‘Dragon for Sale’: Fiksi Soal Kesejahteraan dan Kisah Soal ‘Beda Nasib’

Dalam catatan untuk seri satu dan dua film “Dragon for Sale,” penulis menggarisbawahi sejumlah kontradiksi dalam pembanguan pariwisata super premium di Labuan Bajo, sebagaimana yang disajikan dalam film ini.

Oleh: Ignasius Jaques Juru, peneliti isu-isu demokrasi dan pembangunan; pegiat Komunitas Niang Gejur Yogyakarta.

Entah yang keberapa kali kisah tentang Komodo diceritakan. Yang pasti, sejak awal dinarasikan oleh kuasa pengetahuan kolonial, Komodo telah menghebohkan negara-negara kolonial Barat.

Bagi negara-negara kolonial, Komodo tidak hanya menjadi spesies unik dan langkah dari zaman pra-historis, tetapi melaluinya, negara-negara kolonial dapat membangun relasi diplomasi di antara mereka. Seperti yang ditulis oleh Timothy P. Barnard (2011), hadirnya Komodo di Inggris Raya merupakan hasil dari diplomasi tingkat tinggi yang menandai kerja sama antara kekuatan kolonial.

Tidak berhenti di situ, Komodo yang dipamerkan dan dikisahkan di mana-mana di negara-negara Barat sejak era kolonial telah menjadikan reptil raksasa ini sebagai celebrity species yaitu spesies yang menarik kerumunan orang untuk melihatnya dan pada giliranya mendatangkan keuntungan finansial bagi negara-negara kolonial (Barnard, 2011).

Kali ini, kisah tentang Komodo dinarasikan lagi, tetapi bukan jenis narasi yang diproduksi oleh ekspedisi kolonial, seperti yang dilakukan oleh Douglas Burden tahun 1926 atau ekspedisi De Jong tahun 1929. Kisah kali ini lahir dari ekspedisi dan kerja kolaborasi antara Ekspedisi Indonesia Baru dan Sahabat Flores.

Jika ekspedisi kolonial berhasil menjadikan Komodo sebagai celebrity species, sebaliknya, kerja kolektif Ekspedisi Indonesia Baru dan Sahabat Flores lewat Dragon for Sale, bagi saya, telah menyingkap fiksi tentang klaim pembangunan “pariwisata super premium di Labuan Bajo sebagai Bali Baru yang akan mendatangkan kesejahteraan.”

Dokumenter ini secara bernas menyajikan fiksi tentang kesejahteraan rakyat dengan menampilkan beragam fakta tentang kontradiksi, kontras antara kemewahan dan kegetiran hidup warga lokal, kontras antara kontrol dan otoritas atas ruang dan kuasa ekonomi-politik dengan perjuangan rakyat untuk mempertahankan apa yang menjadi milik mereka, serta fakta soal korban lain di luar manusia, yaitu alam atau puar (hutan) yang dibabat demi bisnis baru semacam “Parapuar,” yang sedang dikembangkan pemerintah di Hutan Bowosie.

Jika ingin disingkat, dokumenter Dragon for Sale adalah fiksi soal kesejahteraan rakyat dengan menyingkap kisah tentang “nasib berbeda mengalami Komodo.”

Kisah pertama: Berbeda Nasib Melihat Komodo

Film ini diawali dengan kisah dua kelompok turis yang sedang menikmati perjalanan wisata di kawasan Taman Nasional Komodo. Sejak awal, kontras antara kemewahan dan kesederhanaan sudah ditampilkan.

Sekelompok turis lokal yang menggunakan jasa kapal rakyat open deck mengalami nasib yang berbeda untuk melihat Komodo, dibandingkan dengan turis eksklusif yang menikmati kemewahan kapal pinisi yang dimiliki pemodal besar.

Warga Kampung Komodo sedang menyaksikan tayangan perdana film “Dragon for Sale” pada 1 April 2023. (Foto: Anno Susabun)

Nasib yang berbeda melihat Komodo tentu bukan semata soal berbeda kenyamanan yang ditawarkan oleh kapal rakyat dan kapal pinisi. Lebih dari itu, perjalanan dua kelompok turis ini berkisah soal dimensi kelas dalam pasar pariwisata di Labuan Bajo.

Perjalanan dengan kapal open deck adalah kisah soal pariwisata rakyat yang menempuh jalur-jalur yang lebih organik yaitu perjalanan yang memungkinkan interaksi antara wisatawan dengan warga lokal, yaitu mereka yang seharusnya menjadi pemilik sah kawasan Taman Nasional Komodo.

Sebaliknya, kisah soal pinisi, adalah cerita turisme yang menjauh dari komunitas warga lokal. Cara menikmati Komodo yang benar-benar eksklusif. Padahal, menurut Mea Sonbay, salah satu peserta dalam acara Nobar film ini yang diselenggarakan komunitas mahasiswa Niang Gejur di Yogyakarta, kapal pinisi merupakan simbol dari kecerdasan kolektif orang Indonesia dan juga merupakan simbol komunitas.

Dengan kata lain, kapitalisme pariwisata di Labuan Bajo mampu mengubah status dan narasi kolektif tentang pinisi menjadi semata sebagai simbol kemewahan bagi turis-turis elit dan simbol kekuasaan bagi para pemilik modal besar.

Kisah Kedua: Nasib Berbeda yang Diberikan Komodo

Kisah tentang kapal pinisi dan kapal rakyat open deck yang ditampilkan dalam film ini juga bercerita tentang siapa yang sedang mendapat untung lebih banyak dari industri pariwisata super premium.

Cerita tentang semakin tersingkirkanya kapal open deck menjadi bukti kuat bahwa pariwisata super premium sesungguhnya sedang menciptakan kisah ketersingkiran untuk kesekian kali bagi warga lokal setelah sebelumnya mereka tersingkir karena kehilangan akses akan tanah dan laut oleh operasi kuasa konservasi.

Inilah nasib berbeda yang diberikan oleh Komodo bagi warga di Kawasan Taman Nasional Komodo.

Kisah Ketiga: Nasib baik “Orang-orang Jakarta”

Kisah lain yang menjadi pemicu reaksi kritis dan kesal serta rasa geram bagi siapapun yang menyaksikan film ini adalah soal nasib baik orang-orang Jakarta. Orang-orang Jakarta di sini adalah bahasa politik sehari-hari yang digunakan warga lokal untuk menandai kekuatan dan kekuasaan yang terkonsentarasi pada elit politik dan elit ekonomi.

Suasana warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat saat menyaksikan film “Dragon for Sale” pada 1 April 2023. (Foto: Beatrix Ayuwandira Dabur)

Nasib baik orang-orang Jakarta yang ditampilkan dalam film ini adalah fakta yang terungkap soal kontrol para penguasa ekonomi dan penguasa politik atas ruang, kebijakan, dan kapital.

Nasib baik orang-orang Jakarta dimungkinkan oleh beberapa hal: Pertama, regulasi negara yang yang membuka akses luas bagi jaringan pemodal besar; Kedua, corak negara sentralistis dan teknokratis yang mengekslusi; Ketiga, nasib baik orang-orang Jakarta merupakan konsekuensi dari relasi politik yang intim yang melibatkan beragam kasta politik dan kasta ekonomi level atas.

Kisah Keempat: Nasib Buruk Orang-orang Lokal

Jika orang-orang Jakarta mengalami nasib baik, dokumenter ini mengungkap banyak soal yang menjadi penanda paling brutal dari nasib buruk yang dialami oleh orang-orang lokal.

Ada cukup banyak paradoks yang tersaji dalam film ini. Mulai dari orang lokal yang kalah bersaing secara ekonomi; terbatasnya akses warga lokal untuk melihat Komodo; fenomena “kota seribu jerigen” yang mengungkap fakta tragis soal akses warga atas air yang semakin mahal dan terbatas serta melimpahnya keuntungan karena bisnis air dan kelimpahan air untuk menjamin kemewahan pelayanan hotel-hotel besar.

Kisah Kelima: Nasib Buruk bagi Alam dan Komodo

Nasib buruk yang terungkap dalam film ini tidak hanya dialami oleh orang-orang lokal. Alam dan Komodo pun mengalami nasib serupa. Selain soal ancaman terhadap ekosistem kawasan karena overtourism, desain pembangunan pariwisata super premium telah mengancam relasi inter-species yang sudah terbentuk antara manusia dengan Komodo.

Wisata ekslusif di Pulau Komodo dan desain pariwisata jurrasic park di Pulau Rinca menjadi contoh paling jelas tentang upaya memisahkan relasi inter-species.

Nasib buruk bagi alam selain hal di atas adalah pembabatan hutan yang cukup masif di Bowosie, hutan penyangga kota Labuan Bajo. Akibatnya, mata air mulai berkurang.

Selain itu, alam yang mengalami nasib buruk seolah bersaksi dengan peristiwa banjir besar di Labuan Bajo tepat saat film ini diputar di berbagai bioskop warga.

Kisah Keenam: Anak Tanah Menolak Nasib Buruk

Perlawanan berbagai kelompok atas berbagai kebijakan pembangunan pariwisata yang buruk menjadi cerita yang layak untuk dihargai. Anak tanah menolak nasib buruk dengan mengklaim hak mereka atas tanah, mengklaim akses ekonomi atas ruang pariwisata dan juga mengonsolidasi gerakan kolektif antarwarga dan gerakan kolaborasi antara komunitas gerakan.

Menolak nasib buruk yang ditampilkan di dalam film ini, bagi saya, bercerita tentang satu hal, yaitu kuatnya kesadaran politics of belonging, politik yang menegaskan kembali identitas sebagai suatu komunitas, menegaskan kembali ruang hidup, menegaskan kembali kebanggaan sebagai anak tanah, dan berani mengklaim apa yang menjadi milik bersama.

Kembali ke Pertanyaan Awal

Berbagai kisah tentang nasib berbeda yang dapat direfleksikan dari dua seri awal dokumenter Dragon for Sale menjadi jawaban paling terang atas pertanyaan awal yang memandu keseluruhan isi film ini, yakni: siapa yang menikmati paling banyak kue ekonomi dari Bali Baru ini; pengorbanan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seperti Bali Baru; siapa yang paling banyak berkorban;  dan, apa benar Bali harus ditiru?

Satu pertanyaan terakhir yang mungkin perlu diajukan adalah, di tengah suburnya berbagai gerakan perlawanan warga, upaya-upaya apa saja yang dapat memastikan perlawanan selama ini tidak semata menempati marjin paling pinggir dari keseluruhan bangunan ekonomi-politik pembangunan, tetapi sebaliknya dapat menjadi inspirasi paling sentral dalam menggarap alternatif terhadap pembangunan yang keliru?

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya