BerandaREPORTASEMENDALAMTergantung Kehendak Bupati, Nasib...

Tergantung Kehendak Bupati, Nasib ASN di Manggarai Pasca Menang Gugatan di PTUN Kupang

Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit masih menjadi penentu eksekusi putusan PTUN yang memenangkan gugatan bawahannya. Sikap yang diambilnya terhadap putusan itu akan membuktikan apakah ia taat hukum atau sebaliknya mengajarkan pembangkangan hukum.

Floresa.co – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] yang awal bulan ini memenangkan gugatan belasan Aparatur Sipil Negara di Kabupaten Manggarai dalam sengketa pemberhentian jabatan administrator oleh Bupati Herybertus GL Nabit tidak membuat mereka otomatis bisa kembali mendapat jabatan serupa.

Eksekusi putusan itu, menurut pengamat dan ahli hukum, sangat tergantung pada kehendak Bupati Nabit.

Putusan PTUN Kupang terkait gugatan dari 13 bawahan Nabit yang diberhentikan dari jabatan administrator pada saat mutasi jabatan akhir Januari telah diumumkan pada 2 November 2022.

Mereka yang diberhentikan itu total berjumlah 26 orang dengan status gologan III A dan III B,  terdiri dari tiga kepala bagian di sekretariat daerah, seorang kepala bagian di RSUD Ben Mboi Ruteng, delapan kepala bidang, lima sekretaris dinas, empat camat dan lima sekretaris camat.

Pasca pencopotan tersebut, mereka sempat menganggur selama tiga pekan karena tidak disertai dengan surat penugasan yang baru dan belakangan mereka menjadi staf biasa pada beberapa organisasi perangkat daerah.

Setelah melewati sejumlah proses, 13 di antaranya mendaftarkan gugatan di PTUN Kupang pada April. Mereka adalah  Kristoforus Darmanto, Marius Mbaut, Agustinus Susanto, Petronela Lanut, Lorens Jelamat, Tiborteus Suhardi, Watu Hubertus, Geradus Tanggung, Aleksius Cagur, Belasius Barung, Gregorius Rachmat, Mikael Azedo Harwito, dan Benyamin Harum. 

Dalam keputusan yang dirilis melalui website sipp.ptun-kupang.go.id pada 4 November 2022, PTUN Kupang menyatakan “mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.”

Putusan itu juga membatalkan putusan Bupati Nabit Nomor HK/67/2022 tanggal 31 Januari 2022 tentang Pemberhentian dari Jabatan Administrator dan Pengangkatan dalam Jabatan Pelaksana Lingkup Pemerintah Kabupaten Manggarai.

Selanjutnya, tergugat juga harus “merehabilitasi harkat, martabat dan kedudukan para penggugat untuk dikembalikan pada jabatan semula atau pada jabatan lain yang setara dengan jabatan semula sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Hingga kini, Bupati Nabit belum menanggapi putusan tersebut. Ia juga tidak merespons pertanyaan Floresa.co yang meminta tanggapan terkait langkah lebih lanjut terhadap putusan itu.

Sementara itu, salah satu ASN penggugat mengatakan kepada Floresa.co, ia dan rekan-rekannya berharap Bupati Nabit menjalankan putusan itu.

“Poin pentingnya adalah sebagai kepala daerah, ia memberi contoh bahwa setiap kebijakan dan keputusan yang diambil bisa dipertanggungjawabkan. Karena kebijakannya itu sudah dinyatakan salah, maka ia harus  menunjukkan integritas sebagai figur yang bisa jadi teladan dengan menaati putusan PTUN,” kata ASN itu yang meminta namanya tidak dipublikasi dengan alasan khawatir terhadap konsekuensi pernyataannya.

“Bagaimana ia bisa meminta ASN menaati aturan selagi dia sendiri tidak menaati aturan yang berlaku,” katanya.

Sementara itu Helio Moniz De Araujo, kuasa hukum penggugat berharap Bupati Nabit bisa menerima dan mengeksekusi putusan itu dengan mengembalikan mereka “kepada tempat semula dan mereka juga bisa bekerja dengan baik dan bisa membangun Manggarai.”

Ia menyatakan, putusan PTUN sudah melihat semua aspek dan sudah tepat sehingga peluang untuk banding dan kasasi atas kasus tersebut sangat kecil.

“Itu menurut saya. Tetapi, kalau menurut Pemda ada peluang, ya silahkan saja,” katanya seperti dilansir iNewsFlores.id. 

Sesuai ketentuan, bupati masih bisa mengajukan banding paling lambat empat belas hari setelah pembacaan putusan itu.

“Setelah lewat empat belas hari tidak mengajukan banding atau kasasi, maka wajib hukumnya  melaksanakan apa yang termuat dalam putusan PTUN,” kata Helio.

Sebelum kasus ini dibawa ke PTUN, Bupati Nabit juga sudah diingatkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada Maret lalu. Melalui surat rekomendasi bernomor B-1190/JP.02.01/03/2022 tanggal 28 Maret 2022 yang ditandatangani Wakil Ketua KASN Tasdik Kinanto, KASN merekomendasikan agar Bupati Nabit menganulir keputusannya dan meminta agar ke-26 pejabat yang diberhentikan dikembalikan ke jabatan semula atau setara.

KASN menjelaskan pemberhentian pejabat atau penurunan eselon hanya berlaku bagi pegawai yang mendapat hukuman disiplin berat, sementara berdasarkan analisis dan telaah data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Manggarai, 26 ASN tersebut tidak pernah melakukan pelanggaran disiplin.

KASN ketika itu memberi Bupati Nabit waktu 14 hari untuk mengeksekusi rekomendasi mereka. Namun politisi PDI Perjuangan itu mempertahankan keputusannya dan berdalih bahwa bongkar pasang jabatan dilakukan semata-mata untuk menata birokrasi.

“Saya kan sedang mengatur tim kerja,” katanya usai memimpin Musrenbang RKPD tahun 2023 pada Senin, 11 April 2022 lalu. “Tim kerja mana yang kita masukkan dahulu yang mungkin yang belum pas, kita keluarkan,” tambahnya.

Eksekusi Masih Tergantung Bupati

Arman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), lembaga yang banyak meneliti praktik penyelenggaraan pemerintah daerah mengatakan, belajar dari banyak kasus serupa, putusan PTUN itu memang tidak serta merta akan dieksekusi.

Ia mengatakan, hal itu terjadi karena UU ASN menempatkan kepala daerah, termasuk bupati, sebagai pejabat pembina kepegawaian yang mempunyai kewenangan untuk melakukan mutasi, promosi, dan demosi.

“Karena kedudukan seperti ini, seringkali rekomendasi KASN atau putusan PTUN tidak dieksekusi oleh kepala daerah,” katanya kepada Floresa.co.

Ia mengatakan, putusan PTUN itu juga hanya berlaku empat bulan, kendati jika setelah tiga bulan belum juga dieksekusi 13 ASN penggugat bisa meminta ketua pengadilan untuk memerintahkan bupati mengeksekusi putusan tersebut.

Jika perintah pengadilan tidak dijalankan, maka, kata Arman, ketua pengadilan bisa meminta presiden memerintahkan bupati.

Namun, masalahnya tambah dia, KPPOD menemukan banyak kasus serupa selama ini dan jarang sekali presiden turun tangan. Ini membuat banyak putusan PTUN diabaikan oleh kepala daerah.

“Bukan untuk membenarkan [pengabaian putusan PTUN oleh kepala daerah] ya, tapi itu yang sering terjadi,” katanya.

Mengapa Putusan PTUN Tetap Penting?

Praktisi dan pengamat hukum Siprianus Edi Hardum menganggap praktik pemberhentian jabatan yang melanggar aturan seperti yang dilakukan Bupati Nabit adalah bagian dari pola lama dalam politik lokal, di mana pemenang kontestasi politik dalam Pilkada bisa melakukan apa saja.

Hal itu, dugaan Edi, seringkali terjadi karena masukan tim sukses “yang tidak beretika dan tidak paham aturan.”

Ia juga menyinggung praktek seperti ini bahkan bisa melebar kemana-mana, misalnya mendatangkan ASN dari kabupaten lain yang tidak berkualitas hanya karena ikut membiayai bupati terpilih saat Pilkada.

Edi mengatakan, meski tidak memiliki kekuatan yang memaksa, putusan PTUN itu menjadi bahan koreksi atas keputusan bupati yang keliru dan instrumen yang penting untuk menyelesaikan sengketa antara yang memerintah dengan yang diperintah, antara yang melayani dengan yang dilayani.

“Untuk membatasi kecolongan, untuk membatasi kesuperioritasan, untuk memotong sikap feodalisme, sikap otoriter dari yang memerintah kepada yang diperintah, itu fungsinya PTUN,” katanya kepada Floresa.co.

“Kehadiran PTUN untuk mengatasi [naluri] kehewanan orang yang memimpin. Karena pada dasarnya, orang yang berkuasa laksana singa yang siap menerkam sesukanya. Karena kita manusia yang hidup di negara demokrasi, maka diciptakanlah PTUN,” katanya.

Ia mengatakan, putusan PTUN itu memang tidak serta merta dieksekusi. Namun, lanjut Edi, sebaiknya Bupati Nabit menaatinya demi kewibawaan dan kehormatan bupati, kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Ia mengatakan, prinsip dasar dalam negara hukum adalah putusan hakim harus dianggap benar dan jika tidak sepakat dengan putusan tersebut, lakukan upaya hukum banding.

Perlu “Lonto Cama”

Arman dari KPPOD menyatakan, lembaganya selalu berharap agar setiap kepala daerah, termasuk Bupati Manggarai menjalankan apapun rekomendasi atau putusan lembaga lain yang diberi kewenangan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ia meyakini bahwa dalam memberikan rekomendasi atau putusan, lembaga-lembaga tersebut tentu sudah  melakukan penyelidikan.

Rekomendasi KASN dan diperkuat dengan putusan PTUN Kupang, menurutnya, sudah menunjukkan bahwa keputusan Bupati Manggarai adalah cacat prosedur.

Jika rekomendasi KASN dan putusan PTUN dijalankan, kata Arman, maka Bupati Manggarai menunjukkan dirinya sebagai kepala daerah yang taat asas.

“Yang kita butuhkan adalah niat baik Pak Bupati untuk menjalankan putusan PTUN itu,” katanya.

Ia mengatakan ada banyak cara yang bisa dilakukan Bupati Nabit untuk menjalankan putusan itu, salah satunya dengan  menggunakan pendekatan kearifan lokal Manggarai.

“Dalam hal ini, bisa mengajak 13 ASN itu lonto cama (duduk bersama mencari solusi dalam semangat kekeluargaan),” katanya.

Edi juga mengusulkan pendekatan serupa, dengan memanggil para ASN itu untuk “duduk bersama, bagaimana sebaiknya.”

Ia mengatakan, Bupati Nabit tidak harus mengembalikan mereka pada jabatan sebelumnya, tetapi setidaknya mereka ditempatkan pada jabatan lain yang setara atau mengganti pejabat lain yang tidak berprestasi.

Ia mengatakan, langkah yang diambil menanggapi putusan PTUN ini akan membuktikan apakah Bupati Nabit adalah pemimpin yang taat hukum atau sebaliknya mengajarkan pembangkangan hukum.

“Jika tidak dilaksanakan, sejarah akan mencatat dia adalah bupati yang membangkang. Saya percaya, masyarakat tidak suka dengan pemimpin pembangkang. Namun jika dijalankan, masyarakat mengenangnya sebagai pemimpin yang taat hukum,” ujarnya.

Edi mengatakan, jika akhirnya putusan PTUN tetap tidak ditaati, para ASN penggugat bisa melanjutkan perjuangan mereka dengan menyurati Gubernur NTT, Menteri Dalam Negeri, hingga Presiden Joko Widodo.

ASN penggugat yang berbicara dengan Floresa.co menyatakan,  sikap bupati terhadap putusan ini akan memberi gambaran terkait gaya kepemimpinan yang sedang dia tunjukkan dan bagaimana itu berjalan ke depan selama dia memimpin.

“Saya hanya berharap ia jangan lari dari kenyataan, dengan melepas tangan begitu saja dari masalah ini,” katanya.

ASN tersebut juga menyoroti sikap diam dari pejabat lain, seperti wakil bupati dan sekretaris daerah yang bersama bupati merupakan bagian dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan.

“Mengapa mereka semua diam? Seharusnya tidak boleh ada Pilatus dalam masalah seperti ini,” katanya.

Ia menyatakan, dalam setiap kebijakan terkait mutasi jabatan, yang mesti dipahami adalah bukan hanya soal faktor politik atau suka dan tidak suka, tetapi perihal kaderisasi.

“Dalam setiap jabatan, ada beban tugas dan tanggung jawab oleh pejabat yang mengembannya. Ini adalah mekanisme kaderisasi sehingga ketika seseorang diberi jabatan baru, ia paham dengan baik apa yang menjadi tugasnya,” katanya.

Misalnya, kata dia, untuk promosi kenaikan pangkat minimal seorang ASN dua kali dimutasi di eselon yang sama, “sehingga dia benar-benar dipersiapkan untuk jenjang berikutnya.”

“Yang sekarang dilakukan bupati adalah menciptakan budaya baru di birokrasi Manggarai, di mana mutasi dilakukan sesukanya,” katanya.

Konflik dengan ASN ini merupakan salah satu dari beberapa masalah lain yang banyak menyita perhatian publik semenjak Bupati Nabit yang selama kampanye selalu menyebarkan jargon “perubahan” mulai memimpin Manggarai sejak 2020.

Pada awal tahun ini, kabupaten itu juga dihebohkan dengan kasus pengangkatan THL di sejumlah dinas, meski sudah dilarang oleh pemerintah pusat. Para THL baru itu berasal dari tim sukses, juga orang dekat sejumlah pejabat, termasuk anak kandung wakil bupati.

Pada September, kabupaten itu juga dihebohkan dengan pengakuan seorang kontraktor bahwa ia ia dimintai fee untuk bisa mendapatkan proyek dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Permintaan fee itu, kata kontraktor itu, melibatkan Meldyanti Hagur, isteri Bupati Nabit dan perantara Rio Senta, seorang mantan tim sukses saat Pilkada.

Meski kasus ini sempat diusut polisi, termasuk dengan memeriksa Meldyanti, namun belum diketahui tindak lanjutnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga