Floresa.co – Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama atau Keyakinan [KBB] akan menggelar diskusi publik yang membahas topik terkait konflik agraria serta hubungannya dengan agama dan pembangunan, menyoroti sengketa lahan berkepanjangan antara Gereja Katolik dan warga adat di Kabupaten Sikka, NTT.
Diskusi bulanan koalisi itu, yang akan digelar secara virtual pada 21 Maret menghadirkan tiga narasumber, yakni Made Supriatma, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura; Tamara Soukotta, peneliti pada International Institute of Social Studies, Erasmus University & Radboud University, Belanda dan Zainal Abidin Bagir, pengajar Sekolah Pascasarjana UGM sekaligus Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies [ICRS], Yogyakarta.
Sementara moderator diskusi adalah Ismail Al-‘Alam dari Koalisi Advokasi KBB.
Dalam undangan diskusi publik tersebut, yang bertajuk “Agama, Pembangunan dan Konflik Agraria: Kasus Gereja Katolik di Flores”, panitia berkata menyinggung “konflik agraria terbuka yang berlangsung di Sikka antara pihak yang mewakili Gereja Katolik dan masyarakat setempat, termasuk kelompok adat sejak akhir Januari 2025.”
Panitia juga berkata diskusi tersebut akan membahas perkembangan konflik lahan eks Hak Guna Usaha PT Kristus Raja Maumere [Krisrama] milik Keuskupan Maumere itu dengan warga adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai.
“Sejauh mana konflik lokal ini mencerminkan masalah besar pembangunan di Indonesia? Mengapa lembaga agama berada di pihak yang berhadapan dengan masyarakat adat?” tulis panitia diskusi.
Pembahasan lainnya juga mengenai relevansi wacana kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam kasus tersebut, termasuk penggunaan isu penodaan agama dalam merespons kritikan umat terhadap gereja. Hal ini terkait dengan Cece Geliting, umat Katolik, yang dilaporkan ke polisi karena mengkritik tindakan penggusuran rumah dan tanaman warga adat oleh PT Krisrama.
Sementara, sebagai pengantar sebelum diskusi, panitia menyediakan tiga bahan bacaan.
Dua bacaan pertama terkait konflik PT Krisrama dan warga adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai, yang masing-masing ditulis Made Supriatma dan Tamara Soukotta.
Bacaan lainnya adalah hasil riset Tamara bersama Venan Haryanto, mahasiswa doktoral Bonn University, Jerman, yang mengangkat penjajahan melalui pembangunan di Flores, dengan fokus kasus di Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Dalam artikelnya berjudul “Gereja Buldoser” yang dimuat Floresa pada 31 Januari, Made mempersoalkan langkah PT Krisrama yang menggusur warga adat dalam kegiatan yang mereka klaim sebagai “pembersihan lahan” pada 22 Januari.
“Dipandang dari sisi apapun, penggusuran rumah warga oleh perusahaan milik Keuskupan Maumere sulit untuk dibenarkan,” kata Made.
Salah satu alasannya, kata dia, perbedaan kelas sosial antara klerus yang terdidik sekaligus tuan tanah dan golongan kaya dan umat Katolik atau warga adat yang hidup dalam kemiskinan.
“Saya tidak mengatakan bahwa 120 orang yang rumahnya Anda gusur adalah orang yang benar. Namun, mereka jauh lebih miskin dari Anda. Mereka jauh lebih membutuhkan tanah itu,” tulisnya.
Sementara artikel Tamara yang berjudul “Nangahale dan Cerita Kaum yang Ditindas di Bumi Flores: Antara Gereja, Tanah, dan Masyarakat Adat” yang dimuat Floresa pada 5 Februari mengkritisi cara-cara kekerasan yang dipakai Gereja ketika berkonflik dengan warga adat yang juga umatnya sendiri.
Tamara menyebut, kekerasan adalah upaya pelanggengan praktik penjajahan atau kolonialisme di banyak tempat, termasuk Flores, di mana Gereja Katolik yang merupakan institusi besar “seringkali terasa jauh dari keberpihakan terhadap masyarakat kecil.”
“Ketika didesak untuk mengambil posisi jelas soal keberpihakan antara masyarakat adat dan program pemerintah/investor, sejarah mencatat posisi Gereja Katolik Flores [seringkali] secara formal memihak program pembangunan pemerintah dan/atau investasi dari pemilik modal besar,” tulisnya.
Sementara itu, artikel berjudul “The Indonesian [Modern/Colonial] Dream of Development” yang ditulis Tamara bersama Venan Haryanto menyoroti sisi kelam pembangunan di Flores bagian barat, terutama Labuan Bajo, di mana penjajahan gaya baru tampak dalam rasisme atau peminggiran warga lokal oleh gempuran investasi.
Isi artikel itu juga sudah diulas di Floresa, dalam tulisan berjudul Kolonialisme dan Rasisme, Bagaimana Keduanya Berkelindan dalam Paradigma Pembangunan di Labuan Bajo?
Diskusi publik Koalisi Advokasi KBB akan disiarkan langsung melalui akun Youtube PUSAD Paramadina.
Panitia juga menyediakan tempat bagi peserta yang ingin bergabung melalui platform Zoom dengan melakukan registrasi melalui tautan: bit.ly/diskusiKBB-15.
Acara tersebut didukung berbagai organisasi advokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, yakni Pusat Studi Agama dan Demokrasi [PUSAD] Yayasan Wakaf Paramadina, Center for Religious and Cross-Cultural Studies [CRCS] UGM Yogyakarta, Indonesian Consortium for Religious Studies, Humanesia.id, dan Jaringan Gusdurian.
Organisasi lainnya adalah The Asia Foundation, Indonesian Legal Resources Center, Institute for Criminal Justice Reform, Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Oikumene.
Editor: Ryan Dagur