Delapan Universitas Terkemuka di Amerika Serikat Tayang dan Diskusikan Film ‘Dragon for Sale’

Penyelenggara menyebut film ini sangat penting untuk membuka mata wisatawan internasional terkait dampak buruk industri pariwisata bagi masyarakat lokal dan lingkungan, serta mendorong akademisi internasional untuk lebih terlibat dalam upaya membawa dampak positif bagi wilayah dan masyarakat yang mereka pelajari.

Floresa.co – Delapan universitas terkemuka di Amerika Serikat [AS] menayangkan secara serentak film dokumenter Dragon for Sale yang mengangkat keindahan alam serta sisi gelap pembangunan pariwisata yang mengancam kelestarian alam dan mengusik kehidupan warga di Komodo dan Labuan Bajo, Flores.

Pihak penyelenggara menyebut acara ini adalah bagian dari upaya meningkatkan tanggung jawab wisatawan internasional tentang dampak aktivitas wisata bagi masyarakat dan lingkungan alam yang mereka kunjungi. 

Acara ini diinisiasi oleh The Graduate Education and Training in Southeast Asian Studies (GETSEA) dan The Justice in Southeast Asia Lab (JSEALab)

GETSEA adalah konsorsium program Pasca Sarjana bidang Kajian Asia Tenggara di universitas-universitas seluruh Amerika, sementara JSEALab merupakan sebuah pusat kajian untuk Keadilan Sosial di Asia Tenggara yang berbasis di Universitas Wisconsin-Madison. 

Acara ini diadakan pada 1 Mei 2023 pukul 06.00 waktu setempat atau Senin dini hari, 2 Mei pukul 06.00 waktu Indonesia bagian tengah.

Christopher Hulshof dari GETSEA mengatakan, pemutaran film ini berlangsung secara simultan di delapan universitas, dilanjutkan dengan diskusi secara hybrid, langsung dan virtual.

“Mahasiswa, dosen, dan anggota komunitas dari delapan universitas di AS akan berkumpul secara langsung di kampus mereka. Mereka kemudian terlibat dalam diskusi dan mengajukan pertanyaan kepada pembicara melalui Zoom,” katanya kepada Floresa.

Hadir sebagai narasumber, lanjut Chris, adalah Dandhy Laksono (sutradara), Cypri Paju Dale (tim peneliti), Elisabeth Henny Dinan (produser eksekutif), Gregorius Afioma (produser), dan Venan Haryanto (pemeran film).

Ia mengatakan, institusi lainnya di AS juga akan mengadakan acara nonton bersama film tersebut secara virtual untuk komunitas mereka.

“Kami juga akan menyiarkan acara tersebut secara langsung ke seluruh dunia, sehingga audiens dari seluruh dunia dapat menonton film tersebut dan mengajukan pertanyaan kepada pembuat film selama diskusi setelahnya,” katanya.

Delapan universitas yang terlibat dalam acara ini adalah Universitas Wisconsin-Madison, Universitas Cornell, Universitas Michigan, Universitas Washington-Seattle, Universitas Hawaii-Manoa, Universitas Arizona, Universitas Yale dan Universitas North Illinois.

Dua institusi lainnya, University Carolina dan The American Institute for Indonesian Studies (AIFIS), kata Chris, juga ikut mensponsori acara pemutaran virtual untuk komunitas mereka.

Penting untuk Audiens Internasional

Dragon for Sale yang diproduksi oleh tim Ekspedisi Indonesia Baru, Sunspirit for Justice and Peace dan Sahabat Flores telah dirilis pada awal bulan ini dan telah ditayangkan di 28 komunitas warga di seluruh Indonesia, dalam apa yang disebut sebagai Bioskop Warga dengan sistem tiket yang dikumpulkan secara sukarela. Empat komunitas lainnya akan menyusul hingga awal Mei.

Warga Kampung Komodo sedang menyaksikan tayangan perdana film “Dragon for Sale” pada 1 April 2023. (Foto: Anno Susabun)

Sejak pertengahan bulan ini film juga sudah dapat disaksikan lewat Rangkai.id, sebuah platform film digital nasional.

Film dengan lima seri ini tidak saja mengangkat keindahan alam, tetapi juga merekam sisi gelap pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, salah satu dari destinasi yang hendak dijadikan sebagai 10 Bali Baru dan diberi label sebagai destinasi “super premium.”

Sebagai salah satu dari 10 Bali Baru –  program pemerintah yang dicetuskan tahun 2016, Labuan Bajo, gerbang menuju Taman Nasional Komodo terus menjadi sasaran berbagai proyek pariwisata. Pada bulan depan, Labuan Bajo juga menjadi lokasi penyelenggaraan pertemuan pemimpin negara-negara anggota ASEAN atau ASEAN Summit.

Namun, wilayah di ujung barat Pulau Flores itu dengan populasi lebih dari 256.000 memiliki 17,15 persen penduduk miskin, hampir dua kali lipat dari rata-rata kemiskinan tingkat nasioanl 9,57, menurut data  Badan Pusat Statistik. Kecamatan Komodo, yang wilayahnya mencakup Labuan Bajo dan wilayah Taman Nasional Komodo tercatat memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dari kecamatan-kecamatan lainnya.

Dalam pernyataan dari Ekspedisi Indonesia Baru, Dragon for Sale mengungkap berbagai ironi dalam pembangunan pariwisata di wilayah itu yang selama ini tak tampak di mata para turis yang berwisata ke sana.

Beberapa di antaranya adalah tentang peminggiran warga lokal, penyangkalan hak masyarakat adat, privatisasi pantai, pencaplokan sumber daya air, pengrusakan hutan, serta penguasaan bisnis oleh aktor-aktor bisnis raksasa yang berkelindan dengan kekuasaan politik. Film ini juga menyinggung tentang kuatnya gelombang perlawanan warga untuk mempertahankan ruang hidup mereka.

Chris menyebut film ini sebagai “sebuah serial yang sangat kuat” dan karena itu “menjadi amat penting untuk disaksikan oleh sebanyak mungkin audiens di tingkat internasional.”

Ia menggambarkan, umumnya audiens di dunia Barat belum tahu tentang sisi gelap program pengembangan pariwisata premium Indonesia, termasuk perihal 10 Bali Baru dan dampaknya pada masyarakat lokal, lingkungan, dan satwa di wilayah-wilayah tersebut.

Karena itu, kata dia, “kita harus mengubah ini,” dengan membuka mata dunia pada sisi gelap pembangunan pariwisata yang keliru.

Ia mengatakan, mengangkat film ini ke panggung internasional juga penting karena banyak pendukung rencana pembangunan 10 Bali Baru adalah organisasi internasional, seperti Bank Dunia dan New Zealand AID untuk kasus Flores.

“Mereka mengklaim melakukan kebaikan di bawah topeng ‘pembangunan hijau’ yang mengaburkan kerusakan lingkungan yang sebenarnya dan bahaya terhadap masyarakat yang ditimbulkan oleh rencana mereka,” katanya.

Sementara itu, kata dia, organisasi internasional lainnya seperti UNESCO “bertindak lambat dan tidak tegas menjalankan mandat untuk melindungi Situs Warisan Dunia” di Taman Nasional Komodo.

“Saya percaya pemahaman yang lebih luas di antara para akademisi internasional tentang apa yang terjadi” dalam pembangunan pariwisata di Flores “dapat meningkatkan kesadaran akan dampak dramatis dari pariwisata pada ekosistem, budaya, dan kehidupan satwa”. 

Selain itu, lanjut dia, “dapat melahirkan tekanan pada organisasi-organisasi internasional untuk mempertimbangkan kembali pilihan sikap mereka.”

Demi Pariwisata yang Inklusif

Chris juga memuji film ini sebagai karya dokumenter yang “secara visual memukau dan menghibur, sekaligus sangat informatif.” 

Ia menyebut pembuat film dan aktivis di belakang Dragon for Sale telah bekerja dengan cara mereka demi menjaga keajaiban alam dan masyarakat di wilayah Labuan Bajo dan mereka tentu perlu dibantu.

“Saya melihat gerakan ini dapat membuka ruang dialog tentang keterlibatan masyarakat, menghormati hubungan manusia-satwa, dan hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan laut,” katanya.

Suasana warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat saat menyaksikan film “Dragon for Sale” pada 1 April 2023. (Foto: Beatrix Ayuwandira Dabur)

“Ini adalah perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk pembangunan pariwisata di kawasan ini secara sehat, secara berkelanjutan yang dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya,” katanya.

Ia mengatakan, para wisatawan mancanegara juga kiranya memiliki cara pandang yang sama, hanya saat ini mereka kurang menyadari hal ini, bahkan oleh mereka yang datang ke Bali secara massal setiap tahun.

“Saya percaya jika wisatawan mengetahui hal ini, mereka akan berpihak pada masyarakat setempat” dan ikut mendorong pemerintah untuk merespons suara-suara kritis masyarakat.

Ia juga mengatakan, “Saya percaya wisatawan memiliki tanggung jawab untuk mengetahui tempat-tempat yang mereka kunjungi dan pengaruh perjalanan mereka tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan yang mereka tuju.”

Untuk audiens di Amerika, terutama para cendekiawan yang akan menyaksikan film ini, kata dia, acara ini diharapkan meningkatkan tanggung jawab mereka untuk lebih banyak terlibat dalam upaya mendorong pembangunan pariwisata yang membawa dampak positif bagi wilayah dan masyarakat yang mereka pelajari.

Kata Sutradara

Dragon for Sale adalah film keenam hasil karya tim Ekspedisi Indonesia Baru sejak tahun lalu mereka mulai melakukan perjalanan keliling Indonesia  dengan sepeda motor dan mendokumentasikan sejumlah isu penting di beberapa titik wilayah.

Sebelumnya mereka telah memproduksi film Silat Tani, Angin Timur, Tanah Tabi, Base Genep, dan the Soulmate.

Selain Dandhy Laksono, ada tiga anggota lainnya dalam tim ini, yaitu Farid Gaban, Benaya Harobu dan Yusuf Priambodo.

Selama memproduksi Dragon for Sale mereka berkolaborasi dengan Sahabat Flores, sebuah kumpulan lintas komunitas peneliti, jurnalis, videografer, seniman, aktivis hingga pekerja sektor wisata dan warga yang terdampak proyek pariwisata. Beberapa di antaranya adalah anggota tim Floresa.

Merespons perhatian audiens dari universitas di Amerika terhadap film ini, kata Dandhy, ini adalah “sebuah bentuk penerimaan dan pengakuan dari spektrum sosial yang lain,” setelah ditonton oleh komunitas-komunitas dalam bentuk Bioskop Warga.

“Memewakili tim sutradara dan tim Ekspedisi Indonesia Baru, kami menyampaikan terima kasih atas apresiasi yang diberikan komunitas akademik di Amerika dan para pemerhati masalah-masalah di Asia Tenggara pada film ini,” katanya kepada Floresa.

“Semoga film ini bisa memberi sumbangan khazanah pemikiran baru tentang pariwisata, lingkungan, dan yang terpenting, ekonomi masyarakat lokal,” tambahnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA