata air di dalam Kota Labuan Bajo dan sejumlah mata air lainnya di wilayah Nggorang.
“Ada matai air Wae Nahi, mata air Sernaru, mata air Ujung Sawah Sernaru, Mata air Kampung Lancang, Mata air Wae Kesambi, mata air Pasar Baru,” ujarnya.
“Ada juga mata air Wae Kelambu, mata ari Wae Mata, mata air Wae Mata Belakang Seminari St. John Paul II, mata air Ujung Bandara/Binongko, mata air Seminari Ketentang, mata air Ketentang dan Wae Nuwa serta beberapa lainnya,” tambahnya.
BACA: Proyek Pariwisata BOP-LBF di atas 400 Hektar Hutan Bowosie – Labuan Bajo: Tanpa Amdal Hingga Keringanan Pajak untuk Perusahaan
Sementara, air yang mengalir melalui sungai Wae Mese, jelas Doni, mengalir melalui hutan itu dan menyuplai sekitar 65 persen kebutuhan air minum bagi warga, kantor pemerintahan dan untuk kebutuhan sektor industri seperti hotel dan restoran di kota Labuan Bajo.
Namun, hari-hari ini, saat musi kemarau, suplai air dari sumber yang sama untuk irigasi sawah ke wilayah Nggorang, Merombok hingga ke Tompong berkurang, bahkan sama sekali tidak ada.
“Aliran dari hulu, hanya sampai ke kolam instalasi penyedotan [SPAM-red] dan pemurnian air di samping Jembatan Wae Mese,” ujarnya.
Begitu juga dengan Wae Nuwa, yang juga berhulu di hutan tersebut, menyuplai air ke Sungai Wae Mese. Namun, belakangan, saat musim kemarau menjadi kering.
“Wae mese yang artinya aliran air besar, sudah tidak seperti namanya yang diberikan oleh nenek moyang dulu. Alirannya kecil akibat kerusakan hutan penampung air tanah,” keluhnya.
“BPO-LBF seharusnya tau, ada 14 mata air sekitaran Labuan Bajo yang saat ini kritis, bahkan sudah ada yang kering total,” tutur Doni yang juga Koordinator LSM Ilmu yang salah satu fokus perhatiannya ialah kelestarian hutan di wilayah Manggarai.
Ditentang Elemen Sipil
Venan Haryanto, peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, lembaga advokasi hak masyarakat yang berbasis di Labuan Bajo menyatakan rencana pembangunan oleh BPO – LBF ini semakin memperlihatkan minimnya komitmen pemerintah terhadap pembangunan berbasis ekologi di wilayah itu.
“Bagaimana mungkin pembangunan ini dilakukan di dalam kawasan hutan penyangga kota dan sumber air warga?” kritik Venan pada Kamis, 12 Agustus 2021.
Pembangunan itu, selain skema penghapusan hutan menjadi ‘kawasan bukan hutan’ dan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam (IUPSWA), juga memperlihatkan skema Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDA), demikian informasi yang diperoleh Floresa.co.
BACA: Catatan Tentang Lahan 400 Hektar BOP Labuan Bajo Flores
Perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di sana juga dibebaskan dari tanggung jawab Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Menurut Venan, menurunkan tanggung jawab AMDAL dari BOP-LBF dalam proyek di atas lahan itu secara tidak langsung mengirim warga Labuan Bajo dan sekitarnya kepada krisis ekologi.
“Bagaimana dengan limbah-limbah perusahaan ini? Kalau mengorbankan warga, siapa yang bertanggung jawab? Oleh karena itu, sepenuhnya kami tolak pembangunan ini,” tegasnya.
Koordinator Kampanye Walhi NTT, Rima Melani Bilaut mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh rencana pembangunan itu.
Menurutnya, melalui rencana tersebut pemerintah turut ikut mendukung menghancurkan ekosistem yang sangat esensial bagi Kota Labuan Bajo.
“Proses pemindahan ini juga merupakan upaya untuk mempercepat proses pembangunan pariwisata di Kawasan Hutan Bowosie, padahal proses pembangunan ini masih bermasalah dalam hal tata ruang,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2012-2032, jelas Rima, Hutan Bowosie Nggorang, termasuk Kawasan Budidaya dengan peruntukan Hutan Produksi.
