Pemerintah Beri Lampu Hijau Realisasi Proyek Infrastruktur Wisata di Taman Nasional Komodo, Abai dengan Protes Warga dan Elemen Sipil

Pekan ini ada konsultasi publik untuk meloloskan agenda investasi PT Komodo Wildlife Ecotourism yang mengantong konsesi seluas ratusan hektare dalam ruang hidup komodo di Pulau Komodo dan Pulau Padar

Floresa.co – Pemerintah sedang memberi lampu hijau bagi realisasi proyek pembangunan fasilitas pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo yang selama satu dekade terakhir menjadi sorotan elemen sipil karena khawatir soal dampaknya bagi habitat komodo dan juga telah menjadi perhatian serius lembaga global UNESCO.

Seperti dilansir dalam siaran pers Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPO-LBF), pemerintah menggelar konsultasi publik di Golo Mori Convention Center, Labuan Bajo pada 23 Juli untuk proyek yang hendak dikerjakan oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE), pemegang izin konsesi seluas ratusan hektare di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Konsultasi itu menghadirkan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Kehutanan.

Hadir juga perwakilan Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat, UNESCO Jakarta, Pelaku Usaha, LSM dan Tim Penyusun Environmental Impact Assessment (EIA) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT KWE.

Sapto Adi Prabowo, Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi, Ditjen KSDAE yang berbicara dalam forum tersebut mengklaim konsultasi publik merupakan bagian dari ruang diskusi produktif untuk memastikan rencana investasi wisata di TN Komodo berlangsung dengan memenuhi prinsip konservasi.

Tujuan lainnya, kata dia, untuk mengumpulkan masukan dari setiap pemangku kepentingan agar selain menjaga kelestarian lingkungan, investasi PT KWE juga bermanfaat secara ekonomi bagi warga.

“Semua pembangunan di kawasan warisan dunia seperti Taman Nasional Komodo harus dilakukan dengan memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Status ini bukan hanya kebanggaan, tetapi juga amanah yang harus dijaga,” kata Sapto.

Ia juga berkata hasil konsultasi tersebut akan diserahkan kepada UNESCO sebagai bukti komitmen pemerintah menjaga Taman Nasional Komodo sebagai situs warisan dunia.

Berlangsung di Tengah Protes Warga dan Elemen Sipil

Konsultasi itu merupakan upaya terbaru pemerintah untuk meloloskan agenda investasi yang memberi karpet merah bagi korporasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang memiliki luas 173.300 hektare.

PT KWE hanyalah salah satu dari perusahan yang telah mendapat konsensi dari Kementerian Kehutanan, yang sebelumnya masih bernama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK).

Korporasi itu mengantong Izin Pengelolaan Pariwisata Alam (IPPA) dari KHK pada 2014 untuk seluas 274,13 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Loh Liang, Pulau Komodo.

Perusahaan lainnya yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) adalah PT Synergindo Niagatama dengan luas 6,490 hektare. Izin yang belokasi di Pulau Tatawa itu terbit pada 2014.

Selain itu adalah PT Segara Komodo Lestari (SKL) yang mengantongi izin konsesi lahan seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca pada 2013.

PT SKL sempat hendak memulai pembangunan di Pulau Rinca pada 2018, namun gagal usai muncul protes publik, hingga membuat KLHK turun tangan.

Perusahan lainnya adalah PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara. Keduanya menggantikan PT Flobamor, BUMD milik Pemerintah Provinsi NTT yang hengkang sejak tahun lalu setelah hanya dua tahun mengelola jasa pariwisata alam di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

PT Flobamor yang mendapatkan izin sejak 2022 – masa pemerintahan Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat, tercatat memiliki kebijakan kontroversial, salah satunya kenaikan tarif masuk TN Komodo dari ratusan ribu menjadi hampir Rp4 juta.

Perusahan-perusahaan ini terhubung dengan politisi dan konglomerat. Rheza Herwindo, putra Setya Novanto, eks Ketua Umum Partai Golkar dan koruptor e-KTP misalnya tercatat sebagai Komisaris Utama PT KWE.

Sementara PT Synergindo Niagatama dimiliki Mochamad Sonny Inayatkhan, penerima manfaat PT Synergy Tharada yang mengelola Pelabuhan Internasional Batam Center. Sonny juga menjabat Direktur Keuangan PT Bali Star Resort Indah, yang bila ditarik lagi ke atas terhubung denan Kuok Khong Hong, pendiri Wilmar, dan Rosa Taniasuri Ong, istri Martua Sitorus.

Sedangkan PT SKL dimiliki David Makes, yang bersama kakaknya, pengacara Yozua Makes, mendirikan Plataran Indonesia, bisnis hospitality yang menjalin rekanan dengan pengusaha kawakan Rosano Barack. Yozua memiliki kapal pinisi yang kerap dipakai Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Labuan Bajo.

Ali Mudin, salah satu warga Ata Modo, penduduk asli Pulau Komodo mengaku tidak terlalu kaget mendengar PT KWE kini mulai bermanuver.

Berbicara kepada Floresa pada 25 Juli, ia berkata sudah ada enam puluhan warga Desa Komodo yang diduga direkrut sebagai pegawai PT KWE beberapa waktu terakhir.

“Ini adalah langkah awal untuk membangun ulang komunikasi dengan warga atau mendulang dukungan warga Ata Modo,” katanya.

Ali menduga, pergerakan terbaru perusahaan itu tidak lepas dari masuknya perusahaan milik taipan Tommy Winata, yakni PT Palma Hijau Cemerlang atau PT PHC yang beberapa waktu lalu dikabarkan tengah mendirikan bangunan di Pulau Padar bagian utara.

Selain itu, kata dia, PT Nusa Digital Creative (NDC), perusahaan yang mengantongi izin pemanfaatan jasa wisata, juga diduga telah melakukan survei jalur trekking di Padar utara di atas lahan konsesi milik PT KWE.

“PT PHC masuk dengan iming-iming untuk pemulihan habitat di darat dan laut, pakai istilah keren yang ada ‘green-green’ (hijau) itu,” katanya.

Kedatangan Tommy Winata ke kawasan itu pada Oktober 2024, berikut aktivitas PHC yang semakin nyata membuat Ali dan warga lainnya curiga, “jangan-jangan ada maksud lain.”

Seperti dilaporkan Floresa sebelumnya,  PT PHC — salah satu dari perusahaan baru yang masuk ke Taman Nasional Komodo telah meneken Perjanjian Kerja Sama dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), lembaga khusus di bawah Kementerian Kehutanan yang menangani TN Komodo.

Perjanjian bernomor PKS.38/T.17/KUM.3.1/10/2024 dan 001/P.X/OP-PHC/18/2024 tertanggal 18 Oktober 2024 itu mencakup area seluas 5.815,3 hektare.

Perusahaan itu sempat jadi sorotan pada April lalu usai satpamnya melarang seorang pemandu wisata singgah di Padar utara, tepatnya di pos yang memiliki jetty atau dermaga kecil, beralasan empat atau lima tahun ke depan akan dibangun hotel di kawasan tersebut.

Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga berkata kehadiran PT PHC untuk mendukung kegiatan konservasi di Pulau Padar dan penguatan pengelolaan Taman Nasional Komodo.

Penguatan tersebut termasuk secara kelembagaan, perlindungan pengamanan kawasan, pemberdayaan masyarakat, pengawetan flora dan fauna, pemulihan ekosistem serta pengembangan wisata alam di Pulau Padar dan sekitarnya.

Penolakan Publik Bukan Soal Prosedural

Venan Haryanto, peneliti isu pembangunan pariwisata dan konservasi di Taman Nasional Komodo menilai, konsultasi publik PT KWE dan Kementerian Kehutanan adalah “pertanda pemerintah tidak pernah mendengarkan suara publik terkait investasi dalam ruang hidup komodo.”

“Apalagi konsultasi publik ini juga tampak dibuat asal-asalan, tidak terbuka dan tidak diketahui oleh banyak warga di Labuan Bajo dan sekitarnya,” kata Venan kepada Floresa pada 25 Juli.

Ia berkata, gelombang protes yang terjadi selama ini “bukan lagi pada soal prosedur, apakah akan membangun sesuai AMDAL atau tidak.”

Penolakan, kata Venan yang kini tengah menempuh studi doktoral di Universitas Bonn, Jerman, muncul karena ekspansi korporasi di kawasan itu yang akan membangun infrastruktur “berdampak buruk bagi taman nasional sebagai kawasan konservasi, ruang hidup warga dalam kawasan dan jantung utama destinasi wisata Labuan Bajo.”

Ali Mudin berkata dirinya bersama warga Ata Modo menolak segala bentuk pembangunan di tanah dan perairan kawasan itu karena mengancam ekosistem komodo dan keberlanjutan hidup warga di dalamnya.

Ia heran, pemerintah yang sebelumnya memaksa warga taat pada aturan konservasi, bahkan hingga “memakai kekerasan dan intimidasi untuk berbagai macam larangan” justru kini terus berupaya meloloskan proyek skala besar oleh perusahaan-perusahaan.

“Saya sudah kehilangan kepercayaan pada konservasi yang dahulu kala dicanangkan oleh pemerintah karena sudah ada pergeseran aturan mainnya. Tadinya pindah kayu dan batu saja tidak boleh karena melanggar konservasi, hari ini justru perusahaan yang masuk,” katanya.

“Beberapa warga dulu bahkan dipenjara karena potong dahan, bukan potong pohon di dalam kawasan Taman Nasional Komodo,” tambahnya.

Hal itu, kata dia, lebih jauh merupakan “bahaya bagi masa depan warga Ata Modo” karena tanahnya yang diambil oleh negara demi konservasi justru secara serampangan diberikan kepada pihak lain untuk dirusak.

“Tanah itu berhubungan dengan harga diri, bukan soal luas wilayahnya. Bahkan tanah sejengkal pun harus dipertahankan,” katanya.

Problem Lama yang Jadi Sorotan UNESCO

Persoalan terkait proyek infrastruktur pariwisata di kawasan itu sempat menuai sorotan dari UNESCO atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menaungi urusan internasional terkait pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayan.

Pada 2021, lembaga itu meminta pemerintah menghentikan sementara proyek demi menjaga nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Values dari kawasan itu. 

Seperti disinggung Sapto dalam konsultasi publik PT KWE, kegiatan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah dan perusahaan memenuhi tuntutan UNESCO tersebut, yang meminta merevisi dokumen terkait kelestarian lingkungan untuk ditinjau kembali.

Dalam salah satu dokumen keputusan bertajuk “Decision 45 COM 7B.15 Komodo National Park (Indonesia) (N 609)”, Komite Warisan Dunia UNESCO menyatakan rencana pemerintah menjadikan Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super prioritas, menghindari pariwisata massal dan menetapkan Rencana Induk Pariwisata Terpadu atau Integrated Tourism Master Plan “menghadirkan peluang positif untuk memposisikan kawasan tersebut sebagai destinasi wisata berkelanjutan terkemuka yang menjamin perlindungan dan pengelolaan nilai universal luar biasa.”

Namun, UNESCO menyayangkan berbagai rencana itu tidak disertai kajian lingkungan, mengingat Keputusan Menteri LHK pada 2020 yang mengecualikan infrastruktur pariwisata di TN Komodo dari persyaratan AMDAL.

Karena itu, UNESCO meminta pemerintah menyertakan AMDAL dalam setiap proses pembangunan, termasuk untuk korporasi swasta.

Dalam hal itu, menurut UNESCO, pemerintah perlu memastikan proyek-proyek tersebut memenuhi persyaratan Analisis Dampak dalam Konteks Warisan Dunia, termasuk melakukan konsultasi dengan semua pihak.

UNESCO juga meminta pemerintah memastikan tidak ada konsesi atau proyek pembangunan yang disetujui tanpa penilaian yang memadai dan tidak ada persetujuan yang dikeluarkan untuk proyek-proyek yang akan berdampak negatif terhadap nilai universal luar biasa kawasan itu.

Sementara alih-alih pariwisata eksklusif, UNESCO meminta pemerintah fokus pada pariwisata yang menjamin pengalaman pengunjung berkualitas tinggi.

Salah satu poin penting yang juga ikut jadi sorotan UNESCO adalah praktik utak-atik zonasi oleh KLHK pada 2012 yang “menyebabkan perubahan zona rimba menjadi zona pemanfaatan.”

Kebijakan itu kemudian memberi celah bagi pemberian konsesi kepada korporasi.

Perubahan zonasi itu terjadi pada 2012 melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012. KLHK mengkonversi 303,9 hektare lahan yang masuk dalam zona rimba di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat. 

Seturut desain tapak, zona pemanfaatan ini kemudian dibagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik. 

Dua tahun kemudian, pada September 2014, KLHK menerbitkan perizinan bagi PT KWE di pulau itu.

SK yang sama pada 2012 mengubah seluruh wilayah Pulau Tatawa yang merupakan zona rimba menjadi zona pemanfaatan wisata darat. 

Pada 2014, kawasan seluas 6,490 hektare di pulau tersebut, yang total luasnya 20,944 hektare, lalu diserahkan kepada PT Synergindo Niagatama untuk bisnis wisata pada 2014. Sisanya 14,454 hektare ditetapkan untuk ruang publik.

Keprihatinan UNESCO juga terkait “aktivitas manusia” dan “perubahan iklim” yang menyebabkan penurunan status konservasi satwa Komodo dari kategori “rentan” menjadi “terancam punah”, berdasarkan penilaian International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2021.

Melalui surat resmi pada November 2024 bertajuk “State of Conservation Status of The World Heritage in Indonesia: World Heritage Property Komodo National Park (N 609)”, pemerintah merespons UNESCO dengan menyatakan komitmen untuk menyelesaikan Rencana Induk Pariwisata Terpadu sebagai kerangka dasar pengembangan pariwisata yang berkelanjutan.

Pemerintah mengklaim bahwa pada 2023 KLHK membuat Strategic Environmental Assessment (SEA), berisi “panduan dan rekomendasi komprehensif untuk lembaga pemerintah dan sektor swasta mengenai proyek yang diizinkan, potensi risiko dan tindakan-tindakan mitigasi yang tepat.”

“Taman Nasional Komodo dan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, telah memulai beberapa rencana strategis dan inovasi untuk meningkatkan pengalaman pengunjung dan memastikan pariwisata berkelanjutan, secara konsisten melakukan upaya komprehensif untuk memantau populasi komodo setiap tahun serta memperkuat inisiatif pengelolaan yang ada,” tulis pemerintah.

Surat tersebut juga berisi klaim pemerintah bahwa utak-atik zonasi yang sudah dan akan dilakukan ke depannya tidak berdampak buruk pada nilai universal luar biasa kawasan tersebut.

Venan Haryanto berkata, UNESCO perlu mencermati dengan baik langkah terbaru pemerintah Indonesia, termasuk dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal dan elemen sipil.

Jika UNESCO hanya mendapatkan informasi tentang “hal-hal yang baik saja dari konsultasi publik PT KWE maka bisa dipastikan pembangunan ini akan berjalan.”

Ia juga berkata, publik perlu mengawasi keputusan UNESCO, “menimbang bola panasnya sekarang ada di lembaga tersebut.”

“Warga dan berbagai elemen sipil di Labuan Bajo, termasuk Indonesia secara umum perlu segera bergerak sebelum semuanya terlambat. Jika tidak, konservasi akan digadaikan, Taman Nasional Komodo sebagai piring nasi bersama akan pecah di tengah privatisasi semacam ini,” katanya.

Ia menambahkan, “kasus ini merupakan ujian bagi komitmen UNESCO untuk menjaga TN Komodo sebagai situs warisan dunia yang ditetapkannya pada 1991.” 

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA