Floresa.co – Saat membawa Theresia Siul ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada Maret lalu, keluarganya berharap ia bisa sembuh dari komplikasi penyakit pada paru-parunya.
Perempuan berusia 24 tahun itu dirujuk dari Rumah Sakit Siloam Labuan Bajo yang berstatus tipe C.
Dengan membawanya ke RSCM yang bertipe A, Hendrik Maku, salah satu kerabat Theresia berharap “kondisi pasien bisa menjadi lebih baik.”
“Namun, justru sebaliknya yang kami dapat,” katanya kepada Floresa pada 12 Juni.
“Setelah beberapa tindakan di sana kok jadi tidak bisa duduk, tidak bisa tidur,” tambahnya.
Dari diagnosis di RS Siloam Labuan Bajo, Theresia menderita massa mediastinum dextra, efusi pleura, dan cancer pain (nyeri kanker).
Massa mediastinum dextra adalah pertumbuhan abnormal pada rongga mediastinum yang berada di antara kedua paru-paru sisi kanan tubuh. Massa ini bisa berupa tumor atau jaringan abnormal lainnya dan bisa bersifat jinak atau ganas. Sementara efusi pleura adalah penumpukan cairan rongga pleura, selaput tipis yang melapisi paru-paru dan dinding dada.
Hendrik berkata, karena diagnosis di RS Siloam menemukan terdapat cairan pada paru-paru Theresia “harus ditangani di rumah sakit yang lebih lengkap.”
Ia menjelaskan, semula Theresia hanya “batuk-batuk” dan “kami pikir batuk biasa.”
“Karena batuk itu cukup lama, ia dilarikan ke RS Siloam Labuan Bajo untuk mendapat perawatan,” katanya.
Perempuan kelahiran Pandang, Kecamatan Lembor itu pun menjalani perawatan di RSCM sebagai pasien BPJS sejak 18 Maret.
Saat pertama kali mendatangi rumah sakit rujukan nasional yang terletak di Jakarta Pusat itu, ia masih bisa berjalan.
Namun, sejak mendapat perawatan di RSCM, alumna salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta itu tak lagi bisa duduk dan berdiri.
Luka besar di belakang bokong menambah penderitaannya.
Dugaan Diskriminasi dan Malpraktik
Dalam keterangan tertulis yang diperoleh Floresa, Since Ganggur, kerabat lain Theresia menduga kondisinya memburuk karena malpraktik, kelalaian medis, diskriminasi terhadap pasien BPJS serta sistem pelayanan yang tidak manusiawi.
Since mengklaim sejak dirawat di RSCM, terdapat diskriminasi terhadap pasien BPJS di mana prosedur medis penting seperti CT Scan terus ditunda.
Jadwal yang seharusnya segera dilakukan justru baru tersedia 29 April, lebih dari sebulan setelah kedatangan pertama.
Namun, saat keluarga beralih ke jalur umum berbayar, jadwal langsung tersedia keesokan harinya pada 22 Maret, dengan biaya lebih dari Rp4 juta.
“Pelayanan menjadi lebih cepat ketika pasien beralih ke jalur umum,” katanya.
Selain itu, ia menyoroti penundaan prosedur medis vital seperti biopsi, pengambilan sampel jaringan untuk mendeteksi kelainan pada tubuh.
Prosedur itu, kata Since, seharusnya dilakukan secara profesional, namun “komunikasi sangat tidak transparan.”
“Pasien dan keluarga berkali-kali tidak diberikan informasi jelas soal kondisi atau jadwal tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit,” katanya.
Ia berkata, prosedur biopsi pertama dilakukan 9 April, namun gagal karena pengambilan sampel yang minim.
Theresia kemudian menjalani biopsi kedua pada 29 April, saat ia sudah terbaring di ruang rawat karena tidak bisa buang air kecil spontan.
Selanjutnya, kata dia, pada 30 April Theresia menjalani operasi bedah saraf yang justru menyebabkan kelumpuhan total.
“Ia yang sebelumnya berjalan kini tak lagi bisa duduk, berdiri atau mengangkat tubuhnya,” kata Since.
Tanpa instruksi tertulis maupun edukasi perawatan luka dari petugas, Theresia lalu dipulangkan dalam kondisi lumpuh pada 4 Mei.
“Dalam kondisi memakai kateter, luka di bokong mulai muncul. Luka membusuk, nyeri makin hebat,” kata Since.
Saat kontrol pada 8 Mei, hanya jahitan yang dibuka, “tanpa tindak lanjut atau terapi saraf lanjutan.”
Pada 11 Mei, ia dilarikan ke IGD karena kesakitan, tetapi dipulangkan pada malam harinya.
Kendati kondisi Theresia makin memburuk, RSCM terus mewajibkannya hadir secara fisik untuk verifikasi administrasi.
“Pada 20 Mei, ia dibawa ke rumah sakit dalam kondisi sangat lemah.”
Biopsi ketiga yang seharusnya dijadwalkan pada 27 Mei juga tiba-tiba dibatalkan, yang baru bisa dilakukan pada 28 Mei.
Hasil pemeriksaan lanjutan seperti imunohistokimia dibatalkan mendadak melalui pesan singkat WhatsApp, kata Since, hal yang membuat Theresia “menangis, menolak makan dan kehilangan semangat hidup.” .
Since mengaku seorang tenaga medis melecehkan Theresia dan keluarganya secara verbal pada 21 Mei. Saat itu keluarga mengeluh karena terlalu lama menunggu obat.
“Pasien kami banyak, bukan hanya kalian. Kalau memang sudah ajal, ya mau diapakan,” kata Since menirukan pernyataan tenaga medis tersebut.
Since juga mengungkapkan fakta lain yang menunjukkan “perilaku tidak berperikemanusiaan RSCM.”
“Ada satu kejadian lain di mana anak kami diminta datang ke RSCM hanya untuk pengambilan sidik jari. Setibanya di RSCM, pasien terpaksa tidur di lantai pintu masuk rawat jalan karena ketiadaan tempat tidur dorong,” kata Since.
Menurutnya, kelalaian dalam tindakan medis, termasuk operasi tanpa penjelasan risiko yang memadai, “menjadi penyebab anak kami menderita seperti ini.”
Ia menyesalkan semua perilaku RSCM yang sangat memandang sepele penyakit yang diderita pasien.
Karena perlakuan yang dianggap tidak manusiawi, keluarga kemudian memutuskan memindahkan Theresia ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, pada 7 Juni sebagai pasien umum.
Ia dipindahkan dalam kondisi lemah, luka besar terbuka di bokong dan kateter masih terpasang.
Tuntut Bentuk Tim Investigasi Independen
Mempertimbangkan kronologi dan dampak yang terjadi, keluarga menuntut manajemen RSCM membentuk tim investigasi independen untuk menelusuri seluruh proses pelayanan yang diberikan kepada Theresia Siul.
Hasil investigasi itu, kata keluarga, harus disampaikan secara terbuka kepada publik dan dilaporkan ke Komite Etik Rumah Sakit serta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran untuk penanganan lebih lanjut.
Keluarga juga meminta RSCM melakukan audit menyeluruh terhadap keputusan medis, prosedur yang dijalani serta dokumentasi administrasi, termasuk validitas rekam medis dan kesesuaian tindakan dengan protokol medis.
Keluarga menilai audit ini penting untuk menentukan “apakah terdapat penyimpangan prosedur, penundaan non-medis atau kelalaian profesional.”
Selain itu, keluarga menuntut agar dokter, perawat atau pihak manajemen yang lalai atau melanggar etika profesi diberikan sanksi tegas.
Mempertimbangkan penderitaan fisik dan mental yang dialami Theresia, keluarga juga menuntut pemberian kompensasi finansial sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum dari RSCM.
“Pasien harus mendapatkan akses penuh atas rehabilitasi medis, termasuk fisioterapi, konseling psikologis serta perawatan lanjutan secara gratis hingga pulih,” kata keluarga.
Manajemen RSCM juga diminta untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan tertulis kepada pasien dan keluarganya sebagai “bentuk pengakuan atas kesalahan sistem dan sebagai komitmen untuk memperbaiki mutu pelayanan ke depan.”
Keluarga juga mendesak adanya evaluasi dan reformasi terhadap sistem pelayanan pasien BPJS di RSCM.
Sistem yang berlaku saat ini, kata keluarga, “memperlambat penanganan, tidak ramah terhadap pasien dari kalangan tidak mampu dan berpotensi memunculkan diskriminasi terhadap pasien non-umum.”
Chandra Goba, pengacara yang mendampingi keluarga Theresia, menegaskan bahwa berdasarkan kronologi kliennya, “ada dugaan kuat bahwa pihak RSCM tidak hanya melakukan malpraktik, tetapi juga maladministrasi.”
Karena itu, ia mendesak agar RSCM bertanggung jawab penuh, termasuk dengan mengobati kembali pasien.
“Dia datang ke RSCM dalam keadaan bisa berjalan, tetapi sekarang justru lumpuh. Maka, pihak RSCM harus bertanggung jawab untuk menyembuhkannya,” kata Chandra.
Selain itu, kata dia, seluruh biaya pengobatan Theresia di RSPAD Gatot Subroto ditanggung oleh RSCM.
“Pasien itu lumpuh karena dirawat di RSCM, bukan di RSPAD. Alasan dia menjadi lumpuh juga tidak dijelaskan pihak RSCM. Karena itu, merekalah yang harus bertanggung jawab membiayai pasien, bukan keluarga,” katanya.
Chandra menilai RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional seharusnya menjadi pelopor keadilan dalam pelayanan kesehatan.