Sementara itu, Pasal 28 Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 1 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi NTT Tahun 2010-2030 menyebutkan hutan di Kabupaten Manggarai Barat termasuk salah satu lokasi Kawasan Budidaya dengan peruntukan Hutan Produksi Tetap dan Terbatas.
“Dengan demikian proses pembangunan tersebut tidak layak lingkungan sehingga Walhi NTT sebagai salah satu tim penilai AMDAL menolak pembangunan infrastruktur pariwisata yang mengorbankan Hutan Bowosie,” tegasnya.
BACA: Pak Jokowi, Kapan Bubarkan BOP LBF?
Publik pun mempertanyakan alasan BOP-LBF yang ngotot mengambil alih hutan seluas 400 hektar itu mengingat kuatnya penolakan, kurang lebih sejak tahun 2018 lalu.
Pada Desember 2019 lalu misalnya, dengan alasan yang sama Forum Masyarakat Peduli Pariwisata Manggarai Barat [Formapp Mabar] menggelar demostrasi membubarkan lembaga yang dibentuk melalui Prepres 32 Tahun 2018 itu.
Lalu, saat pergelaran konsultasi publik AMDAL di Kantor Kecamatan Komodo, baik pelaku wisata, berbagai elemen sipil pun masyarakat adat serta aparat desa dari lingkar hutan yang hadir menolak untuk menandatangai berita acara.
Begitu pun kelompok orang muda Labuan Bajo juga turut menyuarakan penolakan terhadap pembangunan itu. Pada Mei lalu, mereka menggelar festival seni bertajuk “Asbak [Apresiasi Seni Bersama Kami-red] untuk Bowosie”.
“Menjadi tanda tanya besar bagi kami, mengapa BPO-LBF begitu ngotot untuk bangun di lahan 400 hektar dalam hutan itu. Jangan-jangan ada patgulipat dengan investor,” tegas Doni.
Caplok Lahan Masyarakat Adat
Salah satu kelompok masyarakat adat yang menolak rencana pembangunan itu ialah masyarakat adat Lancang–Labuan Bajo.
Pasalnya, belasan hektar tanah di mana di dalamnya terdapat kebun dan tanah rumah mereka turut menjadi bagian dalam desain pembangunan BPO–LBF itu.
Pada Mei lalu, mereka mengadukan persoalan itu kepada Bupati dan DPRD setempat untuk mendesak Dinas Kehutanan Pemprov NTT dan BPO LBF membatalkan desain pembangunan yang melewati tanah dan bahkan sampai rumah mereka.
“Menolak dengan tegas peta kawasan yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan peta yang dikeluarkan oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores,” kata Dami Odos, perwakilan warga adat Lancang.
Hingga hari ini, warga adat Lancang belum juga mendapatkan kepastian dari DPRD dan Bupati Mabar, pun dari BPO- LBF serta UPTD Kehutanan walaupun sudah menempuh berbagai cara.
BACA: Kebun dan Tanah Rumah Dicaplok Kehutanan dan BPO Labuan Bajo – Flores jadi Destinasi Wisata, Warga Adat Lapor ke Bupati dan DPRD
Menurut Rima, persoalan ini, menunjukan bahwa ‘pemerintah lebih mementingkan urusan investasi ketimbang persoalan yang dihadapi masyarakat,”
Sekalipun tujuan semua proyek pemerintah adalah untuk kemakmuran rakyat, namun, bagi Doni akan menjadi masalah jika mengabaikan prinsip-prinsip ekologi.
“Kalau seperti yang akan dilakukan oleh BOP-LBF, kami berpandangan proyek ini membunuh orang banyak demi keuntungan segelintir orang,” ujarnya. Oleh karena itu, teganya, “BPO-LBF harus mengevaluasi [proyek] ini.”
Mendukung Doni, Venan menyatakan, ketimbang untuk kesejahteraan rakyat, apa yang dilakukan oleh BPO-LBF ini justeru makin memperparah persoalan agraria di Labuan Bajo dan sekitarnya.
“Selain makin memperparah kerusakan lingkungan, juga makin timpangnya penguasaan tanah serta memicu ekskalasi konflik agrarian,” katanya.
“Dalam konteks Bowosie, hutan sebagai penyangga utama kebutuhan air warga, beralih fungsi menjadi kawasan bisnis yang dengan jelas menyebabkan kerusakan lingkungan serta hanya menguntungkan pihak pemodal saja,” tutupnya.
ARJ/Floresa