Sebaliknya, yang menonjol selama ini, katanya adalah monopoli perusahaan pariwisata dan tidak ada regulasi daerah untuk membendungnya.
“Hotel menjual paket wisata, menyewakan mobil, menyewakan sepeda motor, memiliki kebun sendiri, memiliki peternakan sendiri,” katanya.
Idealnya, kata dia, harus ada pembagian “kue” pariwisata.
“Dan pembagian ini harus diatur dalam regulasi dengan sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran,”jelasnya.
Sementara itu Kris Bheda Somerphes, peneliti dari Sun Spirit for Justice and Peace, mengatakan, sejauh ini pariwisata masih menjadi selubung upaya pencaplokan sumber daya publik seperti pulau, pantai, tanah dan pesisir.
Dari hasil penelitiannya, katanya, terjadi ambilalih kepemilikkan atas pulau-pulau, termasuk dalam kawasan TNK, baik melalui penjualan maupun upaya privatisasi.
Kasus teranyar akibat masifnya pencaplokan itu terlihat dalam upaya privatisasi Pantai Pede, satu-satunya ruang publik yang tersisa, untuk dibangun hotel.
Menurutnya, privatisasi satu-satunya pantai Publik itu mencerminkan keserakahan investor.
Kenyataan itu menimbulkan protes dari berbagai elemen masyarakat.
“Ini karena pariwisata di Labuan Bajo masih sangat market-oriented. Tidak berpihak kepada masyarakat tetapi kepada investor” kata Icha Tulis, aktivis Komunitas Bolo Lobo yang juga aktif dalam upaya menolak privatisasi sumber daya publik.