Ia juga menyatakan laporan ini bukan bertujuan untuk menyalahkan RSCM, melainkan demi memperjuangkan keadilan dan mencegah agar tragedi serupa tidak terjadi pada pasien lain di masa depan.
“Kami hanya ingin keadilan bagi adik Theresia dan pasien-pasien lain yang bernasib serupa. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan menambah penderitaan,” katanya.
Bagaimana Penjelasan RSCM?
Floresa meminta tanggapan RSCM dengan mengirimkan sejumlah pertanyaan kepada Puji, staf humas rumah sakit itu via WhatsApp ada 12 Juni pagi.
“Nanti kami update klarifikasi dari RSCM,” katanya.
Floresa kembali menghubungi Puji pada pada sore hari. Namun, ia tidak merespons pesan yang dikirim ke ponselnya, kendati bercentang dua dan berwarna biru, tanda telah dibaca.
Floresa kembali menghubungi Puji pada 13 Juni pagi. Ia berjanji “hari ini akan kami kirimkan klarifikasi.” Saat ditanya lagi pada sore hari, ia mengatakan Yogi Friano, salah satu anggota timnya akan menghubungi Floresa.
Yogi baru mengirim penjelasan kepada Floresa pada 14 Juni. Dalam penjelasan itu, RSCM tidak secara spesifik merespons keluhan dari keluarga Theresia, baik soal perlakuan diskriminatif, dugaan malpraktik maupun tuntutan untuk bertanggung jawab.
RSCM hanya menyatakan, penyakit yang diderita Theresia “tergolong sangat kompleks sehingga melibatkan banyak bidang spesialisasi dan berbagai konsultasi antarunit.”
“Penegakan diagnosis untuk memastikan jenis dan tahap penyakit yang diderita pasien pada kasus kompleks seperti itu seringkali memerlukan waktu untuk konsultasi antarunit dan pemeriksaan di unit yang berbeda. Setiap hari RSCM menangani ribuan kasus, dengan pendekatan patient-centered care yang melibatkan berbagai disiplin demi kesembuhan pasien,” tulis RSCM.
Soal bedah yang dijalani Theresia, RSCM menyebutnya sebagai “operasi sulit di area tulang belakang” yang telah dilakukan “untuk mengatasi permasalahan klinis pada pasien.”
“Pasien kemudian diarahkan rawat jalan setelahnya. Selalu ada komunikasi antara dokter serta perawat yang merawat dengan pasien atau keluarga yang saat itu mendampingi sebelum dipulangkan,” tulis RSCM.
RSCM juga menjelaskan, sesuai dengan SOP tindakan biopsi yang berlaku, “pasien rencana tindakan biopsi pada kasus tertentu perlu menjalani rawat inap terlebih untuk persiapan dan observasi pasca tindakan.”
Sementara perihal pembatalan pemeriksaan Imunohistokimia atau IHK oleh Patologi Anatomi terjadi karena “sampel yang diperiksa tidak banyak dan tidak mengandung sel tumor sehingga tidak dapat diperiksa.”
“Petugas administrasi Patologi Anatomi telah menghubungi keluarga pasien melalui WhatsApp untuk memberitahukan bahwa pemeriksaan dibatalkan dan surat pembatalan sudah diproses,” tulis RSCM.
Selebihnya RSCM menjelaskan prosedur pelayanan, seperti loket prosedur kunjungan dengan check-in di mesin Anjungan Pendaftaran Mandiri (APM) dan area admisi yang telah dilengkapi dengan Tim Sistem Pelayanan Pendaftaran Online Rawat Jalan Terpadu (SIPPORT).
Soal perlakuan terhadap pasien, RSCM mengklaim, sebagai rumah sakit rujukan nasional “selalu siap menerima pasien dari seluruh tanah air.”
“Terdapat alur pelayanan reguler dan eksekutif (VIP) seperti halnya di banyak rumah sakit sesuai ketentuan. Pasien bebas memilih alur pelayanan sesuai kebutuhan. Kualitas layanan langsung yang diberikan tenaga medis kepada pasien akan selalu sama sesuai pedoman praktik klinis yang berlaku di rumah sakit.”
Mengakhiri penjelasannya, RS menyatakan “siap menolong dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia.”
“Kami sangat berterima kasih atas kritik dan saran membangun yang bisa disampaikan melalui laman website RSCM untuk peningkatan pelayanan yang lebih baik lagi kedepannya. Kami mendoakan kesembuhan paripurna bagi pasien, serta selalu siap menerima kembali pasien dan siapapun bila ingin berobat kembali di RSCM.”
“Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sdri. Yani Astuti (08129021879) dan Yogi Friando (081283091695) dan untuk koordinasi dokumen melalui alamat email divhumas.rscm@gmail.com,” tulis RSCM.
Yogi tidak merespons pertanyaan Floresa soal tanggapan terhadap desakan keluarga yang meminta RSCM bertanggung jawab terhadap pasien.
Editor: Petrus Dabu