Floresa.co – Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF] terus mengerjakan proyek yang akan mengalihfungsikan ratusan hektar Hutan Bowosie, kawasan hutan penyangga kota Labuan Bajo, di tengah berbagai sorotan terkait konflik lahan yang masih belum selesai dengan sejumlah kelompok warga dan adanya ancaman krisis lingkungan.
Baru-baru ini, lembaga tersebut mempromosikan wilayah 400 hektar yang dikuasainya di Bowosie dengan nama “Parapuar” dan menarik minat para investor dengan mencapnya sebagai kawasan “pariwisata berkelanjutan kelas dunia yang berkualitas tinggi di jantung Flores.”
Parapuar diartikan sebagai pintu gerbang yang mengarah ke hutan, diambil dari Bahasa Manggarai para [pintu] dan puar [berarti hutan], demikian menurut BPO-LBF.
Pantauan Floresa.co pada Kamis, 13 Oktober 2022, BPO-LBF hampir rampung mengerjakan aspal menuju zona pariwisata ini. Hanya tersisa sekitar 300 meter jalan yang belum tersentuh aspal dari Jalan Trans Flores Labuan Bajo-Ruteng, tepatnya dari arah Tuke Tai Kaba, pintu masuk ke dalam kawasan tersebut.
Di sepanjang jalan dengan lebar sekitar empat meter itu, tampak dua unit alat berat dan beberapa orang pekerja pengaspalan dan selokan.
Sementara itu, dalam jarak kurang dari satu kilometer dari arah Tuke Tai Kaba terdapat sebuah bangunan milik BPO-LBF, yang berdinding seng, dengan Bendera Merah Putih dan taman bunga yang tertata di halaman depannya, beserta beberapa umbul-umbul.
Warga Masih Mengerjakan Lahan
Sementara BPO-LBF tetap mengerjakan proyek jalan itu, Floresa.co mendapati sekitar lima orang warga yang sedang bekerja di lahan yang terletak di sisi kiri dan kanan jalan. Floresa.co juga mendapati sekitar enam pondok yang masih berdiri di sisi jalan.
Ansri, salah seorang warga Wae Mata, Labuan Bajo mengaku memiliki lahan di kawasan yang sekarang menjadi lokasi proyek BPO-LBF tersebut.
Menurutnya, salah satu batas lahan miliknya berada tepat di badan jalan itu yang saat ini dalam proses pengerjaan lapisan penetrasi.
“Batas tanah saya sampai di pertengahan aspal ini,” tunjuk Ansri ke arah badan jalan.
Ia mengatakan tidak diberitahu oleh BPO-LBF terkait batas luar pembangunan jalan tersebut sehingga ia berinisiatif menanam beberapa kayu pembatas antara jalan dan lahan miliknya.
“Saya sudah buat batas ini [di pinggir aspal],” sambil tunjuk beberapa kayu yang sudah ia tanam.
Di sekitar kayu pembatas aspal dan lahan, terlihat Ansri sudah membersihkan tanah miliknya, persiapan untuk musim tanam yang akan datang.
“Dari pagi datang di sini untuk bersih kebun. Ini mau pulang,” katanya.
Asri mengklaim bahwa kawasan yang dikuasai oleh BPO-LBF itu merupakan kebun warga yang sudah diduduki sejak lama, sebagian sudah ditanami kayu jati.
“Semua tanah ini milik warga. Sebagian besarnya milik orang Wae Mata,” ujarnya sambil menunjuk pohon-pohon jati yang batangnya sudah berdiameter 20-30 sentimeter.
Ia mengklaim BPO-LBF belum pernah melakukan sosialisasi kepada warga terkait proyek dalam kawasan tersebut.
“Kali lalu kami demo [terkait pembukaan jalan], tapi tidak ada perubahan,” katanya.
Ansri juga merupakan salah satu pemilik pondok yang masih berdiri di kawasan itu. Di dalam pondok beratap seng itu terdapat sebuah tikar dan beberapa potong pakaian kerja miliknya yang tergantung di dinding.
Salah seorang warga lain yang berdiam di salah satu pondok di kawasan itu mengatakan ia membeli lahan tersebut beberapa tahun lalu dari seseorang yang mengaku sebagai pemiliknya, namun tanpa sertifikat.
Menurutnya, sampai sekarang mereka tidak diusir dari lahan di pinggir jalan tersebut.
Namun, ia mengatakan, mereka hanya dilarang oleh pihak BPO-LBF untuk menetap dalam jangka panjang.
“Mereka larang kami bangun rumah permanen,” katanya.
Paradoks Klaim Pariwisata Berkelanjutan
Kawasan Hutan Bowsie yang terletak di puncak kota Labuan Bajo merupakan kawasan penyangga dan hutan tutupan yang memiliki nilai ekologis bagi kota itu dan wilayah sekitarnya.
Alih fungsi 400 hektar kawasan hutan itu untuk menjadi kawasan bisnis pariwisata yang dikelola BPO-LBF mendapat legitimasi melalui Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 32 tahun 2018.
Proyek di kawasan itu merupakan bagian dari implementasi Proyek Strategis Nasional untuk klaster destinasi pariwisata super prioritas Labuan Bajo, kota kecil yang menjadi pintu masuk akses ke Taman Nasional Komodo.
Dalam sebuah video berjudul “Parapuar- The Gateway to Flores Cultural Hills” yang dipublikasi di kanal Youtube BPO-LBF pada 1 September 2022, Parapuar digambarkan memiliki “lokasi yang strategis, destinasi wisata populer, pengalaman unik dan keanekaragaman hayati yang luar biasa.”
BPO-LBF juga menyebut adanya dukungan masyarakat lokal, implementasi pengembangan teknologi hijau, adanya komitmen pemerintah, konektivitas internasional, dan fasilitas berkualitas tinggi di kawasan itu.
“Parapuar adalah peluang yang menjanjikan, bersama-sama kita membangun masa depan pariwisata menuju keberlanjutan,” demikian narasi dalam video itu yang menggunakan Bahasa Inggris.
Namun, berbeda dengan klaim-klaim itu, dari data yang dimiliki Floresa.co sebetulnya masih ada persoalan yang belum selesai terkait penguasaan oleh BPO-LBF atas kawasan itu, baik terkait konflik dengan warga adat yang sudah menduduki lahan itu sejak lama, maupun terkait potensi krisis ekologi bagi Labuan Bajo dengan alih fungsi kawasan itu.
Selain terkait warga yang saat ini masih menduduki lahan itu, ada beberapa komunitas lain yang sejak awal mempersoalkan kehadiran BPO-LBF di kawasan itu. Saat proyek jalan BPO-LBF mulai dikerjakan, warga sudah melakukan protes.
Pada 21 April 2021, puluhan warga Racang Buka, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo menghadang alat-alat berat yang dikawal pihak aparat keamanan saat pembukaan jalan.
Warga Racang Buka mengaku sejak 1990-an memiliki lahan di sebagian kawasan Hutan Bowosie yang kini menjadi lokasi proyek BPO-LBF dan sudah melakukan berbagai upaya legal agar secara sah mendiami setidaknya 150-an hektar wilayah hutan di bagian selatan melalui skema pembebasan kawasan hutan menjadi pemukiman dan lahan pertanian.
Upaya mereka telah dijawab pemerintah melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016, namun hanya sekitar 38 hektar yang dikabulkan, yang ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain [APL], sementara bagian lain dari hutan itu yang mereka mohonkan menjadi bagian dari kawasan yang diserahkan kepada BPO-LBF.
Selain itu, komunitas warga lainnya adalah warga di Lancang dan Nggorang. Baru-baru ini, kelompok Serikat Petani Indonesia [SPI] juga ikut mengklaim sekitar 700 hektar lahan di Hutan Bowosie itu.
Apa Kata BPO-LBF?
Floresa.co mengontak Shana Fatinah, Direktur BOP-LBF untuk meminta konfirmasi terkait sejumlah soal yang masih muncul terkait proyek ini.
Shana yang mengaku masih berada di Bali meminta untuk bertemu dengan Sisilia Jemana, Kepala Divisi Komunikasi Publik BPO-LBF.
Sisilia yang ditemui di kantornya pada Selasa, 18 Oktober 2022 mengatakan, pembangunan jalan yang panjangnya 1,5 kilometer merupakan tahap pertama dari rangkaian proses yang akan diambil BPO-LBF untuk mengelola kawasan 400 hektar itu.
Ditanya terkait sikap lembaganya terhadap warga yang masih beraktivitas di lahan itu, ia mengatakan, mereka tidak mengetahuinya dan kalaupun ada yang beraktivitas, “selama belum ada proses pembangunan,” maka “tidak ada pelarangan,” kecuali di area yang sedang dibangun jalan, “tidak ada aktivitas apa-apa.”
“Urusan kita 1,5 kilometer [jalan]. Itu aja yang diurus, selebihnya gak. Gak mungkin juga kita masuk ke 400 hektar mengecek, ada yang berkebun gak?” katanya.
Sementara terkait sikap terhadap warga yang mempersoalkan lahan yang sedang dibangun jalan itu, ia mengatakan, mereka berpegang pada bukti-bukti yuridis terkait sertifikat kepemilikan.
Yang jelas, kata dia, sejak 2019 ketika BPO-LBF terbentuk, mereka berupaya mengikuti semua proses yuridis.
“Kenapa [sekarang] baru tahap satu pembukaan jalan, karena kami mengikuti semua prosedur, pengurusan dasar hukum, kekuatan hukum dari apa yang diamanatkan ke kami,” katanya.
Sisilia juga mengatakan, pada prinsipnya pembangunan yang mereka lakukan di kawasan Bowosie mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018, yang menetapkan lahan 400 hektar di dalam kewenangan mereka.
“Jadi, bukan kami yang menentukan bahwa Bowosie itu kami [yang] akan bangun. Tidak! Kami sudah diamanatkan. Inti amanatnya [adalah] membangun di atas lahan itu dengan mengikuti semua prosedur yang ada,” katanya.
Ia juga mengatakan, di lahan itu yang dibangun adalah lebih banyak ruang-ruang terbuka yang bertema alam yang dibagi ke dalam empat zona.
“Kalaupun ada bangunan, ya bangunan-bangunan yang ikonik, yang diperuntukkan untuk aktivitas publik, pelayanan masyarakat,” katanya.
Sisilia tidak menjawab pertanyaan Floresa.co terkait tanggapannya atas kekhawatiran berbagai elemen tentang masalah ekologi yang akan muncul dengan alih fungsi hutan itu, juga terkait dengan korporasi-korporasi yang hendak berinvestasi di sana.
Ia mengatakan, hal itu merupakan domain dari Direktur BPO-LBF, Shana Fatinah dan Direktur Destinasi, Konstan Mardianus.
Khawatir dengan Kerusakan Ekologi
Sementara BOP-LBF mengklaim bahwa kawasan itu dikembangkan menjadi kawasan pariwisata berkelanjutan dengan klaim bangunan-bangunan bertema alam, aktivis lingkungan Doni Parera menyatakan, alih fungsi kawasan hutan itu tetap merupakan bom waktu bagi krisis ekologi yang mengancam Labuan Bajo.
Ia menjelaskan, kawasan bisnis wisata itu sebenarnya adalah penyangga ekosistem dan persediaan air tanah, yang sayangnya dihancurkan oleh pemerintah untuk kepentingan pemodal.
“Negara dalam hal ini BPO-LBF menjadi monster bagi rakyat dan malaikat bagi pemodal”, katanya, sambil menambahakan bahwa penghancuran Hutan Bowosie adalah “fakta paling telanjang dimana negara lebih berpihak kepada pemodal besar daripada kepada rakyat kebanyakan.”
Apalagi, kata dia, selain yang diserahkan kepada BPO-LBF, 30 hektar di sisi sebelah timur hutan kawasan hutan itu juga telah dibabat dan menjadi area pembibitan modern oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
Sementara itu, Venansius Haryanto peneliti Sunspirit for Justice and Peace, lembaga advokasi yang berbasis di Labuan Bajo mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh BPO-LBF di Bowosie memperlihatkan manuver bisnis pemerintah di atas ancaman kehancuran ekologi hutan dan parahnya konflik agraria yang belum terselesaikan dengan warga sekitar.
“Apa yang digambarkan melalui video tentang Parapuar oleh BPO-LBF semacam sebuah iklan untuk menunjukkan kepada pemodal domestik dan asing bahwa Bowosie sudah siap jadi kawasan bisnis wisata eksklusif, bahwa tidak ada problem lagi di sana, bahwa ada dukungan masyarakat dan hanya ada masa depan turisme yang berkelanjutan,” katanya.
“Padahal, di lapangan, apa yang dilakukan oleh BPO-LBF sudah dengan jelas mengabaikan gelombang sorotan publik terhadap dampak ekologi dari pembangunan tersebut serta besarnya potensi konflik agraria yang bakal terjadi dengan warga sekitar,” tambahnya.
Venan pun menyebut iklan Parapuar itu merupakan bentuk manipulasi, “tidak saja kepada kepada publik tetapi juga kepada calon investor bahwa kawasan itu telah bebas dari segala persoalan ekologi dan sosial.”
Sementara itu, Rony Septian, aktivis dari Konsorsium Pembaharuan Agraria [KPA] menegaskan dalam polemik lahan di Hutan Bowosie, seharusnya “perlu ada tata batas bersama masyarakat terlebih dahulu, bukan penetapan sepihak yang ugal-ugalan.”