Oleh: Dini Pramita
Tulisan ini muncul dari pertanyaan singkat seorang teman sebagai sanksi saat saya kalah dalam ludo — permainan dadu di ponsel yang baru pertama kali saya mainkan di tanah Flores dua bulan lalu.
“Menurutmu, bagaimana seharusnya relasi antara manusia dengan alam?” tanyanya.
Demi tidak menyita banyak waktu teman-teman sepermainan hanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya memohon izin menjawabnya melalui tulisan.
Dapat dikatakan, tulisan ini adalah pemenuhan janji tersebut. Pertanyaan itu membawa saya pada upaya menggali diskursus filosofis tentang relasi antara manusia dan alam.
Saya juga akan membahas hal itu dalam kaitannya dengan beragam corak pembangunan yang menempatkan alam sebagai wahana eksploitasi oleh manusia.
Salah satunya bertalian dengan proyek geotermal di Flores.
Tak Satupun Konsep Penciptaan Memisahkan Manusia dan Alam
Sebagai penganut Agama Katolik,saya menjawab pertanyaan itu dengan pertama-tama mengutip Kisah Penciptaan sepasang manusia pertama dalam Kitab Kejadian, yang kelak dinamai Adam dan Hawa.
Dikisahkan bahwa Allah membentuk manusia pertama, seorang bernama Adam, dari debu tanah dan meniupkan napas kehidupan sehingga dia menjadi makhluk yang hidup.
Kemudian, Allah menciptakan seorang lainnya bernama Hawa, dari salah satu tulang rusuk Adam.
Selain keduanya, Allah juga dikisahkan menciptakan bumi dan seluruh isinya, di antaranya hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda non-human lainnya.
Teori kreasionisme versi Kisah Penciptaan dari Alkitab ini bukanlah yang mutlak menjelaskan asal-usul kehidupan di bumi. Ada puluhan teori lainnya.
Teori abiogenesis, misalnya, menyatakan kehidupan bermula 3,5 miliar tahun lalu dari molekul organik sederhana yang membentuk molekul yang lebih kompleks, yang kemudian menjadi organisme hidup.
Dua di antara pendukung gagasan Aristoteles modern ini adalah ilmuwan Inggris J.B.S. Haldane dan ahli biokimia Rusia Aleksandr Oparin pada dekade 1920-an.
Keduanya secara independen mengemukakan gagasan serupa. Menurut mereka, kehidupan terbentuk dari sumber energi eksternal seperti cahaya matahari, atmosfer yang mengandung amonia, oksigen serta uap air.
Mereka juga memiliki gagasan atmosfer awal Bumi – yang kaya akan metana, amonia, hidrogen dan uap air – yang mendukung terbentuknya molekul organik sederhana.
Mereka meyakini energi dari petir atau sinar ultraviolet memicu reaksi kimia yang menghasilkan molekul organik sederhana, yang kemudian membentuk senyawa kompleks dan akhirnya kehidupan.
Keduanya juga memperkenalkan konsep primordial soup, yakni lautan purba tempat akumulasi senyawa organik yang menjadi cikal bakal kehidupan.
Selain teori abiogenesis, ada juga teori biogenesis yang menyatakan semua makhluk hidup berasal dari makhluk hidup sebelumnya.
Dengan kata lain, tidak ada kehidupan yang muncul dari materi tak bernyawa tanpa keterlibatan dari organisme hidup yang sudah ada.
Tiga ilmuwan utama pendukung teori ini adalah Francesco Redi, Lazzaro Spallanzani dan Louis Pasteur.
Ada pula teori neo-biogenesis yang menyatakan kehidupan berasal dari senyawa organik sederhana yang terbentuk melalui reaksi kimia di lingkungan awal bumi.
Molekul-molekul ini kemudian berevolusi menjadi struktur kompleks seperti RNA dan protein.
RNA atau Ribonucleic Acid adalah molekul penting dalam semua sel hidup dan virus yang berperan dalam berbagai fungsi sel, termasuk membawa instruksi untuk membuat protein, mengatur gen dan sintesis protein.
Eksperimen Miller-Urey tahun 1953 mendukung teori ini dengan menunjukkan bahwa asam amino dapat terbentuk dari campuran gas dan energi listrik yang mensimulasikan atmosfer purba.
Teori populer lainnya dalam kisah penciptaan kehidupan adalah panspermia yang menyatakan benih kehidupan seperti mikroorganisme atau molekul organik berasal dari meteorit, komet atau debu kosmik dan kemudian berkembang di bumi.
Dalam versi paling ekstrem, diyakini bahwa kehidupan (mungkin) dikirim secara sengaja oleh peradaban alien – disebut directed panspermia.
Tak satupun dari semua teori di atas menyiratkan pemisahan manusia dengan alam, demikian juga sebaliknya.
Seluruh teori penciptaan kehidupan menunjukkan relasi antara manusia dengan alam sesungguhnya bersifat timbal balik dan kompleks: manusia berasal dari alam, tumbuh bersama alam, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mengubahnya – sering kali dengan konsekuensi besar.
Jika dikaitkan dengan teori biogenesis yang menegaskan bahwa kehidupan hanya bisa berasal dari kehidupan lain, maka posisi manusia sebagai makhluk hidup adalah bagian dari mata rantai panjang kehidupan biologis yang saling berkelindan.
Ini bukan sekadar konsep ilmiah, tapi juga pengingat bahwa manusia bukan entitas yang berdiri di luar alam, melainkan produk dan bagian dari sistem ekologis yang lebih luas.
Kita hidup karena ada sistem kehidupan lain yang terus berlanjut: mikroorganisme, tumbuhan, air, udara dan iklim.
Konsekuensi: Opsi Etis dan Politis Melawan Perusakan Alam
Bagaimana kita menempatkan relasi manusia dengan alam itu dalam konteks pembangunan hari ini, yang secara langsung berkaitan dengan cara manusia memperlakukan alam?
Salah satunya adalah dalam konteks proyek-proyek transisi energi, di mana relasi manusia dengan alam menjadi medan perjuangan etis dan politis.
Kita bisa merujuk pada contoh pemaksaan proyek geotermal di puluhan titik di Pulau Flores hingga Lembata, NTT.
Ketika alam dijadikan objek eksploitasi tanpa mengindahkan siklus hidup yang menopang manusia, maka manusia sedang memutus akar dari tempat ia berasal.
Mungkin pertanyaannya bukan hanya, “Bagaimana relasi manusia dengan alam?” tetapi juga “Bagaimana manusia bisa kembali menjadi bagian yang selaras dalam jejaring kehidupan yang berkelanjutan?”
Relasi manusia dengan alam seharusnya bersifat saling menjaga dan menghormati. Dalam banyak kosmologi lokal di sepanjang wilayah daratan dan perairan Indonesia, alam bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang memiliki nilai spiritual, sosial dan ekologis.
Ketika manusia memposisikan alam sebagai objek eksploitasi, maka terjadi ketimpangan relasi yang tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak tatanan sosial dan budaya masyarakat.
Dalam konteks advokasi, ini menjadi titik penting, bahwa perjuangan lingkungan bukan hanya soal ekosistem, tetapi juga soal keadilan dan keberlanjutan hidup.
Sayangnya, relasi manusia dan alam yang seharusnya bersifat saling menjaga kini bergeser terlampau jauh menjadi relasi dominatif. Keputusan politik menempatkan manusia menjadi penjarah yang memperkosa alam sebesar-besarnya demi kepentingannya. Bahkan, jauh lebih nista lagi: demi akumulasi cuan dari investasi kapital finansial.
Proyek geotermal di Flores, terutama yang saya saksikan langsung saat penelitian sebulan di Mataloko, Kabupaten Ngada, menjadi contoh nyata dari relasi yang timpang tersebut.
Sejak dimulai pada 1998, proyek ini telah mengalami kegagalan berulang, termasuk semburan lumpur panas, kerusakan lahan pertanian, pencemaran air dan gangguan kesehatan warga.
Alih-alih menjadi solusi energi bersih, proyek ini justru menjadi sumber penderitaan bagi masyarakat setempat.
Bahkan, setelah dampak destruktifnya terbukti, pemerintah tetap melanjutkan fase kedua proyek tersebut, memicu penolakan luas dari warga, gereja dan berbagai organisasi masyarakat sipil.
Sikap Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena yang tetap mendorong kelanjutan proyek meski mendapat penolakan keras dari warga dan enam keuskupan di Flores dan Bali menunjukkan bahwa keputusan politik seringkali menempatkan dirinya sebagai penguasa atas alam, bukan bagian darinya.
Ini menandai pergeseran relasi dari keharmonisan dengan alam menjadi dominasi.
Buruknya lagi, pemerintah pusat yang bernafsu besar untuk tetap menjalankan proyek-proyek itu menyediakan jalan melalui berbagai kebijakan yang mengerdilkan peran kepala daerah.
Akibatnya, biarpun kepala daerah menolak, ia tak dapat berkutik.
Padahal, dalam banyak kearifan lokal di Flores, alam bukan sekadar sumber daya tetapi entitas hidup yang punya hak dan nilai tersendiri.
Ketika proses pembangunan melukai alam, maka yang terluka bukan hanya fisik seperti bopeng pada bentang alam, tetapi relasi spiritual dan sosial ikut terluka dan hancur.
Dampak berikutnya dari luka yang dibiarkan terus tumbuh adalah trauma yang menghancurkan keseimbangan hidup komunitas warga.
Ironisnya, luka dan trauma itu justru dibiarkan terus menganga dan dirawat dengan intimidasi dan penyematan label penghambat pembangunan bagi seluruh komunitas warga.
Padahal, mereka kini tengah berjuang mati-matian merawat ruang hidupnya sebagai bagian dari upaya menjaga keharmonisan dengan alam.
Dalam situasi seperti itu, kekuasaan justru menjelma menjadi alat penindas yang mengabaikan relasi ekologis dan hak kolektif warga atas ruang hidupnya.
Kehendak untuk menjaga harmoni dengan alam diubah menjadi tindakan subversif di mata negara, seakan keberpihakan pada kelestarian menjadi ancaman bagi logika pembangunan yang serba instan dan eksploitatif.
Dengan terus memaksakan proyek yang telah terbukti merusak dan menutup mata terhadap suara komunitas, negara turut memperlebar jurang alienasi antara manusia dan alam.
Maka, transisi energi yang adil bukan sekadar soal teknologi bersih, tapi juga soal memulihkan relasi yang timpang: mengembalikan martabat alam sebagai sumber kehidupan, bukan objek eksploitasi.
Dini Pramita adalah Kepala Divisi Riset dan Database Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Editor: Anno Susabun