Di Belu, Lansia dan Penyandang Cacat Mental Dianggap Jadi Korban Mafia Peradilan

Floresa.co – Tiga lansia serta satu penderita cacat mental di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) dianggap menjadi korban mafia peradilan, demikian kata aktivis dan sejumlah praktisi hukum.

Dua dari tiga lansia itu, masing-masing Robertus Lesu dan Anna Lan Moy, kini berusia 70 tahun dan satu lagi Yuliana Moy, 66 tahun. Sementara yang cacat mental, Alexius Yulius Radius Fahi berusia 32 tahun.

Mereka kini diproses hukum di Pengadilan Negeri Atambua, dengan dakwaan pengeroyokan bersama-sama  ‘terhadap orang yang merupakan bagian dari keluarga besar, sebagai buntut dari persoalan sengketa tanah suku yang saat ini sedang diupayakan jalur mediasi.

Keempatnya telah ditahan hampir seminggu dan terancaman dipenjara di atas lima tahun karena melanggar pasal 170 ayat (1) KUHP, jo pasal 351 jo pasal 55 ayat (1) KUHP.

“Reformasi penegakkan hukum di negara ini ternyata hanya isapan jempol. Komitmen pembenahan sistem peradilan hanya retorika segelintir elite penegak hukum untuk menyembunyikan fakta-fakta kebobrokan di balik seragam,” kata juru bicara Forum Masyarakat Belu Peduli Hukum, Jack Karangora, Rabu, 6 April 2016.

“Betapa tidak, praktik mafia hukum yang selama ini hendak diperangi terus menjadi ‘habit’ banyak penegak hukum, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan,” jelasnya.

Ia menduga, dalam kasus ini telah terjadi rekayasa yang berakibat fatal pada para terdakwa.

Dalam sidang perdana, Senin 4 Maret 2016, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa para terdakwa melakukan tindak pidana pengeroyokan. Dakwaan itu hanya terdiri dari 4 lembar.

Sedangkan pada persidangan kedua, Senin 4 April, Penasehat Hukum terdakwa membacakan Nota Keberatan (Eksepsi) dengan alasan, pertama, surat dakwaan tidak memenuhi syarat formil karena JPU tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan.  Kedua, surat dakwaan tidak singkron dengan  Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik karena tidak mengakomodasi dan bertentangan dengan fakta-fakta yuridis.

Misalnya, tempat kejadian tindak pidana adalah perkarangan rumah milik para terdakwa, bukan di tempat umum sebagaimana diisyaratkan dalam penerapan pasal 170 KUHP.

Selain itu, hasil visum et repertum yang dikeluarkan Puskesmas Haekesak menyebutkan kualifikasi luka ringan.

Ketiga, terdakwa Alexius Fahi mestinya tidak dapat dipidana karena mengalami keterbelakangan mental. Dalam surat dakwaan, Alexius Fahi didakwa dari arah belakang memukul punggung korban.

Padahal, demikian dalam eksepsi itu, fakta yang sesungguhnya, selain cacat mental, terdakwa juga hanya berdiri di pintu rumah dan lipat tangan.

Berdasarkan eksepsi tersebut, maka Kuasa Hukum para terdakwa memohon Majelis Hakim untuk menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum dan para terdakwa dikeluarkan dari tahanan.

Kuasa hukum para terdakwa, Yulius Benyamin Seran dari Kantor Hukum Sejati Law Firm & Rekannya Ferdinandus Maktaen mengatakan, dugaan tindak pidana sebenarnya tidak ada, tetapi dipaksakan sedemikian rupa sehingga dapat menahan dan memenjarakan para terdakwa.

“Diduga ada motif tertentu di balik dugaan rekayasa kasus ini”, kata Benyamin, tanpa menjelaskan lebih lanjut motif yang ia maksud.

Dua lansia yang juga menjadi terdakwa, kini ditahan di Pengadilan Negeri Atambua.
Dua lansia yang juga menjadi terdakwa, kini ditahan di Pengadilan Negeri Atambua.

Ia menjelaskan, rekayasa kasus sering terjadi karena Belu dan NTT pada umumnya ibarat surga bagi para penegak hukum untuk mengumpulkan pundi-pundi haram.

Petrus Bala Pattyona, advokat senior, mengatakan, kasus yang menimpa para terdakwa mesti menjadi pintu masuk bagi masyarakat Belu, bahkan NTT umumnya untuk membongkar kebobrokan sistem peradilan yang telah berlangsung sekian lama.

“Rekayasa kasus dan jual beli pasal, sesungguhnya bukan hal baru dalam tata peradilan kita. Sangat banyak masyarakat kecil yang tidak paham hukum menjadi korban kriminalisasi mafia peradilan,” katanya.

“Kasus ini dapat membuka mata publik bahwa praktik kejahatan sistem peradilan kita berjalan amat sistematis, terstruktur, tersembunyi, namun amat dirasakan dampaknya,” lanjut Petrus.

Ia menjelaskan, banyak masyarakat kecil di kampung-kampung yang menjadi korban rekayasa kasus.

“Mereka terpaksa harus jual sapi, babi, jagung, kacang, pinjam sana sini, atau kumpul keluarga diduga untuk bayar penegak hukum agar tidak masuk penjara. Orang-orang kecil ibarat ATM bagi para penegak hukum yg berdampak pada kemiskinan,” tegasnya. (Ari D/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA