Ilusi Kemandirian Desa dalam Program Kopdes Merah Putih

Program ambisius ini hanyalah salah satu satu dari berbagai bentuk agenda pemerintah yang memperparah cengkeraman terhadap desa

Oleh: Vansianus Masir

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mencanangkan program pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih di 80.000 desa di seluruh Indonesia. Peluncurannya dijadwalkan pada 12 Juli bertepatan dengan Hari Koperasi Indonesia. 

Di wilayah NTT, sejumlah kabupaten telah mulai mengeksekusi pembentukan koperasi ini.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Koperasi dan UMKM Kabupaten Manggarai Barat, Theresia P Asmon menargetkan membentuk Kopdes Merah Putih di 169 desa/kelurahan yang tersebar di 12 kecamatan pada tahun ini.

Di Kabupaten Manggarai Timur, 179 desa dan 17 kelurahan telah membentuk kepengurusan koperasi itu. Dari jumlah tersebut, 76 di antaranya sudah berbadan hukum. Desa Leong di Kecamatan Lamba Leda Selatan merupakan salah satu desa yang telah membentuk kepengurusan, pengawas serta telah mulai merekrut anggota sejak 26 Mei. 

Sementara di Kabupaten Manggarai, sebanyak 145 desa telah membentuk koperasi dan 100 di antaranya telah memiliki akta notaris.

Pembentukan Kopdes Merah Putih membawa misi motor penggerak yang memperkuat ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.  Namun, lewat artikel ini saya melihat Kopdes Merah Putih sebagai salah satu agenda pemerintah pusat yang memperparah cengkeraman terhadap desa. Hal ini makin menihilkan kemandirian desa, mengingat sudah banyak program pemerintah pusat  lainnya yang membelenggu desa.  

Konsep Kopdes Merah Putih

Menurut pemerintah pusat, Kopdes Merah Putih adalah lembaga ekonomi beranggotakan masyarakat desa yang dibentuk untuk meningkatkan kesejahteraan melalui prinsip gotong royong, kekeluargaan dan partisipasi bersama. 

Hingga 3 Juni, pemerintah menyebut sudah ada 15.000 Kopdes Merah Putih yang telah resmi berbadan hukum dan sekitar 78.200 desa/kelurahan telah melaksanakan musyawarah desa khusus untuk pembentukannya.

Anggaran yang dibutuhkan untuk program ini diperkirakan mencapai Rp400 triliun dan masing-masing koperasi mendapat plafon pinjaman modal hingga Rp3 miliar. Sumbernya adalah dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang wajib dikembalikan dengan mekanisme cicilan selama enam tahun.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop), Budi Arie mengklaim Kopdes Merah Putih diproyeksi dapat menciptakan lebih dari dua juta lapangan kerja. Selain itu, setiap koperasi ini berpotensi meraih keuntungan hingga Rp1 miliar per tahun.

Wamenkop, Ferry Juliantono juga menyatakan Kopdes Merah Putih mampu mengurangi angka kemiskinan ekstrem di Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bahkan, kata Ferry, koperasi ini mampu mencegah masyarakat terlepas dari jeratan pinjaman online (pinjol) ilegal dan rentenir. 

Pemerintah juga mengklaim Kopdes Merah Putih akan memotong rantai pasok yang panjang pada tata niaga di desa dan berperan sebagai offtaker dari hasil panen petani di desa.

Menimbulkan Ketergantungan dan Menambah Mata Rantai Intervensi

Meski secara konsep, ide Kopdes Merah Putih terdengar ideal, namun hal ini telah mencederai prinsip tentang koperasi.

Secara sederhana, koperasi merupakan lembaga ekonomi masyarakat yang dibentuk berdasarkan kesepakatan anggota yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong. Modal koperasi berasal dari anggota sendiri. 

Dari pengertian ini saja, Kopdes Merah Putih sebetulnya tidak pantas disebut koperasi. Pembentukan koperasi ini diinisiasi pemerintah pusat, begitu juga dengan modalnya. Asasnya bukan lagi kekeluargaan dan gotong royong, melainkan kehendak segelintir orang – di pemerintah pusat – yang bersifat memaksa dan menekan. 

Dalam praktiknya nanti, Kopdes ini akan sangat bergantung pada dukungan dana dari pemerintah pusat dan lembaga perbankan milik negara, BUMN dan Himbara.

Maka jelas, Kopdes ini bukannya menumbuhkan kemandirian, melainkan program yang menciptakan ketergantungan finansial yang akut, membunuh kreativitas dan inovasi desa.  

Selain itu, program ini akan sangat menyita energi dan sumber daya pemerintah desa karena akan berhadapan dengan tuntutan pengelolaan dan pelaporan keuangan yang ketat dan berlapis.

Jimly Asshiddiqie, tokoh koperasi nasional memberi kritik tajam terhadap program ini. Menurutnya, pembentukan koperasi yang sentralistik menggerus usaha koperasi yang selama ini ada di masyarakat berdasarkan kebutuhan dan karakteristik lokal. Ketika seluruh desa mengikuti pola yang sama, kata dia, kekayaan potensi lokal malah tersamar oleh birokrasi dan prosedur, standar pusat yang kaku. 

Mestinya pemerintah pusat paham dan sadar, setiap desa memiliki keberagaman, baik dari segi budaya, sosial dan ekonomi. Karena itu kebijakan juga harus beragam, fleksibel dan kontekstual untuk menemukan solusi yang tepat. 

Pembentukan Kopdes Merah Putih yang bersifat top-down adalah bentuk pengingkaran terhadap lokalitas yang ada di desa, sekaligus menghambat desa melaksanakan pembangunan yang sesuai kebutuhan riilnya.

Saya tidak sedang memproposalkan pemikiran agar desa memblokade dirinya sama sekali dari pemerintah pusat dan negara. Dalam situasi dan kondisi tertentu, intervensi pemerintah pusat diperlukan, seperti pendampingan dan pembinaan untuk memperkuat kapasitas pemerintah desa.

Namun, ketika intervensi dilakukan secara berlebihan dan kebablasan, apalagi menimbulkan dominasi, akan menyebabkan dampak destruktif bagi desa. 

Koperasi mestinya tumbuh secara organik dari kebutuhan dan kekuatan desa, bukan dipaksakan menjadi program yang seragam. 

Perparah Ketergantungan Desa

Program ini hanyalah salah satu dari berbagai bentuk agenda pemerintah yang memperparah cengkraman terhadap desa. Padahal, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 memiliki spirit utama mengubah paradigma pembangunan desa.

Perubahan itu terkait peralihan dari cara pandang yang melihat desa sekadar sebagai objek menjadi subjek pembangunan. Desa berdaulat mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai kewenangan pemerintah desa berdasarkan prakarsa masyarakat setempat. 

Dengan itu, desa yang menyimpan kekayaan potensi lokal bisa mengelola diri sendiri sehingga menjadi basis kehidupan dan penghidupan melalui kemandirian ekonomi rakyat. 

Namun, rupanya, UU Desa hanya kemenangan sementara. Dalam perjalanan waktu, UU Desa mengalami distorsi dan reduksi menjadi proyek dana desa. Karena menjadi proyek, dana desa tidak dianggap sebagai hak desa yang merupakan implementasi asas subsidiaritas, tetapi sebagai program pemerintah pusat. 

Di sisi lain, cengkeraman terhadap kewenangan desa itu muncul lewat berbagai program lintas kementerian sektoral yang dipaksakan masuk desa, kendati  belum tentu sesuai kebutuhan masyarakat desa. Lebih parah lagi pembiayaannya dibebankan pada dana desa, misalnya lewat program bantuan langsung tunai. Kebijakan dilakukan secara top-down, tanpa memikirkan kesiapan desa, tidak ada dialog dan partisipasi publik. 

Demokrasi di tingkat desa pun berusaha dimatikan. Kalau pun ada musyawarah desa, itu hanya formalitas agar terlihat demokratis, sebab penggunaan dana desa sudah ditentukan dari atas. 

Jiwa UU Desa babak belur dikepung dan dihantam birokratisasi serta teknokratisasi pemerintah supra desa yang mengatur, membatasi, mengawasi, mengendalikan, menarget dan memperalat desa. 

Implikasinya, pembangunan desa dilaksanakan dengan ‘mengutamakan teknokrasi ketimbang demokrasi, mementingkan urusan teknis dari pada kehendak politik, mendahulukan perangkat digital serentak membunuh hakekat’ (Sutoro Eko, 2021).

Pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan dan irigasi menjadi prioritas utama di desa, tetapi pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat tidak mendapat perhatian serius. 

Logika birokratisasi dan teknokratisasi pemerintah supra desa semacam ini membuat pemerintah desa sering jadi korban. Ruang gerak pemerintah desa dibatasi birokrasi yang kaku, ribet dan rumit. 

Mereka lebih disibukkan rutinitas dengan tetek-bengek urusan administratif, lihai mengoperasikan bermacam-macam aplikasi, wajib membuat bertumpuk-tumpuk laporan pertanggungjawaban. 

Sebagian besar waktu pemerintah desa dihabiskan di kantor, tanpa perjumpaan nyata yang intens dengan masyarakat untuk merasakan langsung denyut nadi kehidupan mereka. 

Pemerintah desa tidak lagi tampil sebagai pemerintah yang sejati: menghadirkan negara yang melayani dan melindungi rakyatnya di tingkat desa, tetapi menjelma sebagai birokrat, mandor proyek, bawahan dan pesuruh yang melayani keinginan pemerintah supra desa. 

Ketika proyek dari negara gagal, orang pertama yang dituding dan dicurigai macam-macam adalah kepala desa dan perangkatnya. Negara yang sebelumnya suka campur tangan justru memilih cuci tangan, ketimbang turun tangan.

Negara hadir ke desa melalui bermacam-macam proyek pembangunan yang seringkali tidak dengan niat baik, tetapi ingin merusak, menindas, mengisap dan mengeksploitasi desa. 

Jargon yang terkesan nasionalis seperti demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah narasi kamuflase dan tipu muslihat untuk menyembunyikan watak kolonial dengan cara yang halus. Akibatnya, emansipasi dan kemandirian desa hanya ilusi.

Desa dikontrol berlebihan, tapi tidak memberi pengakuan dan penghormatan bagi desa untuk mengambil keputusan politik sesuai caranya sendiri. Pemerintah desa dijadikan mandor proyek dan fokus pada administrasi. 

Pemerintah desa lebih takut jika tidak menyiapkan laporan kepada pemerintah supra desa, ketimbang melakukan gebrakan yang membawa perubahan nyata bagi kemajuan desa.

Menuju Kemandirian Desa

Agar kemandirian desa tidak menjadi ilusi dan jargon tanpa makna, perlu perubahan paradigma dalam memandang desa. 

Pemberdayaan dan kemandirian desa jangan disimplifikasi hanya soal uang atau dana desa, namun soal bagaimana meningkatkan kapasitas desa dalam menggunakan sumber daya, perencanaan pembangunan yang partisipatif serta pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan. 

Kemandirian dan pemberdayaan desa membutuhkan keberanian dan komitmen untuk menjadikan desa sebagai ruang bertumbuhnya imajinasi, kreativitas dan inovasi dalam mengelola potensi lokal. 

Selain itu, kemandirian dan pemberdayaan desa hanya mungkin terwujud apabila pemerintahan dijalankan dengan kebijakan kontekstual untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat setempat. 

Musyawarah desa harus dihidupkan sebagai ruang pengambilan keputusan yang demokratis, bukan formalitas belaka. 

Desa yang mandiri, makmur dan sejahtera bisa tercapai apabila pembangunan dilaksanakan dengan menghargai potensi lokal dan melibatkan partisipasi masyarakat yang demokratis. 

Selain itu, kemandirian desa hanya mungkin terwujud jika program dirancang untuk memberkuasakan, memberdayakan serta memampukan desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Vansianus Masir adalah Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa TEROPONG di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD’ Yogyakarta

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING